Bagian 54 ⭒࿈⭒ Perdebatan Finansial
•
•
•
"Bagaimana, Mas? Sudah menemukan pekerjaan pengganti?"
Fitri bertanya pada sang suami yang baru saja merebahkan diri di atas ranjang. Netra sehitam jelaganya menatap dengan lekat wajah suaminya yang tampak kelelahan dari samping. Ia baru saja selesai mengangkat jemuran dan mendapati Fian yang baru saja pulang dari rumah Abah. Ya, ia sudah tahu siapa Abah yang sering disebut-sebut oleh suaminya tersebut.
"Belum, Fit. Aku juga sedang lelah sekarang, bisakah kita membicarakan ini nanti?" tutur Fian dengan helaan napas setelahnya.
Senyuman sinis langsung tersungging di bibir Fitri. "Bisa saja, sih. Akan tetapi aku ingin kepastian jawaban darimu. Upah dari membuat kerangka layang-layang nggak akan cukup, Mas. Kemarin aku sudah mengeluarkan tabungan untuk menutup biaya sehari-hari. Apakah minggu ini aku harus mengambil uang tabungan lagi?"
Fian yang semula merebahkan dirinya, langsung terduduk dan menatap Fitri yang masih berdiri dengan tangan bersedekap di dekat pintu kamar. Tatapan keduanya bertemu untuk beberapa saat sebelum Fian memutuskan kontak mata itu secara sepihak.
"Aku masih berusaha, jadi bersabarlah. Kamu pikir aku tidak mencari kerja di luar sana?"
Entah kenapa nada bicara Fian mulai naik, dan itu sedikitnya membuat Fitri ikut naik darah. Gadis yang memakai daster rumahan berwarna biru itu tampak mengerutkan keningnya tak suka.
"Setidaknya buatlah kerangka lebih dari 100 buah per hari agar penghasilannya bertambah," ujar Fitri dengan santainya. Dia tak menyadari kalau perkataannya itu begitu menohok bagi Fian.
"Coba kamu yang di posisi aku dan buatlah kerangka layang-layang lebih dari 100 per hari, sanggup nggak?" tekannya. "Kamu mah enak, kerja di toko Ibu sendiri. Gaji juga bisa naik kalau pandai merayu dan menjajakan camilan-"
Belum selesai Fian berbicara, Fitri sudah menyahut karena ikut tersulut emosi saat ini. "Enak?! Kamu kira itu enak?! Aku juga capek Mas, kerja dengan Ibu sendiri! Kamu nggak tahu aja kalau Ibu masih sering ngeremehin kinerja aku!" pekik Fitri. Wajahnya sudah merah padam lantaran perasaan kesal dan marah yang meluap.
"Lantas kamu kira jadi aku gampang? Nggak. Jadi aku nggak gampang. Direndahin karena pendidikan cuma sampai SD, diolok-olok karena dikira tidak punya pengalaman kerja. Kamu kira jadi aku enak?" tutur Fian yang jadi ikutan emosi. Fian terdiam setelahnya sembari mengatur napasnya yang mulai memburu. Diusapnya wajahnya dengan kasar.
"Sudahlah, mending kamu tinggalin aku sendiri. Aku capek, pengen tidur."
Usai mengatakan kalimat tersebut, laki-laki bernama lengkap Aldiano Lutfiansyah itu kembali merebahkan dirinya di atas ranjang dan tidur membelakangi pintu kamar, membelakangi Fitri yang masih berdiri di sana dengan kedua tangan yang sudah mengepal.
Gadis itu langsung saja beranjak keluar dari kamarnya dan mendapati Sara Mona sudah berdiri di depannya. Adik iparnya tersebut menatap ia dengan seulas senyum sinis di bibir.
"Makanya Mbak, jangan terlalu menuntut kalau jadi istri. Mas Fian itu sudah berusaha mati-matian loh cari pekerjaan, tapi Mbak malah bilang begitu sama dia." Sara berujar tanpa menghilangkan senyum sinis itu dari bibirnya. Fitri sendiri sampai tidak mengerti kenapa Sara Mona berujar demikian padanya.
"Apa maksud kamu dengan banyak menuntut?" tanya Fitri.
"Aku dengar semuanya. Soal Mbak yang ngeluh masalah finansial dan malah menyalahkan Mas Fian yang jelas-jelas sudah berusaha keras mencari kerja," jawab Sara Mona.
Gadis yang merupakan adik satu-satunya dari Aldiano Lutfiansyah itu menatap remeh pada sang kakak ipar yang tampak menatapnya dengan berang. Bagaimana tidak? Lihat saja Fitri yang kini sudah menggertakkan gigi-giginya itu.
"Kamu kalau nggak ngerti apa-apa nggak usah sok tahu, Sara. Ini masalah aku sama Fian, jadi tolong jangan ikut campur." Fitri menyatukan kedua tangannya dan menatap Sara dengan tatapan serius, penuh intimidasi. "Kita sudah berbaikan sebelumnya. Jadi tolong, jangan membuatku semakin ragu akan pengakuanmu tempo hari."
Usai mengatakan isi pikirannya pada Sara Mona, Fitri memilih langsung pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Ia merasa tenggorokannya sangat kering sekarang. Terlebih, berdebat dengan Fian dan Sara Mona tadi membuat hatinya kian memanas.
"Hah ... sabar Fit, sabar."
Glup, glup, glup ...
"Ahh, segarnya ..."
Tak!
Fitri meletakkan gelas plastik tersebut kembali ke atas meja, dan mengusap sebagian bibirnya yang masih basah dengan lengan bajunya. Kemudian, ia memilih untuk pergi ke ruang tengah dan menonton infotainment di televisi kesukaannya.
⭒࿈⭒
Di sisi lain, Sara Mona hanya mendengkus sebal karena lagi-lagi ia jadi terlihat seperti orang jahat di mata kakak iparnya. Ia akui, kalau sikapnya juga salah tadi. Namun ia juga kesal pada Fitri karena menuntut hal yang sulit dipenuhi oleh kakak laki-lakinya. Ia hanya tidak tega pada Fian, itu saja. Apalagi ia juga tahu kalau selama ini, kakaknya itu selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
"Aku benar-benar tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran Fitri, atau sekarang bisa kupanggil ... Mbak Fitri?" Sara terkekeh kecil. "Ya, Fitriana Ayodya. Nama yang bagus untuk orang yang masih banyak kekurangan seperti Mbak Fitri. Hah ... namanya juga manusia. Tidak ada yang sempurna."
Setelahnya, Sara Mona memilih untuk beranjak pergi dari depan kamar kedua pasangan itu dan menuju teras rumah. Terdengar suara celotehan sang keponakan di sana. Sepertinya keponakannya tersebut sangat gembira dan ceria hari ini.
"Wahh, lagi ngapain nih keponakannya Tante?" tutur Sara sembari menghampiri Maulida yang terduduk di tanah becek dengan wajah yang sudah terciprat oleh tanah basah di sana-sini.
"Astaga, mainnya kok bisa sampai kotor begini, sih?" Sara menggelengkan kepalanya tak habis pikir dan mulai mengangkat Maulida ke dalam gendongan. Tak dipedulikannya baju yang jadi ikut kotor karena menggendong sang keponakan. Netranya langsung mengedar mencari keberadaan Mbak Sajidah. "Mama kamu di mana?" tanyanya pada sang kecil Maulida di dalam gendongan.
Bocah berusia 1,2 tahun itu hanya mengerjapkan mata sipitnya dengan polos. Membuat Sara Mona kian dibuat gemas dengan ekspresi sang keponakan.
"Lucunya keponakan Tante," ujarnya sembari membersihkan noda-noda tanah di wajah Maulida dengan lengan bajunya. Lantas mencium dengan gemas pipi gembul itu hingga membuat sang empunya tertawa dengan suara khasnya yang lucu.
"Ante amama na."
Seolah mengerti dengan kalimat random yang digumamkan oleh Maulida barusan, Sara pun bertanya. "Nggak tahu, Tante. Mama kamu ke mana memang? Nggak bilang kah, tadi?"
Jawaban dan gumaman tidak jelas dari Maulida setelahnya, membuat Sara mendengkus. "Tante nggak ngerti apa yang kamu bicarakan, cantik. Biarlah, mending kamu main sama Tante saja daripada main sendiri, okey?"
"Aaama mahh ante."
"Hihihi, okey. Ayo kita main!"
•
•
•
Gemesin banget si Maulida, jadi pengen nyulik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro