Bagian 51 ⭒࿈⭒ Jadi Kepikiran
•
•
•
Empat hari sudah berlalu semenjak sore itu. Kini Fitri harus menggigit bibir bawahnya kala melihat lumbung beras miliknya yang sudah sangat menipis. Ya, untuk urusan beras dan kebutuhan pokok seperti ini, ia memang mempunyai stok sendiri. Tidak bergabung dengan ibu mertuanya.
Mengapa demikian?
Karena ia tidak ingin sepenuhnya bergantung dengan keluarga ibu mertuanya tersebut. Ia sudah menumpang di sini, rasanya tidak pantas bila kebutuhan pokok pun harus bergantung pada sang ibu juga. Jadi sebisa mungkin ia menyetok beras, minyak, telur, dan kebutuhan pokok lainnya sendiri.
Fian juga tahu soal ini. Bahkan suaminya itu sangat mendukung keputusannya yang ingin punya stok kebutuhan pokok sendiri agar tidak bergantung pada sang ibu.
"Bagaimana ini? Uangnya tidak akan cukup seminggu kalau aku membeli beras," gumam Fitri dengan gelisah. Netra gelapnya mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya ia ingat kalau masih mempunyai beberapa uang di tabungannya.
"Aku lupa kalau masih ada uang itu."
Dengan seulas senyum lembut di bibir, Fitri beranjak membuka lemari pakaiannya dan mengambil dompet kecil yang memang sengaja ia sembunyikan diantara tumpukan bajunya. Dompet itu berisi uang tabungan dari kerja menjadi buruh cuci pakaian di rumah tetangganya yang diam-diam ia kerjakan tanpa sepengetahuan siapapun.
Benar, tidak ada yang tahu perihal ini selain tetangganya tersebut dan Fitri sendiri. Ia memang meminta tetangganya untuk merahasiakan ini dari keluarganya. Karena Fitri tidak mau keluarganya jadi melarang dirinya mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhannya. Lagipula, ia hanya menjadi buruh cuci pakaian di Hari Minggu.
Iya, hanya seminggu sekali ia melakukan pekerjaan itu di rumah tetangganya. Mencuci pakaian dan menjemurnya. Bila ingin menerima upah tambahan, biasanya ia menawarkan diri untuk sekalian menyetrika pakaian-pakaian yang telah kering sekaligus melipatnya dengan rapi. Ia akan mendapatkan upah Rp 35.000,00 biasanya. Kalau sekalian dengan menyetrika, akan jadi Rp 50.000,00 uang yang diterimanya.
Lumayan, bukan?
Ia bisa menghasilkan Rp 50.000,00 dalam sehari dan uangnya selalu ia simpan sendiri rapat-rapat untuk kebutuhan mendesak semacam ini. Bila tidak mempunyai tabungan, entah bagaimana nasib perutnya dan suaminya selama tiga hari ke depan.
Meskipun ia yakin kalau sang ibu mertua tidak akan membiarkan anak dan menantunya kelaparan. Akan tetapi, tetap saja ia merasa tidak enak. Sebisa mungkin ia harus bisa menangani masalahnya sendiri. Apalagi masalah perekonomian semacam ini.
"Kamu sedang apa, Fit?"
Srek!
"Ah! Kenapa Ibu?"
Fitri begitu terkejut akan kedatangan sang ibu mertua di depan pintu kamarnya saat ini. Beruntungnya ia sempat memasukkan kembali dompetnya ke dalam lemari sebelum terpergok oleh sang ibu mertua.
"Kamu ngapain berdiri membelakangu lemari begitu? Mau ganti baju?" tanya wanita paruh baya tersebut.
Fitri menggeleng dengan cepat. "Tidak kok, Ibu. Fitri hanya sedang menata beberapa pakaian yang cukup berantakan tadi," jawabnya disertai seulas senyum lebar yang dilayangkan agar lebih meyakinkan.
"Ohh, begitu rupanya." Ibunda dari Aldiano Lutfiansyah itu mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Kalau begitu, setelah selesai bantu Ibu di dapur, ya? Sajidah dan Sara sedang pergi mengantar Maulida ke posyandu soalnya," ucapnya kemudian.
Fitri langsung menyanggupi permintaan ibu mertuanya dengan senang hati. Karena setelahnya, ia sudah bisa bernapas lega kala sang ibu mertua beranjak dari ambang pintu kamarnya tanpa mengetahui apa yang tengah dilakukannya tadi.
Sungguh, ia benar-benar tidak ingin orang-orang rumah tahu kalau ia punya kerja sampingan sebagai buruh cuci pakaian, terutama sang suami. Jikalau Fian tahu, pasti dia marah. Dalam artian, marah karena merasa tidak berguna sebagai suami, seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu.
"Hah ... semoga semuanya baik-baik saja."
⭒࿈⭒
"Eh! Sudah selesai menata pakaiannya, Fit?"
Anggukan singkat Fitri layangkan sebagai jawaban atas pertanyaan sang ibu mertua. Tak lupa seulas senyum tulus yang terbit di bibirnya.
"Iya, Ibu. Sudah selesai kok," jawab Fitri sembari meraih celemek miliknya yang tergantung di belakang pintu dapur. "Jadi, apa yang harus aku bantu?" tanyanya kemudian.
"Ini, tolong potong-potong wortelnya dengan bentuk dadu."
Fitri menurut, ia langsung meraih kresek kecil berisi beberapa wortel yang dimaksud sang ibu dan mulai mengupasnya kulitnya secara cepat dan hati-hati. Setelahnya, ia masih harus mencucinya terlebih dahulu sebelum dipotong-potong dalam bentuk dadu. Gadis yang memakai dress merah tanpa lengan itu tampak begitu serius hingga tidak menyadari tatapan prihatin yang dilayangkan sang ibu mertua di sela-sela kegiatan memasaknya.
Ibunda dari Fian itu jelas tahu kalau menantunya tersebut pasti kepikiran soal bahan pokoknya yang mulai menipis. Mereka sama-sama perempuan, sama-sama seorang istri dan ibu rumah tangga. Tentu saja ia sangat paham dengan problem pikiran yang tengah melanda menantunya itu.
Sret!
"Aw!"
"Astagfirullah, Fitri!"
Pekikan kecil dari sang menantu membuatnya langsung menoleh dan mendapati jari telunjuk Fitri mengucurkan darah, bahkan beberapa tetesnya terjatuh ke lantai berkeramik putih tersebut.
"Kok bisa sampai terluka begini, sih?" tanya sang ibu mertua sembari membasuh jari Fitri yang terluka dengan air.
Suara ringisan kembali terdengar setelahnya. Fitri menggeleng sebagai jawaban. "Aku tidak tahu, Ibu. Tanganku rasanya tadi licin dan malah mengenai jariku," tutur Fitri di sela-sela ringisannya.
Usai mengatakannya, Fitri bisa melihat kalau sang ibu mertua telah membersihkan luka di jarinya, dan mulai mencari kotak P3K untuk mengobati lukanya. Sementara Fitri sendiri hanya menurut saat dirinya diminta duduk di undakan pintu yang menghubungkan dapur dan pintu belakang.
"Lagi mikirin apa sih, sampai bisa kayak gini? Kalau sedang memegang pisau itu jangan melamun, Nduk."
Senyuman tipis terbit di bibir Fitri kala mendengar omelan sang ibu mertua yang terdengar begitu mengkhawatirkannya. Ia merasa jadi menantu paling beruntung di dunia karena memiliki ibu mertua sebaik Ibunda Fian ini.
"Kamu dengar Ibu, nggak?"
Fitri sedikit tersentak, lantas menjawab dengan cepat. "Iya, Ibu. Fitri dengar kok," jawabnya.
"Pokoknya Ibu nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi, loh. Kalau memang sedang tidak enak badan atau lagi banyak pikiran, lebih baik kamu istirahat saja. Jangan memaksakan diri kamu."
Fitri hanya mengangguk dan mengiyakan setiap kalimat nasihat yang diberikan oleh ibu mertuanya tersebut. Mau menjawab ataupun mencari alasan pun rasanya percuma, ibu mertuanya itu akan tetap mengomel panjang kali lebar sampai perasaannya lega. Setidaknya itulah yang Fitri pahami dengan salah satu sifat ibu mertuanya tersebut. Karena seringkali ia melihat Sara Mona di dan Mbak Sajidah diomelin seperti ini oleh sang ibu mertua.
Kini, ia pun juga merasakan omelannya.
Hmm, tapi tak apa. Itu tandanya ibu sayang sama aku, 'kan?
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro