Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 55 ⭒࿈⭒ Usaha Untuk Berbaikan



Perdebatan masalah finansial dengan sang istri tidak berhenti pada hari itu saja, karena besoknya Fitri kembali mengungkit-ungkit soal pekerjaan pengganti. Jujur, Fian tahu bagaimana perasaan dan pikiran istrinya itu. Akan tetapi, ia pun juga tidak bisa terima kalau didesak terus seperti ini. Entah kenapa Fitri jadi tidak sabaran seperti ini. Padahal sebelumnya, mereka masih baik-baik saja.

Namun, lihat sekarang.

Istrinya tersebut malah mengabaikan dan mencueki dirinya. Fian tidak apa-apa jika hanya sekadar tidak menyapa dan sebagaimana. Akan tetapi, ini malah ...

"Fit, kamu nggak masak?" Fian bertanya pada Fitri di kala sang istri terlihat sedang menyapu teras rumah.

"Nggak, aku lagi malas."

"Lohh? Terus aku makannya gimana?"

"Minta saja Sara Mona untuk memasak," tutur Fitri dengan santainya sembari melanjutkan acara menyapunya yang masih setengah jalan. Bahkan gadis itu sama sekali tidak menoleh pada Fian ketika menjawab.

Fian menghela napasnya. Sudah dua hari sang istri begini. Bahkan ketika di kamar pun, Fitri hanya diam dan memilih langsung tidur tanpa berbicara dan bercerita dengannya seperti biasa. Saat pagi, istrinya itu akan langsung pergi ke pasar setelah menyiapkan pakaiannya. Itupun lagi-lagi, ia tidak dibuatkan sarapan. Jadi ya terpaksa, ia harus meminta pada sang ibu dan sang kakak, berikut bekal yang dibawanya.

"Mau sampai kapan kamu seperti itu?" tanya Fian dengan tangan yang sudah bersedekap. Laki-laki itu menyenderkan punggungnya di pintu utama rumah sembari menatap kegiatan Fitri dengan lekat.

"Seperti itu apa?" tanya Fitri kemudian. Gadis yang memakai daster rumahan berwarna kuning dengan motif bunga-bunga itu memegang erat gagang sapu di tangannya tanpa menoleh ke belakang. Benar, posisi Fitri membelakangi pintu utama, membelakangi Fian.

"Kamu tahu maksud aku, Fit. Mau sampai kapan kamu bersikap seperti itu?"

Pegangan Fitri pada gagang sapu di tangannya langsung mengerat kala mendengar kalimat itu keluar dari bibir suaminya. Sungguh, ia sebenarnya juga tidak mau perang dingin dengan suami tercintanya itu. Akan tetapi, ia juga ingin tetap pada pendiriannya kalau ia tidak akan berbicara pada Fian kalau suaminya itu belum mendapatkan pekerjaan pengganti.

Terkesan memaksa? Ya, memang.

Karena jika tidak begitu, bisa saja Fian malah tidak kembali berusaha mencari pekerjaan. Bisa saja Fian malah menggampangkan masalah ini dan tetap berkutat dengan pekerjaan membuat kerangka layangannya bersama Abah. Bukannya ia tidak bersyukur. Hanya saja, kebutuhan ekonomi yang sangat banyak membuatnya tetap merasa kurang. Terlebih lagi, keberadaan Sara Mona masih membuatnya waswas dan tidak nyaman.

"Aku tidak tahu, kamu pikir saja sendiri, Mas."

Akhirnya, hanya kalimat itulah yang terlintas di benak Fitriana Ayodya saat ini. Fitri sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi sekarang. Yang ia pikirkan hanyalah, kapan Fian akan mendapatkan pekerjaan pengganti dan berhenti dari pekerjaannya bersama Abah?

"Maksudnya kamu mau kita seperti ini terus?" tanya Fian lagi yang masih tidak puas dengan jawaban Fitri. Jelas saja ia tidak puas, sang istri malah menyuruhnya untuk berpikir sendiri.

"Tidak tahu."

Oke, kesabaran Fian mulai habis sekarang. Spontan saja ia menarik pergelangan tangan kiri Fitri dengan kuat hingga gadis itu berhasil menubruk dada bidangnya. Ringisan kesakitan keluar dari bibir Fitri setelahnya. Tatapan keduanya bertemu. Manik sehitam jelaga dan manik sekelam malam itu saling tatap.

"Mau kamu apa?"

Fian kembali bertanya dengan netra yang tak lepas dari manik sehitam jelaga Fitri. Ia benar-benar harus menyelesaikan masalah ini sekarang juga. Jika tidak, bisa-bisa ia gila karena terus dicueki oleh istrinya itu.

"Aku hanya-"

"Hanya ingin agar aku segera mendapatkan pekerjaan pengganti dan menambal kekurangan finansial kita?"

Fitri mengangguk, dan reflek menunduk setelahnya. Ditatap sedemikian dingin oleh Fian membuatnya takut.

"Dengar. Aku sedang berusaha mencarinya saat ini, sayang. Namun memang, mencari pekerjaan tidak semudah yang kamu kira. Apalagi kamu tahu sendiri kalau aku hanya punya ijazah SD. Jadi sedikit orang yang mungkin mau menerimaku sebagai pekerja mereka."

Fian berujar demikian sembari mengelus pergelangan tangan sang istri. Mencoba menyalurkan perasaannya lewat kata-kata dan sentuhan agar Fitri mau mengerti posisinya.

"Sungguh, bukan berarti aku abai begitu saja setelah mendapatkan pekerjaan membuat kerangka layang-layang dengan Abah. Aku masih mencari pekerjaan pengganti sampai sekarang. Bahkan, Rama dan Abah juga ikut membantuku kalau kamu ingin tahu."

Mendengar hal itu membuat netra Fitri berkaca-kaca seketika. Air matanya jatuh tanpa diminta. Pelukan Fian setelahnya membuat Fitriana Ayodya semakin terisak di sana. Membenamkan seluruh wajahnya pada dada bidang Aldiano Lutfiansyah yang kini mengusap-usap rambut sebahunya.

"Sstt ... sudah jangan menangis," ujar Fian menenangkan.

Namun bukannya berhenti, isakan Fitri justru semakin kuat hingga berhasil mengundang atensi Sajidah yang langsung menghampiri keduanya dengan tergopoh-gopoh dan ekspresi paniknya.

"Heh! Si Fitri kenapa?!"

Pekikan Sajidah itu berhasil membuat Fian tersentak kaget. Ditolehkannya kepala ke sumber suara dan menemukan kakak perempuannya di sana. "Mbak ngapain, sih? Ngagetin aja," gerutu Fian seraya berdecak kesal setelahnya.

Sajidah mendelik tak terima. "Justru Mbak yang seharusnya bertanya, tahu! Kamu apain Fitri sampai nangis begitu?!" cecar wanita beranak satu tersebut.

Fian hanya mengendikkan bahunya sembari membawa Fitri yang masih dalam pelukan, masuk ke dalam rumah. "Nggak diapa-apain, elah. Curigaan mulu sih, Mbak."

Sudut bibir Sajidah berkedut kesal mendengar jawaban sang adik yang kelewat santai itu. "Belum aja Mbak pukul kamu," desis Sajidah dengan gemas. Kakak perempuan Fian itu langsung beranjak pergi dari sana sembari membawa sapu yang tergeletak di lantai teras. "Pasti ini si Fitri tadi yang nyapu ya," gumamnya.

Sementara sang empunya yang membawa sapu tadi jadi merasa tidak enak pada kakak iparnya tersebut. Akan tetapi, ia enggan melepaskan pelukan Fian yang sudah terlalu nyaman dirasakannya saat ini. Lagipula, ia juga tidak ingin menunjukkan wajah merah karena menangisnya pada Mbak Sajidah. Karena itu akan sangat memalukan, sungguh.

Kemudian, ia juga sudah merasa sedikit lebih lega sekarang. Karena Fian langsung membawanya ke kamar dan mendudukkannya di ranjang. Mengambil sapu tangan di atas meja rias dan memberikan itu padanya. Spontan saja seulas senyum tulus terpatri di bibir Fitriana Ayodya. Perhatian kecil seperti inilah yang membuatnya sangat mencintai Aldiano Lutfiansyah.

Fian itu tipe suami idamannya. Tampan, sholeh, baik hati, perhatian, pandai bersyair dan berpuisi, pekerja keras, tapi sayang ... karena latar belakang pendidikannya yang tamat hanya sampai Sekolah Dasar, membuat Fian sering jadi bahan olokan orang-orang di luaran sana. Padahal mereka tidak tahu saja bahwa dibalik kekurangannya, terdapat banyak sekali kelebihan yang hanya orang-orang tertentu saha yang bisa melihatnya.

Ya, tidak ada yang tahu bagaimana sosok Aldiano Lutfiansyah yang sebenarnya kecuali istri dan keluarganya.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro