Bagian 5 ⭒࿈⭒ Godaan & Cobaan
•
•
•
Sreng sreng
Tak tak tak
Suara-suara pisau yang beradu dengan talenan, dan suara wajan beserta penggorengnya menjadi melodi yang umum terjadi di dapur setiap rumah. Begitupun yang terjadi di rumah sederhana milik sang ibu mertua.
Kini Fitri tengah membantu ibu mertuanya memasak makan malam. Beserta Mbak Sajidah dan Sara Mona juga. Keempat perempuan berbeda usia itu tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Fitri yang tengah memotong sayuran, Mbak Sajidah yang tengah menggoreng, dan Sara Mona yang tengah mencuci beras. Lalu sang ibu mertua sendiri tengah mengulek bumbu sekarang.
Keempatnya begitu sibuk hingga tak menyadari sosok Aldiano Lutfiansyah yang muncul dari balik pintu dapur. Laki-laki itu menghampiri sang istri secara diam-diam, lalu membisikkan kata-kata yang membuat Fitri berdiri mematung dengan pipi yang sudah semerah tomat.
"Rajinnya istriku."
Kalimat sederhana itulah yang membuat Fitriana Ayodya terdiam kaku sekarang. Sementara sang pelaku sendiri sudah beranjak pergi dengan kekehan kecilnya, merasa sangat puas karena lagi-lagi berhasil menggoda istrinya.
"Fitri!"
Fitri terkesiap. "Eh, iya Mbak?"
Sajidah menatap tajam adik iparnya itu. "Kamu lagi motong wortel kok ngelamun? Bahaya loh! Lagi mikirin apa, sih?"
Pertanyaan beruntun dari sang kakak ipar membuat Fitri kembali memunculkan rona di pipi berlesungnya. "Ng-nggak apa-apa kok, Mbak."
Sajidah semakin memicingkan matanya melihat kelakuan tidak biasa dari sang adik ipar. Lama berpikir dengan tangan di dagu, Sajidah akhirnya mendapatkan jawabannya kala melihat sang adik─Fian─yang baru saja melintas.
"Ohh! Pasti karena Fian nih!" Sajidah mengembangkan senyumnya kala melihat Fitri menggelengkan kepalanya, tapi dengan pipi yang semakin memerah. "Kan bener, hahaha. Gemes banget sih kalian!" pekiknya dengan antusias.
Kegaduhan yang dibuat Sajidah dan Fitri membuat Sara Mona jadi penasaran. Jaraknya yang memang lumayan jauh dengan tempat Fitri dan Sajidah berdiri membuatnya tak bisa mendengar pembicaran mereka dengan jelas. "Itu Mbak Jidah sama Fitri ngomongin apaan sih, Bu?" tanyanya pada sang ibu yang berdiri tak jauh darinya.
Sang ibu yang ditanya hanya mengangkat bahunya sembari fokus mengaduk sayuran di kompor, lalu memasukkan olahan bumbu yang telah diuleknya ke dalam panci berisi air dan sayur yang sudah mendidih itu. "Nggak tau, kenapa nggak kamu samperin aja?" sarannya.
Sara mendengkus. "Kalau memang aku mau, sudah pasti akan kulakukan sejak tadi, Ibu. Aku hanya sedang malas berdiri dan menghampiri mereka," alibi Sara. Padahal ia hanya gengsi, takut disangka terlalu kepo. Lagipula, ia tidak mau Mbak Sajidah jadi terlalu percaya diri nanti.
"Ya sudah, itu berasnya cepat kamu masak. Biar matangnya juga tidak terlalu lama."
Sara mengiyakan perintah sang ibu tanpa suara. Gadis itu segera saja menghidupkan kompor satunya dan meletakkan panci yang cukup besar di sana. Tak lupa mengisinya dengan air dan menutup bagian tengahnya dengan pembatas panci. Lantas mempersiapkan beras yang sudah dicucinya itu untuk ditanak.
Sementara Sajidah dan Fitri yang sudah menyelesaikan pembicaraan singkatnya, langsung kembali melakukan tugas memasaknya masing-masing.
⭒࿈⭒
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam sekarang. Makan malam bersama sudah dilaksanakan oleh keluarga kecil itu barusan. Sekarang mereka tengah berbincang-bincang di ruang keluarga. Seperti Sajidah yang asik bermain dengan putri dan suaminya. Lalu Fitri dan Fian yang tengah mendengar dongeng sang ibu. Terakhir ada Sara Mona yang tampak sibuk sendiri dengan buku resep dan bolpoint di tangannya.
Gadis 18 tahun itu memang suka memasak. Sara juga suka membuat resep baru dan biasanya akan dipraktekkan keesokan harinya. Entah itu membuat roti, jajanan, makanan ringan, dan lain-lain. Kemudian setelah resepnya berhasil, gadis itu akan membagikannya kepada seluruh keluarga dengan antusias.
"Jadi Fian, bagaimana pekerjaanmu di pabrik?"
Pertanyaan sang ibu yang memang cukup keras membuat perhatian semuanya teralihkan ke sosok sang ibu, lalu beralih menatapnya dengan penasaran.
Fian menghela napasnya. "Sejauh ini masih normal seperti biasa. Namun akhir-akhir ini, si boss jadi sering marah-marah dengan seseorang di ponselnya. Entahlah, akupun tak tahu apa yang terjadi."
Sajidah mengelus dagunya, tampak sedang berpikir keras. "Sepertinya ada hal serius yang terjadi, tapi ya udahlah. Ngapain juga ikut campur urusan atasan, 'kan?"
"Mbak Sajidah ada benarnya, Mas. Kamu nggak perlu ikut memikirkan itu," imbuh Fitri. Ia sangat paham bagaimana perasaan sang suami saat ini, karena Fian memang lumayan dekat dengan bosnya itu. Jadi tidak mungkin suaminya itu tidak ikut kepikiran.
"Hm, kalian benar. Sepertinya aku terlalu terbawa suasana."
"Iya, kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Cukup kau pikirkan saja Fitri agar hidupmu lebih tenang," ujar Sajidah sembari menaik turunkan alisnya menggoda sang adik.
Fian tersedak ludahnya sendiri. Rasa panas mulai menjalari wajahnya. Tidak jauh berbeda dengan Fian, Fitri pun juga demikian. Bahkan gadis itu sudah memalingkan wajahnya agar para keluarga suaminya ini tidak melihat wajah merahnya. Sementara Sajidah dan sang ibu mertua hanya menertawakan ia dan suaminya dengan kencang. Bahkan suami dari sang kakak iparnya itu juga ikut-ikutan menggoda mereka.
"Apa sih, Mbak? Godain aku terusss."
"Hahaha, kau sama saja seperti Fitri, Yan! Kalau digodain pasti langsung merona! Lihat wajahmu yang merah itu!" seru Sajidah sembari menunjuk-nunjuk wajah sang adik laki-laki.
Spontan saja hal itu membuat yang digoda semakin malu bukan main. Fian benar-benar mengutuk kakak perempuannya yang memang sangat jahil itu dalam hati. Mana berani ia mengatakannya langsung, bisa-bisa ia langsung mendapatkan pukulan di kepalanya saat itu. Sang ibu jadi ikut tertawa melihat interaksi anak dan para menantunya. Semuanya tertawa dan bersenang-senang malam itu. Begitu ramai dan ceria suasananya. Namun hanya satu orang yang tidak menikmati itu semua.
Sara Mona.
Gadis itu benar-benar muak dengan tawa bahagia Fitri sekarang. Ia merasa posisinya telah tergantikan oleh istri sang kakak yang seumuran dengannya itu. Lagipula bagian mananya dari Fitri yang disukai kakaknya itu, sih?
"Sara, kenapa melamun?"
Suara sang ibu berhasil menginterupsi Sara Mona yang sempat hanyut dalam lamunannya. Gadis manis dengan rambut panjang dicepol itu menatap satu per satu anggota keluarganya yang kini juga tengah menatapnya. Dapat Sara lihat tatapan kebingungan dari mereka.
"Aku hanya memikirkan hal yang cukup memuakkan, Ibu."
Jawaban Sara Mona yang cukup ambigu itu membuat semuanya terdiam. Apalagi ketika melihat sudut bibir Sara terangkat dan membentuk seulas senyuman. "Sangat memuakkan hingga rasanya aku ingin menghancurkannya."
Hening.
Suasana menjadi hening seketika saat kalimat yang cukup menyeramkan itu dilontarkan Sara Mona. Hingga beberapa saat setelahnya, tawa meledak dari Sajidah berhasil memecah suasana menegangkan tersebut.
"Hahaha, ngomong apa sih kamu, Dek?" Sajidah tertawa hingga memukul-mukul bahu Sara sembari memegangi perutnya.
"Perumpamaanmu itu terlalu menyeramkan tau," ujar Sajidah setelahnya. Sajidah mengelap sudut matanya yang sempat mengeluarkan air karena efek tawanya. Wanita berusia 26 tahun itu menatap sang adik bungsu dengan ekspresi gelinya.
"Tapi aku serius loh, Mbak."
"Halah, ada-ada saja kamu."
Sajidah kembali tertawa, dan kini tawanya itu berhasil mengundang kekehan geli dari semua anggota keluarganya. Termasuk Fitri yang juga menganggap perkataan Sara tadi adalah sebuah candaan belaka.
•
•
•
Waduh! Apa tidak ada yang curiga sama sekali dengan maksud dari perkataan Sara Mona, ya?
(◎_◎;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro