Bagian 57 ⭒࿈⭒ Hari Yang Melelahkan
•
•
•
Hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Kini Fian sudah mendapatkan pekerjaan baru sebagai sopir barang. Kebutuhan ekonomi pun sedikit demi sedikit sudah terangkat. Namun masalah tidak selesai begitu saja. Karena kini, Sara Mona mulai kembali berulah.
Beberapa hari yang lalu, adik satu-satunya dari Aldiano Lutfiansyah itu meminta dibelikan jaket yang harganya lumayan mahal pada Fian. Fitri sudah mengatakan pada suaminya itu untuk menolak permintaan Sara karena perekonomian mereka baru saja membaik. Namun Fian tidak mendengarkannya, dan malah menuruti keinginan sang adik.
Bagaimana Fitri tidak mengomel jika seperti ini? Fian itu terlalu memanjakan Sara Mona. Padahal, ia saja kalau ingin membeli pakaian harus mikir-mikir terlebih dulu. Eh, Sara malah langsung dibelikan oleh suaminya. Ia benar-benar tidak habis pikir kenapa Fian begitu memanjakan adiknya tersebut.
Bukan itu saja, Rama juga jadi sering datang ke tokonya dan membuat orang-orang pasar semakin salah paham dengan hubungannya dengan laki-laki itu. Padahal, ia dan Rama hanya teman biasa. Tidak ada yang spesial dari itu. Lantas dari mana persepsi orang-orang itu muncul?
"Semakin memikirkannya, semakin pusing pula aku dibuatnya."
Fitri memijit pelipisnya yang tiba-tiba jadi terasa pusing. Netranya spontan melirik pada laki-laki berpenampilan serba hitam di sampingnya, Rama. Laki-laki itu tampak sibuk memasukkan beberapa camilan yang baru datang ke dalam keranjang, dan memajangnya di etalase toko.
"Ram," panggil Fitri pada laki-laki itu.
"Hm?" sahut Rama tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaan yang sedang dilakukannya.
"Kau tidak ada kegiatan lain selain menggangguku di sini?"
Pertanyaan Fitri membuat tawa Rama pecah seketika. "Pfft, mengganggumu? Justru aku sedang membantumu, Fit."
Fitri berdecak. Rama tidak akan paham dengan maksud tersembunyi dari perkataannya. Padahal yang ia maksud adalah tentang tatapan orang-orang pasar yang sedari tadi terus menghunus dan memicing ke arah mereka berdua.
Apakah Rama tidak menyadarinya?
"Kau menyebalkan sekali ya ternyata," desis Fitri sembari melayangkan delikan sinisnya pada sang pemuda. Membuat Rama geleng-geleng kepala dibuatnya.
"Yahh, beginilah aku. Kau harus mulai terbiasa, Fit."
Fitri berdecih.
Terbiasa apanya? Justru kehadiranmu itulah yang membuatku tidak terbiasa, tahu!
Ingin sekali ia mengatakan semua itu pada laki-laki di depannya ini. Akan tetapi, ia tidak akan sampai hati menyakiti perasaan teman barunya sekaligus teman baru dari suaminya tersebut. Karena akan sangat 'tidak tahu diri' bila ia melakukannya pada orang yang sudah beberapa kali menolongnya ini.
"Ohh iya, Fit." Rama tiba-tiba berujar untuk menarik atensi Fitri padanya. "Katanya kamu sudah bersuami, tapi aku sama sekali belum pernah melihat suamimu itu."
Perkataan Rama membuat Fitri yang awalnya tengah asik melamun jadi tersentak. Gadis yang selalu memakai selendang merah itu spontan menoleh ke arah Rama dengan ekspresi tak percayanya. "Aku kira kamu sudah tahu, Ram!" pekik Fitri disertai tawa kerasnya kemudian. "Hahaha, astaga aku lupa belum memberitahumu."
Rama mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. "Apanya? Kenapa kau malah tertawa?" tanyanya penuh keheranan. Namun Fitri masih saja tertawa sampai memukul-mukul dinding di sebelahnya. "Kenapa sih, Fit?" tanya Rama lagi.
"Sungguh, aku benar-benar lupa memberitahumu." Fitri menepuk tangannya sekali, tak lupa ekspresi antusias di wajahnya yang semakin membuat Rama penasaran.
"Kalau kamu kenal dengan Aldiano Lutfiansyah, maka akulah istrinya."
Netra hitam Rama langsung terbelalak lebar, laki-laki itu menatap gadis bersuami di sampingnya dengan tatapan tak percayanya. "Suamimu itu si Fian?!" seru Rama mencoba memastikan bahwa dugaannya memanglah benar.
Fitri mengangguk, lantas kembali terkekeh setelahnya. "Yups, benar. Fian itu suamiku, orang yang sudah kamu tolong untuk mencari pekerjaan."
Rama menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Gilaaa, dunia benar-benar sempit ya."
"Hahaha, memang sempit. Apalagi di wilayah kota tercinta kita ini. Apapun bisa terjadi, Ram."
"Kau benar, Fit. Aku masih tidak menyangka saja kalau kamu adalah istrinya si Fian. Beruntung banget ya dia bisa dapat istri secantik dan sebaik dirimu," tutur Rama.
Mendengar perkataan sekaligus pujian dari laki-laki itu membuat Fitri salah tingkah bukan main. Tangannya reflek memukul bahu laki-laki di sampingnya itu. Keduanya lantas tertawa bersama tanpa menghiraukan pandangan orang-orang sekitar. Fitri sendiri juga lupa kalau ia tengah berada di pasar saat ini. Di tempat umum di mana setiap pergerakannya pasti dapat ditangkap oleh indra penglihatan orang lain.
⭒࿈⭒
"Assalamua'laikum, aku pulang."
Fian mengernyitkan keningnya saat telinganya tak mendengar ada jawaban salam sama sekali dari dalam. Rasanya tidak mungkin kalau sore-sore seperti ini orang rumah belum pada bangun. Secara, biasanya ada sang istri yang langsung menyambutnya ketika pulang.
Lantas, ke mana perginya semua orang?
Tidak ingin hanya sekadar menduga-duga, Fian yang baru saja pulang bekerja itu langsung masuk ke dalam rumah. Tentunya setelah memarkirkan sepedanya di halaman belakang. Karena sepeda itu akan dipakainya lagi esok hari untuk pergi bekerja.
Ubin demi ubin Fian tapaki untuk mencari orang-orang yang saat ini seharusnya ada di rumah dan menyambut kepulangannya seperti biasa. Namun sampai ke bagian belakang rumah sekalipun, Fian tak mendapati orang-orang tersayangnya di sana. Jelas saja laki-laki itu sangat bingung sekarang.
Hingga beberapa saat setelahnya, manik sekelam malam itu mendapati secarik kertas yang tergeletak di atas meja makan. Diraihnya kertas putih tersebut dan dibacanya dengan seksama.
Ibu, kakakmu, adik, dan juga istrimu sedang pergi ke kulonane. Rewang teng griyane Mbok Salamah. Kalau mau makan, itu di rak lemari paling atas masih ada lauknya. Nasinya juga masih ada. Di kamar ada Ayah, beliau sedang tidur. Jadi kamu tidak sendirian di rumah. Kalau suaminya Mbakmu sedang momong Maulida di sawah belakang.
Tertanda :
>< Ibumu
Fian mendengkus. Jadi ia ditinggal sendiri sekarang? Oh tidak, masih ada sang ayah di kamar. Lebih baik ia membersihkan diri terlebih dahulu, baru makan. Ia dapat merasakan badannya lengket-lengket karena keringat.
Jadi begitulah akhirnya.
Fian yang beranjak ke kamarnya, lantas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian beranjak ke dapur untuk makan. Lalu setelahnya memilih mengistirahatkan diri di ruang tengah sembari menonton acara televisi kesukaannya.
Hanya sekitar setengah jam Fian menonton televisi sendiri. Karena beberapa saat kemudian, ada sang kakak ipar dan sang keponakan cantiknya yang ikut bergabung menonton televisi bersama.
Ocehan demi ocehan khas balita dari keponakannya itu membuat Fian gemas bukan main. Sore itu di ruang tengah tampak ramai karena celotehan Maulida. Membuat Fian sampai terkekeh dan tertawa karenanya. Rasa lelahnya jadi sedikit terlupakan.
Sungguh sore yang indah, bukan?
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro