Bagian 56 ⭒࿈⭒ Rasa Dibalik Hati
•
•
•
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Fian yang langsung mendapat anggukan dari sang istri. Ia tengah membantu Fitri menenangkan dirinya sehabis menangis tadi. Mengambilkan air putih untuk diminum dan menyiapkan bantal untuk merebahkan diri.
"Maafin aku ya, Mas?"
"Sstt! It's okey, kamu nggak perlu mikirin itu dulu. Lebih baik sekarang, kamu istirahat saja dan tenangkan pikiranmu." Aldiano Lutfiansyah berujar sembari mengelus-elus puncak kepala Fitri dengan sayang. Tatapannya melembut melihat sang istri yang menurut tanpa protes. Netra sembab Fitri membuat ia kian merasa bersalah karena telah menaikkan nada bicaranya pada istrinya itu tadi.
Fitri sendiri sudah menyadari kalau sikapnya selama beberapa hari ini begitu buruk. Ia bahkan sampai mengabaikan kewajibannya sebagai istri. Sampai-sampai, Fian harus memakan masakan ibu mertuanya ataupun masakan Mbak Sajidah. Padahal seharusnya, ia lah yang memasakkan makanan untuk suaminya tersebut.
"Aku benar-benar minta maaf. Sikapku begitu buruk," lirih Fitri sembari mengeratkan pegangannya pada lengan kokoh sang suami. Fian sendiri sampai bisa merasakan tangan mulus yang mengcekramnya itu sedikit gemetar.
"Aku sudah memaafkanmu, sayang. Jadi tidak usah kamu pikirkan lagi," Fian mendorong bahu Fitri dan merebahkan badannya ke ranjang. "Lebih baik kamu istirahat sekarang, menangis tadi membuat kepalamu pusing, kan?"
Fitri mengangguk tanpa suara. Benar perkataan suaminya, kepalanya memang sedikit pusing sekarang. Terlebih, dia juga menangis cukup lama tadi. Sampai-sampai, baju bagian depan yang dipakai oleh Fian tadi basah oleh ingus dan air matanya. Memalukan sekali dirinya kalau dipikir-pikir. Apalagi ada Mbak Sajidah tadi di situ.
Astaga, malu-maluin banget kamu, Fit!
Sudahlah, daripada terus memikirkannya, lebih baik ia tidur dan menutup mata sekarang juga. Sebelum Fian kembali menegurnya, akan lebih baik kalau ia segera tidur sekarang.
"Tidurlah, aku akan menjagamu."
Senyuman Fitri langsung mengembang sempurna kala mendengar kalimat itu keluar dari bibir suaminya. Terlebih saat ia merasakan sebuah elusan lembut dan penuh kasih sayang pada rambutnya. Sudah ia bilang, bukan? Kalau Fian itu sangat mencintainya. Ia yakin kalau rumah tangganya akan baik-baik saja. Terlepas dari faktor ekonomi yang kerap membuatnya mengeluh. Setidaknya, Fian masih mau diajak kerja keras bersama-sama.
"Jangan pergi ke mana-mana loh," ujar Fitri pada Fian yang langsung diangguki oleh sang empunya.
Lagipula, Fian tidak akan pergi ke mana-mana. Ia juga sedang malas melakukan apa-apa. Jadi lebih baik ia tidur di samping sang istri dan mulai terlelap dalam lautan mimpi.
⭒࿈⭒
"Aku harus cari cara untuk memisahkan mereka berdua. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa membuat mereka berdua berpisah."
Seorang wanita paruh baya tampak bergumam asal disertai dengan pukulan penuh kekesalan yang dilayangkannya pada bantal tak berdosa di tangannya itu. Netra coklatnya terlihat berkilat-kilat karena amarah dalam atma. Rambut panjangnya yang sudah banyak memutih dimakan usia, kini digelungnya dengan cepat. Menyisakan sedikit anak rambut yang mempertegas penampilan.
Dialah Nyonya Anetta.
Kalian salah kalau mengira Nyonya Anetta sudah merestui hubungan pernikahan Fitri dan Fian. Karena faktanya, ibunda dari Fitriana Ayodya itu masihlah belum rela kalau putri keduanya itu dinikahi oleh seorang laki-laki miskin dan kurang berpendidikan seperti Aldiano Lutfiansyah.
Ia benar-benar tidak rela saat putri yang dibesarkannya dengan baik dan disekolahkannya sampai ke jenjang yang tinggi harus dinikahi oleh laki-laki yang derajatnya jauh lebih rendah di bawahnya. Ia sudah menanggung malu karena teman-teman arisannya terus saja menyinggung soal pernikahan Fitri dengan Fian. Lantas sekarang, apakah ia harus menanggung malu lagi karena orang-orang mulai membicarakan soal Fian yang tengah mencari pekerjaan di sana-sini dengan bermodalkan ijazah SD.
Ia malu dengan orang-orang!
Ia malu karena menikahkan dan menyerahkan putri keduanya pada keluarga itu. Jika saja waktu bisa diulang, mungkin ia akan mengultimatum Fitri lebih keras agar putrinya tersebut membatalkan acara pernikahannya dengan Fian. Ia tidak peduli dengan adanya ikatan cinta di antara keduanya. Yang jelas untuk sekarang ... ia harus mencari cara supaya bisa memisahkan keduanya.
"Ya, benar. Aku harus segera mencari ide yang cemerlang, melintang, gemintang, dan yang gemilang untuk memisahkan keduanya."
Seringai licik langsung terbit di bibir wanita paruh baya itu. Karena sejatinya, tidak ada yang boleh tahu tentang niat buruknya ini. Orang-orang hanya boleh melihat Nyonya Anetta yang peduli dengan anak dan sayang menantu. Hanya topeng itu yang akan ia tunjukkan pada semua orang.
Topeng yang penuh tipu muslihat.
⭒࿈⭒
"Entah kenapa dan karena apa ... tapi perasaanku kok tidak enak, ya?" Fitri bergumam sembari mengelus tengkuknya dengan perlahan. Dilihatnya bulu kuduk di tangannya yang mulai berdiri tegak, seolah ikut merasakan apa yang dirasakannya. "Bahkan bulu kudukku juga ikut berdiri sekarang."
Sejenak terpaku dan menggeleng kemudian. "Mungkin hanya perasaanku saja. Yah ... semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Fitri tersenyum sembari menelusupkan jari-jarinya di rambut hitam Fian. Ia terbangun dan tidak bisa tidur lagi, makanya begini. Terlalu malas bangun dan beranjak dari tempat tidur lebih tepatnya.
"Ahh, tapi pasti ada sebabnya. Pasti ada asal-muasal kenapa perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak dan tidak tenang seperti ini." Fitri beralih menatap langit-langit kamarnya dan mengacak rambutnya dengan kesal.
Tanpa dia ketahui, pergerakannya itu berhasil membangunkan laki-laki tampan yang merupakan suaminya ini. Fitri sampai dibuat berjengit kaget karena Fian yang tiba-tiba langsung mendudukkan dirinya begitu saja.
Siapa yang tidak kaget, coba?
Bug!
"Kamu tuh ngagetin aja, sih!" pekik Fitri setelah berhasil mendaratkan bantalnya pada wajah bantal Fian yang masih berada di tahap pengumpulan nyawa.
Fian mengaduh. "Aduh! Kenapa aku dipukul, sih?" tanya Fian. Laki-laki itu menatap wajah sang istri yang memerah padam lantaran merasa kesal. Terbangun dari tidur dan langsung ditimpuk oleh bantal.
Siapa yang tidak kaget, coba?
"Bodo, ah! Aku mau mandi aja."
Tanpa menunggu apapun lagi, Fitriana Ayodya bergegas mengambil handuk yang tersampir di belakang pintu kamar dan melesat ke arah kamar mandi. Menutup pintu dan memulai ritual mandinya tanpa suara dan candaan. Hanya gemericik air yang bisa Fian dengar dari kamar mandi.
"Hah ... aku benar-benar masih tidak paham dengan jalan pikirannya kadang."
Fian bergumam sembari memijit pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa pusing yang kini dirasakannya. Memikirkan tingkah sang istri memang bisa membuatnya pusing bukan main. Apalagi jika sudah bermain kode-kode tidak jelas. Bukannya ia tidak peka, hanya saja, ia menghindari adanya drama yang dibuat oleh istrinya.
"Hahaha, jadi drama ya menyebutnya? Hmm, bagus juga."
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro