Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 40 ⭒࿈⭒ Masih Bertamu



"Ohh, jadi kamu sedang mencari pekerjaan, ya?"

Senyum canggung tampak di bibir laki-laki bernama lengkap Aldiano Lutfiansyah itu. Fian hanya tersenyum canggung untuk menanggapi pertanyaan wanita paruh baya di depannya ini. Sebenarnya ia pun merasa malu, terutama pada teman barunya, Rama.

Laki-laki dengan tampang preman itu sedang ke kamarnya sebentar. Entah, ingin mengambil sesuatu katanya. Sementara dirinya, harus menghadapi seorang bocah laki-laki─yang ia ketahui sebagai adik Rama─dan seorang wanita paruh baya yang ia ketahui sebagai ibu dari teman barunya.

"Ya, begitulah Tante. Saya ditolak beberapa kali oleh toko-toko di mana saya melamar. Alasannya ya itu, karena ijazah." Senyum getir ditunjukkan Fian setelahnya. Bukan keinginannya untuk putus sekolah di usia 12 tahun kala itu. Namun karena keadaan perekonomian keluargalah yang menjadi penyebab dibalik berhentinya ia, memilih bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga membantu sang ayah.

"Astaga, kasihan sekali."

Ya, memang kasihan. Fian pun sadar diri akan kondisinya. Akan tetapi, ia pun sadar akan skill yang dimilikinya. Ia tergolong seseorang yang multitalenta. Menyanyi bisa, bersyair bisa, otomotif bisa, elektronik bisa, bangunan juga bisa. Public speaking pun ia bisa, sangat bisa bahkan.

Namun mau bagaimana lagi? Yang dicari oleh mereka itu pembuktian di atas kertas. Bukan skill yang memang seharusnya menjadi dasar. Karena terkadang, ada orang berpendidikan tinggi, tapi tak bisa apa-apa. Keempat ijazah yang dipegangnya tak berarti apa-apa.

Adil, kah?

Kalau dilihat secara rasa, jelas tidak adil. Namun bila dilihat secara rasio, rasanya memang adil. Orang yang berpendidikan tinggi memang akan dipandang tinggi oleh orang sekitar. Berbeda dengan orang yang hanya bermodalkan ijazah SD sepertinya.

"Ahahaha, ya begitulah. Saya sudah biasa mengalami penolakan terkait hal itu." Fian memaksakan senyumnya. Netranya tanpa sengaja menatap pada pantulan dirinya di cermin yang terletak di sebelah kanan. Cermin itu menyatu dengan almari yang berisi gelas-gelas kaca. Ya, rumah yang disinggahinya ini memang tergolong menengah ke atas.

"Rama mana ya, Tante? Lama sekali dia," tutur Fian setelahnya. Tadi Rama berpamitan ke kamarnya untuk mengurus sesuatu, tapi kenapa lama sekali. Perkiraan sudah sekitar dua puluh menit lamanya Rama meninggalkan dirinya bertiga saja dengan ibu dan adiknya.

"Entahlah, sebentar Tante panggilkan, ya?" Ibunda Rama dan Arik tersebut berdiri tanpa menunggu jawaban Fian. Ia mendatangi kamar putra sulungnya dengan niat memanggil Rama keluar.

"Rama! Ngapain sih, di kamar?! Cepat keluar! Fian nyariin ini loh!" Pekikan wanita paruh baya itu langsung membuat si kecil Arik yang awalnya tengah asik menggambar jadi tercoreng gambarnya.

"Huaaa, kan jadi tercoreng!" gerutu bocah laki-laki berusia sebelas tahun tersebut dengan bibir yang sudah mengerucut. Arik menatap nanar pada hasil gambarnya yang jadi tercoreng karena suara sang ibu berhasil membuatnya terkejut.

Fian terkekeh, diusapnya kepala Arik dengan lembut. "Sabar, buat saja lagi yang lebih bagus." Ia mengacungkan jempol tangannya untuk menyemangati bocah itu.

Arik yang mendapatkan kalimat semangat dari Fian langsung mengembangkan senyumnya. Bocah laki-laki itu segera saja kembali fokus pada pensil dan buku gambar di meja. Fokus memperbaiki gambarnya yang rusak karena tercoreng. Entah apa yang akan dilakukan Arik untuk menebus dan mengganti gambarnya yang rusak.

Tap, tap tap!

Suara langkah kaki yang terdengar begitu tegas membuat Fian menoleh ke sumber suara. Dapat dilihatnya Rama sudah keluar dari kamar dengan pakaian yang lebih rapi daripada yang tadi. Celana jeans hitam dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah. Rambutnya juga demikian, yang biasanya klumus-klumus, lemes-lemes, sekarang jadi tegak ke samping dan tegak ke atas.

"Mau ke mana, Ram?" tanya wanita paruh baya yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibunda dari Rama.

"Mau keluar, Bu. Sekalian bantuin si Fian nyari kerja, siapa tahu dapet."

Perkataan Rama yang diluar dugaan itu membuat Aldiano Lutfiansyah terkejut. Fian terperangah dengan mulut yang sedikit terbuka, menatap Rama dengan satu alis terangkat. "Kau mau membantuku? Kenapa?" tanyanya.

Rama mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, hanya ingin. Boleh kan, Bu?" Rama mengalihkan pandangannya pada sang ibunda yang masih terdiam memerhatikan mereka.

"Tentu saja!"

Jawaban sang ibu yang tampak antusias membuat Rama menarik sudut bibirnya ke atas. Ia menghampiri sang adik yang masih terduduk di lantai sembari menggambar tersebut dengan cepat. Mendaratkan satu cubitan pada pipi Arik hingga membuat sang empunya terpekik kesal karenanya.

"Kalau begitu, aku keluar dulu, Bu. Ayo, Yan!" ajak Rama pada Fian.

Fian yang masih mencerna kejadian yang dialaminya saat ini hanya menganggukkan kepalanya dengan kaku dan mengikuti langkah Rama. Tak lupa ia berpamitan pada ibu dan adik dari teman barunya tersebut. Setelahnya, ia memutuskan untuk pergi keluar dan mengikuti ke mana langkah Rama akan membawanya.

⭒࿈⭒

Roda sepeda yang berputar itu terus melaju ke depan. Mengikuti kayuhan sang pemilik tanpa ada bantahan. Fian dengan perasaan bingung masih mengikuti Rama yang juga sedang mengayuh sepeda di depannya. Sudah sekitar lima belas menit ia mengayuh, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau Rama akan menghentikan kayuhannya.

Sebenarnya dia akan membawaku ke mana?

Pertanyaan itu terus terlintas di otaknya bagai kaset rusak. Seperti sebuah adegan film yang sengaja diputar berulang-ulang. Benar-benar membingungkan.

Lima menit berlalu dalam keheningan. Hanya terdengar suara ramai di jalanan. Hingga Rama membelokkan sepedanya pada sebuah tikungan dan berhenti di suatu rumah yang sangat sederhana. Laki-laki turun dari sepedanya dan memarkirkannya di bawah pohon rambutan yang terletak di samping rumah.

"Aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Siapa tahu dia bisa membantu kesulitanmu," tutur Rama disertai seringai kecilnya.

Fian tidak tahu apa arti dari seringai itu, tapi ia mulai curiga. Menurutnya aneh saja, kenapa Rama mau membantunya? Padahal mereka baru saja bertemu hari ini. Kenapa laki-laki itu mau repot-repot mengenalkannya pada seseorang yang tinggal di dalam rumah ini?

Semakin dipikirkan malah semakin membuatnya pusing. Baiklah, ia akan mengikuti permainan teman barunya ini. Ia berharap Rama tidak membawa ataupun mengajaknya melakukan hal aneh-aneh. Karena jika iya, ia tidak akan segan menegur laki-laki itu.

"Assalamua'laikum, Abah ..."

Abah?

Fian semakin mengernyitkan keningnya. Apakah seseorang yang dimaksud itu seorang haji mabrur, sampai-sampai Rama memanggilnya Abah? Atau mungkin itu adalah ayah Rama yang memang tinggal terpisah dengan ibunya?

Ah, daripada berpikir yang tidak-tidak. Akan lebih baik kalau ia melihatnya sendiri.

"Ohh, Rama ... Masuklah, Nak. Abah sudah menunggumu di dalam."



Wahh, siapakah kira-kira itu? Misterius banget ya, si Rama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro