Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 33 ⭒࿈⭒ Karma Kebohongan



"Lohh? Fian kok nggak ada di kamar?"

Fitri mengerutkan keningnya, merasa heran karena ketidakberadaan suaminya. Tadi pagi Fian mengatakan padanya kalau libur kerja hari ini. Lantas ke mana perginya sang suami? Di kamar tidak ada, sepedanya pun juga tidak ada di luar.

Tap, tap tap!

"Mbak Jidah!"

Tok, tok, tok!

Ya, Fitri bergegas ke kamar sang kakak ipar untuk bertanya perihal keberadaan suaminya. Siapa tahu kakak iparnya tersebut mengetahui keberadaan Fian, bukan?

Ceklek!

"Ada apa, Fit?" tanya Sajidah yang baru saja membuka pintu kamar. Dipandanginya penampilan Fitri dari atas ke bawah. "Lohh? Kamu baru pulang dari pasar, ya? Masih pakai selendang gini," tanyanya lagi.

"Iya nih, Mbak. Baru pulang dari pasar aku. Ngomong-ngomong, Mas Fian ke mana, Mbak? Kok nggak ada di kamar?" Fitri memang memilih untuk langsung mengatakan tujuannya. Ia sedang tidak ingin berbasa-basi saat ini.

"Bukannya dia kerja? Ya sepertinya biasa, Fit."

Netra Fitri langsung memicing seketika setelah mendengar jawaban sang kakak ipar. "Kerja?" beonya.

Sajidah mengangguk.

"Nggak mungkin, Mbak. Dia tadi pagi bilang ke aku kalau hari ini libur. Berangkat kerja gimana, deh?" tutur Fitri.

"Tunggu, libur?"

Jelas saja Sajidah bingung. Padahal jelas-jelas, sang adik tadi sudah rapi dengan setelan hitam putihnya, dan Fian juga mengatakan dengan jelas kalau ia akan berangkat bekerja. Lantas kenapa sang adik ipar malah mengatakan Fian libur?

"Iya, libur. Tadi sekitar jam setengah tujuh, tepat sebelum aku berangkat ke pasar, Fian posisinya baru aku bangunin. Dia mengatakan kalau hari ini libur, dan ingin mengistirahatkan diri di rumah."

Penjelasan Fitri semakin membuat Sajidah kebingungan. Apa mungkin Fian berbohong? Akan tetapi, kenapa? Bahkan dia juga berbohong padaku dan Fitri. Lalu ke mana perginya anak itu sekarang?

Sajidah menggelengkan kepalanya. "Mbak nggak tahu, Fit. Cuma tadi dia pamitannya gitu, mau berangkat kerja seperti biasa. Ada Ibu kok tadi, dia juga pamitan sama Ibu."

Fitri menggigit bibir bawahnya, ekspresi cemas tampak jelas di wajah ayunya. "Duh, Mbak ... Kok aku jadi nggak tenang, ya?" ujar gadis yang masih berdiri di depan pintu kamar Sajidah itu dengan kedua telapak tangan yang saling meremas lantaran merasa gelisah.

"Mending kamu tenang dulu, deh. Siapa tahu dia memang libur awalnya, tapi nggak jadi karena tidak enak dengan teman-temannya yang lain, makanya berangkat. Tadi kamu bilang kalau dia meliburkan diri karena ingin istirahat, bukan?"

Fitri mengangguk.

"Nah, berarti dugaan Mbak bisa saja benar. Fian merasa tidak enak kalau meliburkan diri, sementara teman-temannya yang lain sedang bekerja. Begitu ..." Sajidah mengakhiri perkataannya dengan seulas senyum lembut yang menenangkan di bibir. Membuat Fitri mau tak mau jadi ikut tersenyum juga.

"Mbak benar, mungkin memang begitu adanya. Harusnya aku memang percaya dengan Mas Fian, dan tidak cemas berlebihan seperti ini." Fitri menghela napasnya, dan kembali menatap penuh pada sang kakak ipar. "Kalau begitu aku kembali ke kamar ya, Mbak? Mau mandi, gerah banget daritadi."

Sajidah hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum untuk merespon sang adik iparnya tersebut. Tangan Sajidah yang sedari tadi bertengger manis di sisi-sisi kusen pintu mengepal. Ia tidak habis pikir dengan Fian. Apapun alasannya, Fian sudah jelas telah berbohong. Ia tadi memang mengatakan kemungkinan yang terjadi pada Fitri, padahal sebenarnya ia juga curiga dengan sang adik. Secara gelagat Fian itu sedikit aneh tadi.

Antara cemas, takut, dan putus asa.

Benar, semua itu tergambar jelas di wajah tampannya tadi sesaat sebelum berpamitan dengannya dan sang ibu. Fian memang pandai menutupi ekspresi dan perasaannya, tapi ia yang paling tahu bagaimana tabiat adik-adiknya. Ia bisa melihat kalau Fian menyembunyikan sesuatu dari tatapan matanya.

Maka dari itu ia terkejut waktu Fitri mengatakan kalau Fian meliburkan diri sebelum itu. Fian bukan tipe orang yang akan meninggalkan tanggung jawab dan pekerjaan untuk alasan sepele seperti 'lelah dan ingin mengistirahatkan diri'.

Tidak.

Bertahun-tahun tumbuh bersama, dari kecil sampai sekarang. Sifat seperti itu tidak pernah ada dalam diri adik laki-lakinya itu. Fian tidak pernah menggunakan alasan lelah dan sebagainya untuk cuti atau libur dari pekerjaannya. Justru Fian adalah tipe orang yang akan menyelesaikan tugasnya sampai tuntas sebelum memutuskan untuk beristirahat.

Ini sudah jelas bukan Fian. Sikap yang ditunjukkan Fian saat ini sangat melenceng dari kepribadian Aldiano Lutfiansyah yang sebenarnya. Jujur, sederhana, dan pekerja keras. Ketiga sifat itulah yang paling menggambarkan sosok sang adik. Dua sifat diantaranya sedang dipertanyakan saat ini.

Jujur dan pekerja keras.

"Nggak bisa dibiarin ini. Aku harus bertanya pada Fian saat dia kembali nanti."

⭒࿈⭒

"Kok perasaanku tiba-tiba nggak enak, ya?" gumam Fian sembari mengusap tengkuknya. Fian bergidik. "Hih! Jadi merinding."

Bagaimana tidak? Ia sedang berada di kawasan pasar lama di dekat alun-alun kotanya saat ini. Pasar itu memang terkenal sedikit angker bagi orang-orang sekitar sana. Sudah lama juga tidak dihuni dan digunakan karena para pedagang sudah pindah ke pasar baru. Ia memang sengaja lewat sana karena hanya jalan ini yang paling dekat dengan tujuannya, taman kota.

Namun tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak, dan bulu kuduknya pun jadi merinding.

Tidak, kok. Ia tidak takut dengan hantu dan hal-hal berbau supranatural. Lagipula ini masih siang hari, mana mungkin ada hantu di siang-siang bolong begini.

Itulah yang Fian pikirkan sekarang.

"Mana ada hantu siang-siang begini. Mungkin memang perasaanku saja," gumam Fian sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah. Akan tetapi, persepsinya langsung jatuh saat netranya menangkap sebuah bayangan hitam besar yang muncul dari kegelapan di salah satu sudut pasar.

"Edan! Kok iso onok setan awan-awan?!"

Dengan perasaan panik dan tergopoh-gopoh, Fian menaiki sepedanya kembali dan mengayuh kendaraan tersebut secepat yang ia bisa untuk segera keluar dari area pasar lama. Jantungnya berdentum-dentum heboh sekarang. Antara terkejut dan rasa takut bercampur jadi satu.

Ia tidak peduli lagi dengan teguran orang-orang ketika melihat kecepatan sepedanya. Yang penting, ia harus keluar dulu dari area pasar lama tersebut, dan kembali ke jalan raya dengan benar.

Lagipula, tujuannya masihlah sama, ke taman kota untuk mencoba peruntungannya di sana. Semoga saja ia bisa mendapatkan pekerjaan di sekitar sana. Ia tidak masalah dengan jarak, yang penting halal, dan ia bisa berpenghasilan. Pekerjaan apapun yang masih dalam kategori halal dilakukan, maka akan ia kerjakan.

Pokoknya ia harus segera mendapat pekerjaan.

Itu tekadnya sekarang.



Semangat, Fian! (≧∇≦)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro