Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 34 ⭒࿈⭒ Kekhawatiran Fitri



Malam sudah hampir tiba, matahari pun mulai menyingsing ke arah Barat dengan perlahan. Langit sore terlihat sangat indah hari itu. Namun tidak dengan perasaan gelisah yang Fitri rasakan sekarang ini. Gadis itu masih menunggu suaminya pulang di teras rumah. Sendirian, dengan segelas teh yang tak lagi hangat. Sesekali helaan napas pun terdengar dari bibir tipisnya. Netra hitamnya juga tampak gelisah, menatap ke jalan satu arah di depannya.

"Kok dia belum pulang juga, ya?" gumam Fitri sembari menggigit bibir bawahnya. Ujung kakinya ia ketuk-ketukkan ke lantai untuk menetralisir rasa cemasnya yang berlebihan.

"Ck! Awas saja kalau dia pulang nanti. Heran, suka sekali bikin istrinya khawatir." Gerutuan Fitri kembali terdengar. Kedua alisnya sudah menukik tajam, pun dengan manik hitamnya yang mulai berkobar-kobar. Fitri tengah dilanda emosi sekarang. Dikarenakan menunggu sang suami yang tak kunjung datang.

Bermenit-menit Fitri lalui dengan perasaan gelisah. Bahkan Sajidah sudah dua kali menyuruh adik iparnya itu untuk masuk dan menunggu di dalam rumah. Namun Fitri dengan tegas menolak. Gadis yang saat itu memakai setelan batik dengan bawahan celana berwarna merah tersebut masih tetap keukeuh ingin menunggu kepulangan Fian di teras rumah.

Namun hal yang tak diduga-duga Fitri adalah, saat Sara Mona keluar dan menghampirinya. Mendudukkan diri di sampingnya dengan ekspresi wajah yang tidak bisa Fitri deskripsikan.

"Mbak, aku mau ngomong."

Netra Fitri memicing seketika. Ia merasa pendengarannya mulai terganggu. Apakah ia baru saja mendengar Sara Mona memanggilnya 'Mbak' dan memulai topik dengannya? Ah, rasanya tidak mungkin kalau itu Sara. Sangat mustahil rasanya setelah apa yang terjadi beberapa hari terakhir.

"Apa mau kamu, Sara? Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak akan peduli lagi dengan apapun yang kamu lakukan?" ujar Fitri tanpa menoleh sama sekali pada sang adik ipar.

"Mbak, waktu itu aku cuma-"

"Cukup. Aku tidak ingin berbicara denganmu. Jadi bisakah kau meninggalkanku sendiri sekarang?"

Suasana diantara kedua gadis yang usianya hanya berbeda beberapa bulan itu seketika hening. Baik Sara ataupun Fitri tidak berniat mencairkan suasana yang cukup menegangkan tersebut.

Entahlah.

Karena bagi Fitri sendiri, ia sedang tidak mood menghadapi Sara Mona sekarang ini. Tidak, ia tidak lupa dengan perkataan teman-temannya siang tadi. Ia masih ingat dengan jelas soal pembahasan terakhir mereka, perihal tindakan yang seharusnya ia lakukan. Memperbaiki hubungannya dengan sang adik ipar.

Namun, Fitri merasa kalau ini bukanlah saat yang tepat. Tidak ketika ia masih gelisah karena Fian belum pulang. Tidak ketika ia masih dilanda kecemasan karena sang suami sekarang. Kedatangan Sara Mona malah menambah emosinya.

Ia belum istirahat sama sekali sejak siang tadi. Padahal ia sangat kelelahan, mengantuk dan ingin tidur. Akan tetapi pikirannya tidak akan bisa tenang sebelum Fian pulang dan menjelaskan apa yang seharusnya dijelaskan padanya. Fian tadi bilang meliburkan diri dan ingin istirahat di rumah hari ini. Lantas kenapa kata Mbak Sajidah, Fian berpamitan pergi bekerja?

Sungguh, Fitri benar-benar tidak mengerti sekarang.

"Mbak, aku sungguh minta maaf, tapi Mbak sudah salah paham denganku."

Perkataan Sara Mona membuat Fitri langsung tersadar dari lamunannya. Netranya menatap lekat pada sang adik ipar yang masih terduduk di tempat sembari menundukkan kepalanya. Fitri jadi tak bisa melihat ekspresi Sara, karena gadis itu menundukkan kepala.

"Sudahlah Sara, aku benar-benar tidak bisa membahas hal ini sekarang. Pikiranku sudah penuh dengan Fian, aku benar-benar mencemaskannya. Ke mana perginya dia sampai sekarang belum pulang juga," tutur Fitri yang sepertinya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekalutannya.

Sara Mona hanya menghela napasnya. Ia tahu bagaimana perasaan sang kakak ipar sekarang. Ia pun sebenarnya juga cemas dan bertanya-tanya, ke mana gerangan kakak laki-lakinya tersebut? Kenapa sampai jam segini belum juga pulang?

Tidak biasanya.

"Mas Fian pasti masih berada di jalan, Mbak. Jangan terlalu dikhawatirkan. Mas Fian bukan anak kecil lagi, dia bisa menjaga dirinya." Sara mencoba mengeluarkan pendapatnya. Memandang dari sisi pemikiran dan logikanya.

Toh, memang benar, 'kan? Kakaknya itu sudah dewasa, sudah beristri. Jadi pasti dia bisa menjaga diri. Lagipula, ini bukan kali pertama kakaknya pulang terlambat. Sebelum menikah saja, sang kakak pernah tidak pulang selama dua hari dan menginap di rumah temannya. Kekhawatiran kakak iparnya itu terlalu berlebihan menurutnya.

"Hah ... sepertinya kamu benar, Sara. Cuma tidak bisa dipungkiri, aku benar-benar khawatir dengannya. Sebenarnya dia ke mana, sih? Ini sudah hampir maghrib loh, dia 'kan biasanya jam tiga sore sudah pulang," tutur Fitri sembari memijit pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut.

"Tunggu saja sebentar lagi," ujar Sara Mona yang langsung diangguki oleh Fitri.

Benar saja kata Sara. Karena beberapa saat setelahnya, Fian dan sepedanya sudah memunculkan atensinya dari arah kanan. Spontan Fitri berdiri dan langsung menghampiri sang suami yang baru saja memarkirkan sepedanya di halaman rumah. Dapat Fitri lihat wajah kusam dan kelelahan sang suami kala itu.

"Astaga, Mas! Dari mana saja?! Aku khawatir, tahu!"

Pekikan tertahan Fitri membuat Fian menghela napasnya. Seketika laki-laki itu merasa bersalah pada sang istri. Netra kelamnya mengarah ke sang adik yang masih berdiri di dekat tiang penyangga rumah. "Sara, apa kakak iparmu ini sudah menunggu Mas sedari tadi?" tanyanya. Ya, tanpa menjawab pertanyaan Fitri, Fian justru lebih memilih bertanya pada Sara Mona.

"Iya, Mas. Mbak Fitri nungguin Mas Fian di teras sejak jam empat tadi," tutur Sara apa adanya. Ia memang baru saja menyusul dan menemani sang kakak ipar di depan, tapi ia tahu kalau kakak iparnya tersebut menunggu dari jam empat sore.

Dapat Sara lihat keterkejutan di mata sang kakak laki-laki saat mendengar jawabannya barusan. Fian langsung menoleh pada sang istri yang masih melayangkan tatapan tajamnya dan rasa cemasnya. Bahkan sang istri sudah berkacak pinggang dengan netra yang menjadi berkaca-kaca sekarang.

"A-aku benar-benar khawatir, tahu." Air mata Fitri luruh. Disusul isakannya yang berhasil membuat seorang Aldiano Lutfiansyah panik seketika.

"He-hei! Kok nangis, sih?" Buru-buru Fian menarik sang istri dalam pelukannya dan menggiring Fitri ke dalam rumah. Jika para tetangga melihat Fitri menangis, bisa-bisa ia akan disidang dan dituduh melakukan KDRT bagaimana?! Jelas itu akan menjadi masalah yang cukup merepotkan.

"Sara, tolong bawakan tas bekal punya Mas ke dapur ya. Mas mau langsung membawa Mbakmu yang cengeng ini ke kamar."

Sara Mona hanya mengangguk patuh dan langsung menuruti permintaan sang kakak laki-laki. Ya, ia memaklumi kekhawatiran kakak iparnya tersebut.

"Hah ... semoga masalah mereka cepat selesai, deh."



Hmm ... semoga saja ya, Sara.

ヽ(*⌒∇⌒*)ノ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro