Bagian 50 ⭒࿈⭒ Merasa Kurang
•
•
•
"Maaf, Fit. Mas hanya dapat segitu seminggu ini. Hasil dari membuat kerangka layangan benar-benar tidak banyak. Mungkin Mas memang harus secepatnya mencari pekerjaan baru yang gajinya lebih menjamin."
Aldiano Lutfiansyah berujar sembari memegangi kedua tangan Fitriana Ayodya dengan erat. Berusaha memberi pengertian pada sang istri adalah hal pertama yang harus ia lakukan sekarang. Karena ia tahu apa yang ada di dalam pikiran Fitri saat ini, meskipun sang empunya tidak berbicara apapun untuk mengungkapkan rasa sedih dan kecewanya. Namun Fian bisa melihat itu dari tatapan sendu dan helaan napas pasrah yang Fitri tunjukkan saat ini.
Uang lima puluh enam ribu dalam seminggu. Gaji yang tergolong sangat sedikit menurut Fitri. Bahkan uang itu tidak akan bertahan sampai tiga hari walau hanya untuk keperluan makan sehari-hari. Akan tetapi, Fitri juga masih ada tabungan. Hasil dari jerih payahnya membantu sang ibu berjualan.
Namun, haruskah ia mengeluarkan uang tersebut saat ini?
Yah ... mau bagaimana lagi. Setidaknya uangku cukup untuk seminggu ke depan.
Fitri masih bergelut dengan pikirannya hingga tak menyadari panggilan dari sang suami. Sementara Fian pikir, istrinya tersebut marah karena gaji yang ia berikan sangat kurang dari standar gaji miliknya saat ia masih bekerja di pabrik rokok.
"Fitri," panggil Fian sekali lagi.
Kali ini berhasil, karena gadis yang memakai dress biru tanpa lengan itu langsung menoleh ke arah Fian. Fitri mengangkat sebelah alisnya bingung kala mendapati tatapan memelas sang suami yang dilayangkan padanya.
"Kenapa dengan tatapanmu itu?"
"Kamu marah? Kecewa?"
"Hah?"
Oke, adakah yang mau memberitahu Fitri apa yang sebenernya terjadi pada Fian?
"Kamu kecewa dan marah karena aku hanya mendapatkan gaji segitu?" tanya Fian lagi. "Kamu tenang saja, aku akan mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih menjamin. Untuk sementara, pakai dulu uang itu ya?" lanjutnya.
Mendengar perkataan Fian yang terdengar begitu merasa bersalah tersebut membuat senyuman Fitri langsung terbit. Ia tidak menyangka kalau Fian akan sekhawatir itu dengan pendapatnya. Bahkan ia belum mengatakan apa-apa, tapi sang suami malah sudah berpikir negatif duluan.
"Aku tidak marah, kalau kecewa ... ada sih, sedikit." Senyuman Fitri kian melebar kala menatap wajah memelas suaminya tersebut. "Akan tetapi, aku tidak ingin menuntut macam-macam padamu, Mas. Kamu sudah berusaha sejauh ini saja, aku sudah sangat bersyukur. Aku yakin kamu akan segera mendapatkan pekerjaan yang gajinya lebih menjanjikan. Untuk sementara, jalani saja dulu pekerjaan yang ini sembari mencari pekerjaan baru."
Fitri memasukkan kembali uang lima puluh enam ribu itu ke dalam amplop, dan kembali menatap netra tegas Fian di sana. "Nanti kalau ada kurangnya, aku masih ada tabungan dari hasil jualan di toko Ibu. Jadi kamu tidak perlu khawatir," tutur Fitri kemudian.
Dada Fian bergemuruh saat kata demi kata itu keluar dari bibir sang istri. Ia tidak tahu, terbuat dari apakah hati istrinya itu hingga bisa sesabar ini. Namun entah kenapa ia jadi kesal. Seharusnya Fitri marah dan memakinya karena tidak becus cari nafkah, tapi ini ... istrinya itu malah tersenyum dan berpositif diri kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Fit, seharusnya kamu memarahiku."
Fitri mengerutkan keningnya. "Kenapa aku harus marah?"
"Tentu saja kamu harus marah! Aku tidak becus jadi kepala keluarga, aku juga tidak becus cari nafkah! Seharusnya kamu marah sama diriku yang seperti ini!"
Spontan Fitri langsung mengelus lengan Fian untuk menenangkannya. Ia sangat paham kenapa laki-laki itu marah. Fian pasti merasa kalau dirinya tidak berguna saat ini. Padahal ia tidak berpikir demikian.
"Tenanglah, jangan berpikir seperti itu. Kita hanya sedang diuji secara finansial. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri seperti ini," tutur Fitri sembari tetap mengelus lengan dan pundak suami tercintanya tersebut.
Fian menghela napasnya. Kemudian memijit pelipisnya yang mulai berdenyut-denyut pusing. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Fit." Fian berkata dengan lirih, lantas menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang istri.
"Kamu hanya perlu terus melangkah, jangan pernah ada kata menyerah. Aku ada di sini untung mendukung dan berjuang bersamamu, suamiku."
Deg!
Fian semakin mempererat pelukannya pada Fitri. Perkataan istrinya itu benar-benar merasuk dalam hatinya. Ya, perasaannya menghangat sekarang. Begitu beruntung dirinya memiliki Fitri di kehidupan ini.
"Kamu benar, Fit. Aku harus terus melangkah untuk mencapai apa yang kuinginkan." Fian mulai bangkit dan melepas pelukannya pada sang istri. Memegang pundak istrinya itu dan menatap dengan penuh semangat pada kedua bola mata sehitam jelaga tersebut.
Senyuman Fitri langsung mengembang sempurna. Ia sudah membangun kembali kepercayaan diri suaminya tersebut. Akhirnya ia bisa merasa lega sekarang.
"Sekarang, biar aku memasakkan makan malam untukmu." Fitri beranjak dari duduknya dan mulai mengambil jepitan rambutnya. Ya, rambutnya sudah mulai panjang lagi sekarang, sudah waktunya untuk dipotong. "Lebih baik kamu bersihkan dulu dirimu, Mas. Mandilah," tutur Fitri kemudian sembari menoleh sekilas pada Fian.
Fian mendengkus. Istrinya itu tanpa sengaja malah meledeknya yang memang belum mandi sejak pulang dari kerja. Lagipula ini masih jam empat sore, dan malam tiba masih sekitar satu setengah jam lagi. Kenapa pula Fitri harus memasak makan malam sedini ini?
"Baiklah-baiklah, tapi aku request tempe orek dan perkedel kentang ya, Sayang."
Fitri tertawa kecil. Ia mengangguk dengan cepat dan segera meninggalkan kamarnya sebelum sang suami kembali menggoda dirinya. Bisa-bisa ia tidak jadi memasak jika tidak segera keluar sekarang juga.
Sementara Fian, laki-laki itu juga langsung mengambil handuk dan baju ganti dari lemari. Kemudian segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Perihal gaji dan pekerjaan ingin ia abaikan untuk sementara. Setidaknya, sampai pikirannya kembali tenang.
Akhirnya percakapan kedua pasangan suami-istri itu berakhir dengan Fitri yang memilih pergi ke dapur, dan Fian yang pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak ada yang mengetahui percakapan seputar pekerjaan Fian selain keduanya.
Setidaknya, itulah yang ada di pikiran mereka.
Padahal, ibunda dari Fian tidak sengaja mendengar percakapan anak dan menantunya itu tadi. Ya, ibu mertua Fitri itu mendengar semuanya. Tentang Fian yang ter-PHK dan uang gaji dari membuat kerangka layangan yang hasilnya tidaklah seberapa.
Fitri dan Fian sama sekali tidak mengetahuinya, karena sang ibu pergi tepat setelah Fitri berujar kalau ingin memasakkan Fian makan malam. Kamar mereka memang tidak kedap suara, apalagi dengan keadaan pintu yang sedikit terbuka. Membuat siapapun bisa saja mendengar percakapan mereka, termasuk sang ibunda.
"Aku tidak tahu kalau masalah Fitri dan Fian jadi serumit itu," gumam wanita paruh baya yang saat ini sudah berada di dalam kamarnya tersebut.
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro