Bagian 31 ⭒࿈⭒ Solusi Soal Sara
•
•
•
"Ini soal Sara Mona."
Fitri menatap satu per satu sahabatnya dengan satu alis terangkat, merasa heran dan bertanya-tanya. Apa maksud mereka soal Sara Mona? Jujus saya, ini masih pagi dan mereka sudah membahas Sara Mona? Ayolah, yang benar saja. Ia tidak suka ini.
"Kenapa dengan Sara?"
Pertanyaan yang sedari tadi bersarang di kepala Fitri, tersampaikan sudah. Dapat ia lihat ekspresi cemas di wajah kelima sahabatnya. Entah apa yang ingin mereka katakan soal Sara Mona. Yang jelas, ia berharap itu bukanlah sesuatu yang buruk.
"Lebih baik kamu duduk dulu, Fit." Azmil berujar sembari berdiri dari duduknya dan mempersilakan Fitri untuk memasuki toko.
Fitri sendiri hanya mengangguk dan menurut. Gadis yang selalu memakai selendang merah di lehernya itu memasuki toko camilan milik sang ibu dan mendudukkan dirinya di dalam, lebih tepatnya di dekat etalase bagian kanan. Diikuti oleh kelima sahabatnya yang juga ikut mendudukkan diri di depannya. Duduk dengan posisi melingkar menghadapnya.
"Jadi, ada apa dengan Sara Mona?" tanya Fitri lagi.
Azmil, Qonita, Kania, dan Emi saling tatap, kemudian beralih menatap Wasilah. Seolah meyakinkan Wasilah untuk memberitahu Fitri sekarang juga. Wasilah mengerti maksud keempat sahabatnya. Maka dari itu ia menatap penuh pada Fitri sekarang.
"Begini, Fit. Sara Mona datang ke rumahku siang kemarin."
"Hah?! Ngapain?!" pekik Fitri yang terkejut. Bahkan ia hampir tersedak air liurnya sendiri saking terkejutnya. Bagaimana ia tidak terkejut? Secara setahunya, Sara Mona itu bukan tipe orang yang mau repot-repot mencari informasi tentang seseorang sampai segitunya. Ya, dalam posisi ini Fitri percaya diri kalau adik iparnya itu memang mencari informasi tentangnya ke para sahabatnya. Dalam hal ini ke Wasilah.
"Iya, dia ke rumahku dan berkata kalau kamu sudah salah paham dengannya." Wasilah menghela napas sejenak sebelum kembali berujar. "Sejak Fian menikah denganmu, Sara merasa kalau perhatian kakaknya itu mulai berkurang. Maka dari itu dia berusaha mencari perhatian Fian. Namun dia tidak sampai menyukai atau memiliki perasaan kepada Fian seperti yang kamu pikirkan. Sara masih tahu batasan. Tidak mungkin dia menyukai kakak kandungnya sendiri, Fit."
"Tapi tatapan dia ke Fian itu beda, loh. Kayak tatapan orang yang lagi kasmaran, tahu!"
Qonita mengusap wajahnya kasar. "Kamu ini bagaimana sih, Fit? Pikir pakai logika, deh. Mereka kakak-adik, loh. Nggak mungkinlah Sara menyukai kakaknya sendiri.
Kamu itu jangan mikir aneh-aneh, deh." Qonita sekarang benar-benar gemas dengan sahabatnya yang kelewat curigaan dan polos itu.
Kania menjentikkan jarinya seraya menganggukkan kepalanya, menyetujui perkataan Qonita. "Benar kata Qonita, Fit. Sara nggak mungkin ngelewatin batasnya, dia masih punya adab."
Fitri memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa sedikit pusing. Ia sungguh bingung harus bersikap seperti apa sekarang ini. Haruskah ia percaya pada perkataan Sara Mona pada Wasilah? Ataukah ia tetap pada pendirian dan pemikirannya?
"Sudah, nggak usah terlalu dipikirkan. Yang penting kamu sudah tahu kalau pemikiranmu soal Sara Mona itu salah," kata Emi.
"Ya, kalian benar. Mungkin aku harus berbicara pada Sara nanti." Fitri tersenyum dan menatap satu per satu sahabatnya dengan netra berkilat-kilat semangat. "Aku harus memperbaiki hubunganku dengan Sara Mona."
"Semangat, Fitri!" seru Kania.
"Aku tahu kau akan mengatakan itu," kekeh Emi.
"Semoga setelah ini semuanya bisa selesai, ya." Azmil berujar disertai senyuman leganya. Membuat Melina sahabatnya juga ikut tersenyum.
"Baiklah, karena kami sudah menyampaikan apa yang harus disampaikan, kami mohon undur diri untuk berpulang ke rumah masing-masing." Wasilah berkata sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan pose anggun.
"Haha, berpulang katanya." Qonita tertawa geli kala mendengar kata itu keluar dari bibir Wasilah. Secara, kata 'berpulang' itu erat kaitannya dengan 'Rahmatullah'. Berpulang ke rahmatullah. Itulah yang dipikirkan oleh Qonita sehingga membuatnya tertawa seperti sekarang.
"Dih, emang kenapa?" tanya Wasilah tak terima. Perasaan perkataan dia tidak ada yang salah. Kenapa Qonita malah tertawa?
"Ngahaha, tidak-tidak. Abaikan saja aku," ujar Qonita dengan cengiran lebarnya. Kalau ia mengatakan pemikirannya barusan, belum tentu para sahabatnya itu akan tertawa. Humor mereka kan, tidak sama.
Fitri menggelengkan kepalanya dan tersenyum maklum. "Ya sudah kalau kalian mau pulang, aku akan menjaga toko sendiri." Gadis bersurai hitam sebahu itu berdiri dari duduknya yang langsung diikuti oleh kelima sahabatnya.
"Serius nih, kita tinggal nggak apa-apa?" tanya Emi memastikan.
"Iya, tenang saja. Hari ini sepertinya tidak akan terlalu ramai. Aku bisa mengatasinya kok," tutur Fitri mencoba meyakinkan para sahabatnya.
"Baiklah, kami tinggal kalau begitu. Baik-baik kamu, ya. Kalau ada apa-apa, panggil saja nama Qonita 3x. Nanti dia akan muncul," kata Kania dengan watadosnya.
Qonita mendelik. "Kamu kira aku jin?!"
"Iya," jawab Kania dengan polosnya.
Sepertinya Qonita harus banyak-banyak bersabar menghadapi Kania mode menyebalkan ini. Jika tidak, sudah sedari tadi tangannya melayang ke pipi sahabatnya itu dan mencubitnya keras-keras.
Azmil, Emi, Wasilah, dan Fitri hanya terkekeh geli melihat perdebatan keduanya. Karena beberapa saat kemudian, kelimanya pamit pulang ke rumah masing-masing. Meninggalkan Fitri berjaga sendirian di tokonya.
⭒࿈⭒
"Akhirnyaaa, selesai juga."
Wasilah mengangkat tangannya tinggi-tinggi sembari meregangkan badannya ke kanan dan ke kiri.
Azmil mengangguk setuju. "Iya, untungnya Fitri mau mengerti dan mau memperbaiki hubungannya dengan Sara Mona. Kalau tidak, sudah dipastikan kalau dia tidak akan betah tinggal di rumah mertuanya."
"Aku setuju. Dari sini Fitri memang harus berusaha sendiri, sih." Emi mengelus dagunya dan berpikir. "Secara ... hubungannya dan Sara Mona memang tidak baik sedari awal. Sara sendiri juga judes sekali anaknya," ujar Emi.
Kania menyahuti perkataan Emi dengan cepat. "Heem, kelihatan sekali kalau Sara Mona itu tipe orang yang tidak suka zona nyamannya diusik." Suara decakan terdengar dari bibir Kania setelahnya. Seolah menegaskan ketidaksukaannya dengan karakter adik ipar Fitri yang satu itu.
"Jangan julid, deh. Sudahlah, biar itu jadi urusan Fitri. Yang penting kan, kita sudah menyampaikan pesan Sara Mona dengan baik," tutur Qonita sembari menatap satu per satu sahabatnya.
Azmil, Emi, Kania, dan Wasilah hanya mengangguk menyetujui perkataan Qonita. Karena setelahnya, hanya keheningan yang terjadi di sepanjang perjalanan pulang dari kelima gadis remaja tersebut.
Mereka memang sedang di jalan pulang sekarang. Menikmati pemandangan pagi hari yang masih sejuk dan asri di desa tempat tinggal mereka. Apalagi jika bersama dengan para sahabat terkasih. Pemandangan pohon dan tanaman hias yang ada di setiap rumah warga menjadi nilai plus bagi mereka.
Sangat memanjakan mata.
•
•
•
Akhirnya kelar juga part ini, huhu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro