Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 41 ⭒࿈⭒ Ke Rumah Abah



"Ohh, Rama ... Masuklah, Nak. Abah sudah menunggumu di dalam."

Dapat Fian lihat senyuman Rama mengembang kala seorang wanita paruh baya yang kira-kira berusia 45 tahun keluar dari pintu rumah itu dan menyambutnya. Rama langsung saja menyalami wanita tersebut dan mengajak Fian masuk ke dalam rumah.

Fian tidak bisa tidak terkejut dan terperangah saat mulai masuk ke dalam rumah tersebut. Karena apa yang dilihatnya saat ini sungguh di luar dugaan. Rumah yang terlihat sederhana di luar itu dalamnya sangat mewah ternyata. Sofa berwarna merah menyambutnya di ruang tamu, ditambah berbagai macam camilan yang tersedia di meja besar tersebut.

"Ayo duduk, Ibu panggilkan Abah dulu."

Sesuai instruksi sang pemilik rumah, Rama dan Fian mendudukkan dirinya di sofa. Sementara wanita paruh baya tersebut sudah masuk ke dalam. Memanggil seseorang yang dipanggil 'Abah' oleh Rama.

"Sebenarnya ini rumah siapa?" tanya Fian pada Rama. Ia sudah penasaran sekali, karena sedari tadi Rama juga tidak memberitahunya apa-apa. Laki-laki itu hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, bahkan tidak mengajaknya berbicara sekalipun.

"Ini rumah Kakekku," jawabnya.

Fian terdiam. Sungguh, ia sudah menduganya sejak awal, dan ternyata benar. Abah yang dimaksud masih memiliki hubungan keluarga dengan Rama, sang kakek lebih tepatnya.

"Lalu wanita tadi siapa?" tanya Fian lagi.

"Wanita tadi Ibu sambungku," tutur Rama dengan suara pelan.

Netra Fian membola sempurna. Ia menatap teman barunya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Sungguh, ia tidak menyangka kalau keluarga Rama sedikit rumit juga. Pantas saja ia tidak melihat ayah Rama di rumahnya tadi. Ternyata ayahnya itu tinggal di sini bersama istri barunya.

"Kau baik-baik saja dengan ini, Ram?"

Rama terkekeh geli mendengar pertanyaan Fian yang menurutnya lucu tersebut. "Aku tidak merasakan apa-apa. Bagiku yang penting semuanya masih ada, aku sudah sangat bersyukur, Yan. Kebahagiaan setiap orang itu berbeda-beda, dan kebahagiaan ayahku hanya bersama ibu sambungku."

Rama benar. Kita tidak bisa memaksakan perasaan seseorang. Setiap orang berhak memilih untuk ke mana dan kepada siapa hatinya berlabuh. Dalam kasus ini, ayah Rama lebih memilih hidup bersama wanita yang kini sudah menjadi istri sahnya, daripada istri pertamanya. Ibu kandung dari Rama dan Arik.

"Hmm ... kau benar, Ram. Setiap perasaan tidak bisa dipaksakan. Asal yang menjalani bahagia akan keputusannya," ujar Fian disertai senyum simpulnya.

Rama menarik sudut bibirnya ke atas. "Ya, begitulah. Lagian-"

"Assalamua'laikum ..."

Perkataan Rama dipotong oleh suara berat yang mengucapkan salam. Mau tidak mau, Rama dan Fian menoleh ke sumber suara. Tak lupa juga menjawab salam. Dapat dilihat seorang kakek-kakek dengan rambutnya yang sudah sepenuhnya beruban, keluar dari sekat pintu yang menghubungkan lorong dan ruang tamu.

"Abah," gumam Rama yang tanpa ba-bi-bu lagi langsung menyalami tangan pria tua tersebut. Fian pun demikian, ia ikut menyalami dan mencium punggung tangan pria tua yang memakai jubah putih itu.

"Sudah lama kamu tidak kemari, Ram." Abah berujar sembari menepuk pundak cucu kesayangannya tersebut. Pria tua tersebut menoleh dan baru menyadari ada sosok pemuda di samping sang cucu. "Ini siapa, Ram? Tidak biasanya kamu membawa teman kemari," tanyanya kemudian.

Fian tersenyum canggung ketika ditatap sedemikian rupa oleh kakek-kakek di depannya ini. Dari perawakannya saja, ia sudah tahu kalau kakeknya Rama ini adalah orang yang sangat disegani di sini.

"Teman baru Rama, Bah. Dia sedang mencari pekerjaan, kira-kira Abah punya pekerjaan untuknya tidak?"

Kakek tersebut mengangguk mengerti. Dengan perlahan, pria tua itu mendudukkan dirinya di sofa yang masih kosong. Sebelum itu menepuk-nepuknya sofa sebentar agar lebih nyaman untuk diduduki. Lantas kembali menatap penuh pada sang cucu dan teman barunya.

"Tidak ada toko yang mau menerima dan mempekerjakanmu karena masalah ijazah, bukan?"

Fian memicingkan kedua matanya.

Bagaimana dia bisa tahu?

Coba pikirkan. Apakah kakeknya Rama ini seorang cenayang atau memang sudah tahu dari sekali lihat ketika menatapnya. Namun Fian lebih percaya pada opsi kedua.

"Iya Bah, benar. Mereka menolak mempekerjakan saya karena ijazah saya hanya ijazah SD. Padahal saya mempunyai skill yang benar-benar dibutuhkan di sana," jawab Fian dengan lugas dan cepat. Karena memang benar adanya, mereka hanya membutuhkan pembuktian di atas kertas bernama ijazah.

"Zaman sekarang orang-orang memang lebih selektif dalam memasukkan pekerja di toko atau perusahaan mereka. Namun akan lebih baik kalau mereka juga melakukan uji skill untuk divisi yang diambil. Bukan main terima saja karena si pelamar memiliki keempat ijazah mulai dari SD, SMP, SMA, dan S1 atau D4."

Rama dan Fian mengangguk serempak, menyetujui perkataan sang kakek. Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Kesenjangan ekonomi masihlah terasa. Orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin. Jika orang kaya jadi miskin, otomatis orang miskin akan jadi banyak.

Mencari pekerjaan tetap dengan gaji tinggi sangat sulit. Apalagi tidak semua orang bisa meraih pendidikan ke jenjang yang tertinggi. Contoh nyata adalah Fian. Karena hanya memiliki ijazah SD saja, laki-laki itu ditolak dari beberapa tempat kerja yang ia lamar.

Faktanya, kesenjangan ekonomi juga berpengaruh pada pendidikan. Fian tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena keadaan ekonomi keluarganya waktu itu. Ia harus rela membuang impian dan cita-citanya yang ingin menjadi penyanyi dan penyair demi menjadi tulang punggung keluarga.

Tidak mudah, itu sungguh berat.

Bayangkan, diusia yang baru menginjak angka 13, kau sudah harus pergi ke sawah dan mencangkul tanah. Ke ladang untuk menanam jagung pun dilakukannya. Bahkan membuat layang-layang pun juga pernah dikerjakannya.

Aldiano Lutfiansyah dan segala latar belakang kehidupannya memang penuh pelajaran berharga. Sang pujangga cinta tersebut memang berbeda dari orang kebanyakan.

"Maka dari itu, Bah. Apakah ada pekerjaan untuk Fian?" celetuk Rama sembari menatap penuh harap pada sang kakek.

"Sebenarnya ada, tapi uang yang didapat tidak akan sebanding dengan yang kamu kerjakan, Fian. Lebih baik jangan," pungkas sang kakek.

"Tidak apa-apa, Bah! Apapun itu asalkan pekerjaan yang halal, saya pasti mau dan sanggup mengerjakannya!" Fian menyahut dengan antusias. Dapat Rama lihat ada binar harap dan kilat semangat di netra teman barunya tersebut. Hal itu tentu membuatnya jadi menyunggingkan senyum simpul.

"Kalau begitu, ikutlah Abah ke dalam. Akan Abah tunjukkan pekerjaan apa yang Abah maksud," ujar sang kakek yang kemudian berdiri dari acara duduknya dan mulai melangkah semakin dalam ke rumah.

Fian langsung mengikutinya dari belakang, sementara Rama lebih memilih di ruang tamu saja sembari menidurkan dirinya di sofa.



Hm, kira-kira pekerjaan seperti apa ya yang dimaksud?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro