Bagian 38 ⭒࿈⭒ Masalah Anak
•
•
•
Kini Fian dan Ilham tengah berada di kantin rumah sakit. Membeli makanan seperti yang diperintahkan oleh ibu mertua mereka. Cuaca siang hari yang cukup terik itu membuat dua laki-laki berbeda usia tersebut merasa kelelahan dan kehausan.
Lihat saja Fian, laki-laki yang tahun ini berusia 22 tahun tersebut sudah mengelap dahinya yang berkeringat beberapa kali. Fian sudah memesan es barusan, ia hanya tinggal menunggu saja. Ia bahkan juga memesankan es untuk kakak iparnya tersebut. Sungguh sosok adik ipar yang sangat peka, bukan?
"Niki Mas, es tebunya. Monggo diminum ..."
"Ohh, nggih. Matur suwon, Mbok."
"Nggih, sami-sami."
Usai memberikan senyuman tipis pada sang ibu-ibu penjual, Fian kembali menolehkan kepalanya ke warung sebelah. Ya, warung tempat ia membeli nasi dan es barusan berbeda. Di sana Mas Ilham yang menjaga, katanya tinggal 3 bungkus nasi lagi yang belum.
"Minum dulu, Mas." Fian menyerahkan es tebunya pada Mas Ilham untuk diminum. "Nasinya tinggal berapa bungkus lagi?" tanyanya.
Slurp!
"Ah, segarnya ... tinggal tiga bungkus lagi," jawab Ilham seraya kembali menyeruput es tebu bungkusan plastik di tangannya. Siang-siang begini memang paling enak kalau meminum es tebu. Rasa manis dari tebu dan dinginnya es batu terasa melegakan ketika cairan berwarna hijau kekuningan tersebut telah sampai di tenggorokan.
"Mas, aku ingin punya anak."
Uhuk!
Perkataan tiba-tiba yang terlontar dengan lugas dari bibir Fian itu berhasil membuat Ilham tersedak es tebu yang diminumnya. Suami dati Mbak Mimah itu terbatuk beberapa kali sampai Fian harus menepuk-nepuk punggungnya untuk meringankan rasa sakitnya.
"Astaga, Fian! Kau ingin membuat Mas meregang nyawa duluan?" desis Ilham dengan delikan tajamnya.
Fian merintis. "Ya maaf, Mas. Akan tetapi, aku serius dengan perkataanku tadi."
"Ya berusahalah membuatnya dengan istrimu," ujar Ilham.
"Mau buat bagaimana, Fitri saja masih perawan."
"Apa?!" Ilham membulatkan netranya dengan sempurna. Bibirnya bahkan sampai terbuka. Benar-benar merasa terkejut dengan pengakuan Fian yang sungguh di luar dugaannya. "Fitri masih perawan?!"
Fian mengangguk dengan wajah lesunya. "Iya, Fitri masih perawan, Mas. Aku sama sekali belum menyentuhnya sejak menikah," tutur Fian apa adanya.
"Pernikahan kalian itu sudah lebih dari dua bulan, dan kau masih belum menyentuhnya?! Apa yang kau pikirkan sih, Fian?!" Sungguh, Ilham tidak bisa menahan rasa gemasnya sekarang. Jika saja ini bukan tempat umum, sudah sedari tadi ia berteriak dan mengacak-acak rambutnya seperti orang gila.
"Fitri belum siap melakukannya. Masa aku harus memaksakan kehendak padanya?"
"Oke, baiklah. Aku sudah mengerti di mana titik permasalahannya." Ilham menganggukkan kepalanya seraya mengelus dagu tanpa bulunya. "Berarti kamu harus membuat istrimu luluh dan mau melakukannya denganmu, Yan."
Fian mendengkus. "Mas pikir aku nggak pernah bujukin dia? Berkali-kali sudah aku bujukin, Mas. Cuma lihat wajah ketakutan dan gelisah Fitri, ya aku jadi nggak tegalah." Fian berujar sembari memejamkan matanya.
Tidak lama kemudian, nasi bungkus pesanan mereka selesai. Ilham membayarnya dengan uang pas, lalu mengambil kantung kresek berisi nasi bungkus dari tangan sang ibu penjual. Lantas membawanya pergi dari kantin rumah sakit tersebut. Tak lupa Fian yang mengekor di belakangnya, layaknya anak ayam.
Benar-benar pemandangan yang lucu.
⭒࿈⭒
Ceklek!
"Assalamua'laikum ..."
"Wa'alaikumsalam, dari mana saja kalian? Beli nasi kok lama banget?"
Baru saja sampai, Ilham dan Fian sudah dicecar pertanyaan oleh kedua istrinya. Mbak Mimah berkacak pinggang, Fitri mengambil alih barang.
"Panas, Mbak. Jadi ngadem dulu sambil beli es tebu," pungkas Fian disertai cengiran andalannya. Membuat laki-laki berkulit sawo matang itu semakin tampan.
"Melihat kalian berdua membuat Ayah jadi teringat masa muda lagi."
Suara berat yang terdengar sangat mereka kenali itu membuat Fian dan Ilham langsung menoleh ke arah ranjang rumah sakit di sebelah kiri mereka. Dapat dilihat seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi mereka tunggu, sudah membuka kedua kelopak matanya. Sudah sadar secara penuh dari tidurnya.
"AYAH?!" pekikan Fitriana Ayodya yang tidak terkontrol itu berhasil membuat Mbak Mimah dan Fida berjengit kaget. Kedua kakak-beradik itu memukul lengan Fitri dengan kompak.
"Kaget, tahu!"
"Mbak kaget, Fit!"
Fitri meringis dan langsung meminta maaf pada kedua saudaranya tersebut. Setelah itu, ia bergegas menghampiri sang ayah yang sudah siuman. Sementara Mbak Mimah malah melangkah ke arah sang suami dan Fian. Kesempatan itu digunakan oleh Mas Ilham untuk memberitahukan fakta pada istrinya tersebut kalau Fitri masihlah seorang gadis.
Tentu saja Mbak Mimah kaget dengan penyataan yang dikatakan oleh suaminya itu. Ibu dari Bahrul Ulum itu langsung memicingkan matanya pada sang adik ipar, Aldiano Lutfiansyah.
"Kok bisa Fitri masih perawan? Apa yang kurang dari adiknya Mbak yang manis itu, Fian?!" tanya Mbah Mimah sembari menahan pekikan geramnya. Ia berpikir kalau Fian tidak tertarik dengan adiknya yang manis dan bohay itu sampai-sampai di usia pernikahan mereka yang baru menginjak dua bulan, Fitri masih tersegel.
"Astagfirullah! Nggak gitu, Mbak!" Fian menggelengkan kepalanya, dan buru-buru menjelaskan alasan dibaliknya permasalahan ini. "Justru Fitri yang belum siap sama sekali, dan aku tidak ingin memaksakan kehendakku." Benar, ia tidak ingin memaksa Fitri. Ia hanya ingin sang istri dengan suka rela menyerahkan kehormatannya pada dirinya. Bukan karena unsur paksaan atau sebuah kewajiban.
Tampak Mbah Mimah memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut hebat. Diliriknya sang adik pertama yang saat ini tengah asik berbincang-bincang dengan sang ayah bersama adik terakhirnya. Ya, Fitri dan Fida tengah duduk di samping kanan dan kiri sang ayah sekarang. Namun netra Mbak Mimah lebih fokus ke arah Fitri. Menatap sang adik dengan pikiran berkecamuk.
Apakah Fitri yidak menginginkan Fian? Ataukah adiknya itu memang takut akan malam pertama?
Hak itulah yang berada di otak Mimah sekarang.
"Nanti Mbak coba tanyakan dan diskusikan ini secara langsung dengan Fitri," finalnya.
Sudut bibir Fian terangkat seketika, membentuk sebuah seringai yang sangat menyebalkan menurut pandangan Mas Ilham. "Biasa saja senyumnya, Yan. Kau menakutkan," ujarnya.
Hahaha ... Fian ada-ada saja memang tingkahnya. Akan tetapi, setidaknya laki-laki yang berstatus sebagai suami sah dari Fitriana Ayodya itu tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Karena jujur saja, dilubuk hati yang terdalam, Fian sangat ingin memiliki momongan. Kalau bisa laki-laki, agar bisa diajak nonton pertandingan sepak bola bersama-sama di layar televisi.
Ah, tapi siapa yang tahu takdir Tuhan?
Anak laki-laki ataupun perempuan sama saja. Ia akan menyayangi keduanya dengan sepenuh hati. Karena anak adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik.
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro