Bagian 4 ⭒࿈⭒ Keseharian Baru
•
•
•
"Assalamu'alaikum, Fian pulang!"
"Waalaikumsalam, baru pulang Mas? Gimana kerjanya?"
Sara Mona menyambut kedatangan sang kakak laki-laki dengan sebuah senyuman indah tersungging di bibirnya. Gadis berusia 18 tahun yang selalu mencepol rambut panjangnya itu berinisiatif menyalami tangan sang kakak dan membawakan tas beserta tempat bekal Fian yang sudah kosong.
"Di mana kakak iparmu?"
Pertanyaan tiba-tiba sang kakak membuat Sara langsung melunturkan senyumannya. Dengan ekspresi malas ia menjawab, "nggak tau Mas. Di kamar kali."
Fian mengangguk mengerti. Laki-laki yang baru saja pulang dari bekerja itu mengusak gemas rambut sang adik sebelum beralih pergi menuju kamarnya. "Taruh tempat bekalnya di tempat yang biasa ya, Sara!" serunya sebelum benar-benar pergi meninggalkan Sara Mona yang sudah merengut kesal. Padahal ia sudah berniat akan menahan sang kakak dengan cerita-cerita seru yang akan diceritakannya seperti biasa.
Namun lagi-lagi, pusat perhatian sang kakak hanya tertuju ke kakak iparnya saja.
"Ck! Menyebalkan!"
⭒࿈⭒
Tok tok tok
Fitri yang tengah asik membaca buku sedikit terganggu dengan ketukan di pintu kamarnya tersebut. Ia mempersilakan sang pengetuk pintu untuk langsung masuk tanpa mengalihkan perhatiannya pada deretan kata di depannya.
"Fokus banget bacanya, sampai nggak nyadar kalau suaminya sudah pulang."
Suara yang sangat familiar di telinganya itu membuat Fitri spontan menoleh. Senyumannya mengembang saat melihat Fian sudah bersandar di sisi kanan pintu dengan kedua tangan yang sudah bersedekap, membuat ketampanannya jadi berkali-kali lipat.
"Kok nggak bilang-bilang kalau sudah pulang?" tanya Fitri sembari menutup bukunya dan meletakkannya di atas bantalnya. Ia meraih tangan sang suami dan menyalaminya.
Fian mendengkus. "Orang kamunya sibuk sama buku."
Fitri menunjukkan deretan giginya. Segera saja ia membantu sang suami menyiapkan keperluan mandinya. Mengambil handuk yang tersampir di atas pintu dan segera memberikannya pada Fian. "Kalau mau makan, ada di rak paling atas. Tadi aku sudah sisihkan punya kamu dan kutaruh di sana," papar Fitri.
Fian mengangguk tanpa suara. Cuaca sore yang masih panas membuatnya semakin gerah. Segera saja ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya setelah mencuri ciuman kecil dari Fitri. Membuat sang empunya menjadi kesal dengan sebuah rona di pipi.
"Astaga, dia itu." Fitri menahan senyumnya. Sejak mereka menjalin kasih, Fian tak pernah absen menggodanya dan membuat dirinya malu bukan main. Ada saja yang dilakukan laki-laki itu untuk menggodanya. Entah itu menggombalinya, atau membacakannya puisi-puisi romantis yang sanggup menggetarkan hati.
Setelah memastikan baju kotor Fian sudah masuk ke dalam keranjang, Fitri segera bergegas keluar rumah untuk menyapu halaman. Sore hari seperti ini memang waktunya bersih-bersih. Dilihatnya tetangga kanan-kiri yang juga sedang bersih-bersih. Ada Mbak Yanti, tetangga sebelah kiri rumah yang tengah menyiram tanaman. Di halaman rumah yang tidak begitu besar itu memang banyak sekali tanaman. Ibu dengan 3 orang anak itu suka sekali berkebun.
Kemudian tetangga sebelah kanan, ada Nek Ja yang tengah menyapu halaman. Beliau adalah seorang janda yang sudah lanjut usia, memiliki tiga orang anak laki-laki yang semuanya sudah berkeluarga. Beliau tinggal sendiri di rumah sederhana yang selalu tampak asri karena adanya pohon jambu dan beberapa tanaman sayur di halaman rumahnya.
Fitri akui, Nek Ja terlihat masih sangat sehat dan bugar di usianya yang sudah lanjut. Wanita tua itu juga sangat aktif mengikuti pengajian mingguan yang selalu diadakan di desa mereka. Sebagai sosok yang dituakan, beliau sering menjadi pembawa doa di pengajian para wanita.
"Nek Ja! Fitri bantuin menyapunya, ya?" tawar Fitri sembari menghampiri Nek Ja yang masih aktif menyapu daun-daun di halaman rumahnya.
Wanita tua itu menoleh dan memberikan senyuman tipis pada Fitri. "Nggak perlu, Nduk. Kamu sapu saja halaman rumahmu itu, Nenek masih bisa sendiri kok."
Fitri tersenyum.
"Ya sudah, tapi kalau butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan nggeh!"
Nek Ja langsung mengacungkan jempolnya pada Fitri, membuat gadis itu jadi tertawa kecil karenanya. Sementara Sajidah yang baru saja keluar rumah sembari menggendong anaknya─Maulida─hanya mengernyit bingung ketika mendapati Fitri yang tertawa sendiri.
"Kamu ketawa sama siapa, Fit?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Fitri yang menyadari kehadiran sang kakak ipar hanya menampilkan cengirannya. "Ketawa sama Nek Ja barusan," jawabnya.
Sajidah mengangguk mengerti. "Kamu lanjut dulu ya, nyapunya. Mbak mau momong nih anak, baru habis itu bantuin kamu. Sekalian nyiram-nyiram, biar nggak panas." Sajidah berujar sembari mengangkat putri kecilnya ke atas dan mendudukkan balita itu di teras.
"Iya Mbak, santai aja. Lagian Fitri juga baru mulai kok."
"Baguslah."
Percakapan pun berakhir. Fitri kembali fokus menyapu halaman, menyingkirkan batu-batu kecil yang menghalangi jalan dan membuang sampah. Sementara Sajidah langsung ke area samping kanan rumah untuk mengambil air di sumur yang berada di sana. Mengisi bertimba-timba air dan menyiramkannya ke halaman rumah. Tanah yang semula kering dan panas, langsung basah dan terasa sejuk. Tak ketinggalan pula, tanaman-tanaman yang ada di halaman pun disiramnya juga.
Sajidah berhasil membuat pemandangan di sore hari itu menjadi sangat segar dan menyejukkan.
Tidak hanya halaman rumah mereka, tapi halaman rumah para tetangga pun demikian. Para pemiliknya juga sudah menyapu, membersihkan, dan menyiram halaman rumah mereka masing-masing. Di saat itu, rasanya aktivitas sore itu memang menjadi sebuah keharusan di sana. Daripada pagi hari, warga di sana lebih suka bersih-bersih saat sore hari. Biasanya mulai pukul tiga sore hingga pukul empat.
Setelahnya, para warga atau tetangga yang didominasi oleh para ibu-ibu akan berkumpul di teras dan mulai berbincang-bincang tentang banyak hal sembari menunggu waktu maghrib tiba. Mereka berpindah-pindah, tidak di satu teras rumah saja. Namun bisa di teras rumah yang lainnya juga. Seolah-olah memang dibuat bergantian. Padahal itu hanyalah naluri saja. Karena siapapun yang datang duluan, dialah yang bebas menentukan tempat duduk di teras rumah yang mana.
Seperti sekarang.
Fitri yang notabenenya adalah pengantin baru harus menahan malu karena terus digoda oleh kumpulan ibu-ibu di depannya ini. Tak ketinggalan, Mbak Sajidah yang tengah menggendong Maulida pun ikut menggodanya habis-habisan.
"Jadi gimana si Fian, Fit? Perkasa nggak dia?" tanya salah satunya.
"Bu Erni, jangan nanya kayak gitu ah. Itu kan topik sensitif," cicit Fitri sembari menunduk dalam. Gadis itu mati-matian menutupi wajahnya yang mulai memerah.
"Hahaha, astaga lucunya."
"Tapi Fian beneran perkasa 'kan, Fit?"
"Mbak Jidah! Jangan ikut-ikutan dong!"
Semua ibu-ibu yang ada di sana sontak tertawa karena pekikan kecil Fitriana Ayodya itu. Mereka benar-benar puas melihat ekspresi malu-malu Fitri yang memang sangat lucu. Hal itu terus berlanjut hingga matahari mulai tenggelam dan menunjukkan cahaya jingganya.
•
•
•
Wahh, si Fitri jadi bahan godaan para ibu-ibu ヽ(*⌒∇⌒*)ノ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro