Bagian 49 ⭒࿈⭒ Babak Belur
•
•
•
Sudah tiga hari sejak Fitri sakit. Sejak saat itu pula Fian selalu meminta izin untuk pulang lebih awal dari jam kerjanya. Beruntungnya Abah juga memaklumi hal tersebut. Karena faktanya, Fian menerima gaji penuh di pekan ini. Tidak seperti yang dibayangkan, benar-benar di luar ekspektasi juga. Umumnya gaji pekerja akan dipotong, tapi ini tidak. Gaji yang diperoleh Fian malah utuh tanpa dikurangi sepeser pun.
Rasa syukur dan terima kasih langsung Fian panjatkan pada sang maha kuasa yang telah mempertemukannya dengan orang-orang baik seperti Kakek dari Rama tersebut. Ah, ngomongin soal Rama ... Fian belum bertemu laki-laki itu sama sekali sejak terakhir kali pertemuan mereka di hari itu.
Kira-kira apa yang sedang dilakukannya, ya?
"Mungkin aku harus berkunjung ke rumahnya," monolog Fian sembari mempercepat laju kayuhan sepedanya. Hari masih tergolong siang, jadi ia memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah temannya tersebut untuk bersilaturahmi.
⭒࿈⭒
Tok, tok, tok!
Kini Fian sudah berada di depan pintu rumah Rama, menunggu seseorang untuk membukakan pintu untuknya. Sepedanya ia letakkan di bawah pohon jambu yang berada di halaman rumah temannya itu. Tempat yang cukup strategis karena dibawahnya pun ada seonggok kayu panjang, yang sepertinya memang diperuntukkan untuk duduk-duduk.
Ceklek!
Netra Fian langsung menoleh ke sumber suara, seketika itu juga ia dibuat terkesiap kala menemukan Rama dalam keadaan wajah diplester di mana-mana.
"Ada apa denganmu?" tanya Fian yang tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
"Biasalah, anak cowok." Rama menjawab dengan santainya. Sesekali ringisan kecil terdengar dari bibir laki-laki itu.
Fian mendengkus, dan memberikan seplastik buah jeruk yang tadi sempat dibelinya di jalan pada Rama. Laki-laki itu menerimanya dengan senang hati. Kemudian Rama mempersilakan Fian untuk masuk dan duduk di sofa, sementara ia akan membuatkan minuman dan mengambil camilan untuknya.
"Padahal tidak perlu repot-repot," tutur Fian yang langsung mendapat delikan tak setuju dari Rama.
"Jangan gitu, Yan. Kau itu tamu di rumah ini," ujar Rama yang mulai beranjak ke dapur dan meninggalkan temannya itu sendirian di sofa. Rumahnya sedang sepi sekarang, sang ibu tengah ke sekolah adiknya. Jadilah hanya ia sendiri yang berada di rumah.
Usai membuat jus jeruk dan mengambil beberapa toples camilan, Rama segera membawa semua itu ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja panjang yang berada di tengah ruangan. Lantas kemudian mendudukkan dirinya di depan Fian yang masih saja menatapnya dengan kedua netra memicing penasaran.
"Kau berkelahi dengan siapa, Ram? Sampai babak belur begitu wajahmu."
"Preman pasar, Yan. Aku dipalak lusa kemarin. Mana posisinya nggak bawa uang lagi. Ya sudah, aku kabur saja." Rama terkekeh dan menggelengkan kepalanya kala mengingat kejadian itu. "Eh, dikejar dong. Terus mereka malah mancing-mancing ngajak kelahi, ya aku ladenin lah."
Fian benar-benar tidak habis pikir dengan temannya ini. Kenapa juga Rama harus meladeni mereka dan tidak meminta pertolongan warga sekitar pasar saja? Menantang diri namanya kalau malah meladeni ajakan berkelahi para preman tersebut, pikir Fian. Lihat akibatnya, kan? Pulang-pulang malah babak belur jadinya.
Namun jika melihat tabiat Rama yang memang pantang takut, sepertinya tidak mungkin jika laki-laki itu tidak meladeni para preman pasar tersebut.
"Harusnya kau tidak usah meladeni mereka."
"Dan membiarkan diriku dipalak? Ohh tidak, terima kasih."
Keduanya terdiam beberapa saat, lalu tertawa bersama. Entah hal apa yang lucu dari percakapan barusan. Yang jelas, hanya Fian dan Rama yang tahu.
"Ohh, ya. Jadi apa yang membawamu kemari?" tanya Rama sembari mengambil salah satu gelas di atas meja dan meminum jus jeruk bagiannya. Ia memang membuat dua gelas minuman tadi.
Fian menggeleng sebagai jawaban. "Hanya ingin berkunjung dan berterima kasih, karena sudah beberapa hari ini aku tidak melihatmu. Kau memang jarang ke rumah Abah, ya?"
Rama mengiyakan pertanyaan Fian. "Aku ke rumah Abah kalau ada perlunya saja. Selebihnya, ya di sini. Atau nongkrong sama temen-temen di alun-alun maupun di stadion. Kalau malam, aku kerja bantu Ibu jualan nasi goreng."
Penjelasan Rama membuat Fian jadi mengangguk paham. Ya, laki-laki bujangan seperti Rama ini memang lebih suka menghabiskan waktunya untuk nongkrong sembari mencari pekerjaan sambilan. Atau membantu orang tua berjualan seperti kasusnya Rama. Ia pun dulu juga seperti itu ketika masih asik-asiknya jadi bujangan.
Sekarang sudah tidak bisa lagi karena ia sudah mempunyai istri. Bisa gawat kalau ia masih saja nongkrong sampai larut malam sementara sang istri menunggu ia pulang. Lagipula, lebih enak bermanja-manja dengan istrinya daripada nongkrong dan menghabiskan uang di luar.
Setidaknya itulah pola pikir Fian sekarang ini. Sangat berbeda ketika ia masih belum punya pasangan dan beristri dulu.
"Pantas saja kau tidak ke rumah Abah sejak mengantarku beberapa hari yang lalu," ujar Fian disertai kekehan kecilnya. Membuat Rama jadi ikut tertawa kecil dibuatnya.
"Ya, begitulah."
⭒࿈⭒
"Mbak Sajidah! Fian sudah pulang belum?!"
Itu adalah kalimat kesekian kalinya yang dilontarkan Fitri pada Sajidah. Kakak perempuan dari Aldiano Lutfiansyah itu sampai dibuat geleng-geleng kepala karena pekikan adik iparnya tersebut. Ia berada di teras rumah sembari momong Maulida saat ini. Sementara Fitri berada di ruang tengah sembari menjahit beberapa baju Maulida yang sobek karena disuruh olehnya.
"Belum, Fit! Sudah, fokus saja dengan jahitannya! Awas saja kalau sampai kamu salah memasukkan jarum dan benangnya!"
Pekikan kakak iparnya tersebut langsung membuat Fitri cemberut di tempat. Dengan perasaan kesal yang tertahan, ia kembali menjahit baju keponakannya yang sobek di beberapa bagian. Ia melakukannya dengan sangat teliti dan hati-hati, karena ia tidak mau baju sang keponakan semakin parah nanti. Sekesal apapun ia saat ini, tidak seharusnya ia melampiaskannya pada baju-baju tak berdosa ini, kan?
Sementara Sajidah di tempatnya hanya terkikik geli sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melihat semua ekspresi cemberut dan kesal Fitri dari balik celah pintu utama rumah. Ia akui kalau ia senang sekali menjahili adik ipar manisnya itu. Karena jujur saja, ekspresi Fitri jika sedang cemberut ataupun kesal sangat lucu.
Pantas saja adik laki-lakinya sampai tergila-gila pada gadis bernama lengkap Fitriana Ayodya tersebut. Karena memang pada dasarnya, kecantikan dan kepribadian baik Fitri berhasil membuat adiknya tertarik.
"Si Fian beruntung banget punya istri kayak kamu, Fit." Sajidah bergumam pelan disertai seulas senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Netranya menatap penuh ketulusan pada sang adik ipar yang masih sibuk dengan jahitannya.
"Semoga kalian berdua selalu diberi kebahagiaan."
•
•
•
Amiin paling kenceng, sih.
(●´∀`●)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro