Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 30 ⭒࿈⭒ Jadi Penasaran



Jam dinding sudah mengarah ke pukul setengah tujuh pagi. Namun Fian belum juga bangun dari tidurnya. Fitri sampai dibuat terheran-heran akan tingkah suaminya tersebut. Lihat saja posisi tidurnya yang membelakangi pintu itu, tampak begitu pulas.

Apakah Fian tidak bekerja?

Helaan napas terdengar dari bibir Fitri setelahnya. Gadis yang baru saja membetulkan jepitan rambutnya yang sedikit melorot itu berinisiatif membangunkan sang suami yang masih bergelut dalam mimpinya tersebut. Digoyang-goyangkannya bahu Fian dengan sedikit keras hingga sang empunya terbangun. Fian mengerjap-erjapkan matanya, berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan baik.

Hal pertama yang dilihat Fian ketika berhasil menyesuaikan penglihatannya adalah senyuman manis Fitri. Perasaan laki-laki yang baru saja bangun tidur itu langsung menghangat. Suami mana sih yang tidak bahagia ketika mendapat senyuman manis dari istrinya di pagi hari? Ya, itulah yang Fian rasakan saat ini.

"Sudah setengah tujuh, Mas. Kamu nggak kerja?"

Kalimat pertanyaan Fitri membuat Fian langsung melunturkan senyumannya. Laki-laki itu terdiam dengan perasaan gelisah. Apa yang harus ia katakan pada sang istri? Bahwa pabrik tempatnya bekerja bangkrut, dan ia ter-PHK begitu?

Tidak.

Ia tidak akan sanggup mengatakannya. Fitri pasti akan langsung sedih bila mengetahui fakta ini. Apalagi ia belum mendapatkan pekerjaan pengganti saat ini.

"Mas! Kok malah ngelamun, sih? Kamu nggak kerja?"

Fian tersentak. "Aku libur kerja hari ini," jawabnya spontanitas.

"Lohh? Kenapa?" Fitri mendekat dan mendudukkan dirinya di samping laki-laki yang masih berbaring itu dengan cepat. Tak bisa dipungkiri kalau Fitri merasa penasaran dengan alasan Fian sekarang.

"Tidak ada, hanya ingin mengistirahatkan diri sejenak."

Jawaban sang suami membuat Fitri langsung cemas. Dipegangnya dahi dan leher Fian secara bergantian. "Tidak panas," gumam Fitri.

Aldiano Lutfiansyah terkekeh geli. "Aku tidak sakit, Fitri. Tenang saja."

Fitri merengut. Ia kira suaminya itu sedang sakit, makanya sampai meliburkan diri dari kerjanya segala. Ternyata tidak sakit, ya. "Lantas mengistirahatkan diri karena apa?" tanya Fitri kemudian.

Diam-diam Fian tersenyum karena kecemasan Fitri berhasil menghibur kegelisahan hatinya. Meskipun istrinya itu tidak tahu alasan sebenarnya dibalik tindakannya. Namun ia tahu, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sebaik-baiknya ia menyembunyikan masalah ini dari keluarga dan istrinya, pasti akan ketahuan juga.

"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin istirahat saja. Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku lelah memikirkannya."

Fitri meraih tangan Fian dan menggenggamnya. Menatap dalam pada netra gelap suaminya. "Kamu bisa membagi itu semua denganku, Mas. Kamu lupa ya, kalau sudah punya aku sebagai istrimu?"

Seringai jahil seketika terbit di bibir Fian. Dengan gerakan yang tergolong cepat, laki-laki itu mendudukkan dirinya dan mendekap pinggang sang istri dengan erat. Ia bisa merasakan tubuh Fitri tersentak sesaat. Membuat seringainya kian melebar.

"Kenapa? Kamu mau mendengarkan keluh kesah suami tampanmu ini, hm?" tanya Fian dengan seringai menggodanya.

Rona merah langsung menjalar di pipi Fitri seketika. Membuatnya yang memang dasarnya sudah manis, jadi semakin manis dilihat. Dengan gelagapan Fitri menjawab, "Te-tentu saja. Ka-kau bisa menceritakan keluh kesahmu padaku, Mas!"

"Hee, benarkah?"

Sungguh, Fitri saat ini terlihat sangat menggemaskan di mata Fian!

"Sudahlah, jangan menggodaku!" pekik Fitriana Ayodya dengan wajahnya yang semakin memerah sampai ke telinga. Gadis itu langsung menutup wajahnya untuk menyembunyikan rona merahnya.

Tawa Fian meledak seketika. Ia benar-benar puas sudah menggoda istrinya. Membuat pagi harinya jadi lebih berwarna. "Hahaha, iya maaf. Kamu nggak ke pasar? Ibu kamu pasti nungguin. Lihat tuh, sudah hampir jam tujuh." Fian berujar sembari menunjuk jam dinding yang berada di atas pintu.

Netra Fitri membulat sempurna. "Astaga, aku lupa! Aku kan janji pada Ibu untuk berangkat lebih awal!" Gadis itu menepuk jidatnya dan bergegas mengambil bajunya di lemari. Kemudian melesat pergi ke dalam kamar mandi untuk mengganti baju.

Fian yang melihat tingkah Fitri sampai dibuat geleng-geleng kepala karenanya. Istrinya itu memang pelupa. Kalau saja ia tadi tidak menyinggung soal 'ibu' dan 'pasar', ia yakin kalau Fitri tidak akan ingat.

"Dasar Fitri."

⭒࿈⭒

"Sudah pukul tujuh lebih sepuluh, Fitri kok belum datang ya?" tanya Azmil memecah keheningan.

Emi menggeleng, sementara Wasilah menghela napas. "Tidak tahu," jawab keduanya secara bersamaan.

Qonita mendengkus.

"Tidak biasanya Fitri terlambat begini," celetuk Kania yang mulai merasa cemas pada salah satu sahabatnya tersebut.

Kelimanya masih berada di toko milik ibunda Fitri saat ini. Menunggu sang sahabat yang sedari tadi belum menampakkan batang hidungnya sejak bermenit-menit yang lalu. Terlihat sekali kalau kelimanya sudah bosan menunggu.

"Keburu lupa ntar aku mau ngomong apa," gerutu Qonita yang sudah merasa kesal. Gadis itu paling tidak suka menunggu memang. Baginya menunggu itu bukan kodratnya. Kodratnya adalah ditunggu, bukan menunggu.

"Sabar, sebentar lagi mungkin." Azmil menengahi. Sahabat Fitri yang satu ini memang yang paling sabar dan paling dewasa diantara yang lainnya. Karena bagi Azmil sendiri, kesabaran itu penting. Orang sabar pasti disayang Tuhan, itu kata pepatah.

"Tapi ini sudah kelamaan!" sungut Qonita dengan tak sabar.

Emi mengacak rambutnya, merasa frustasi. Ia sampai tidak bisa berkata-kata lagi melihat keluhan para sahabatnya yang memang ditujukan ke satu orang.

Fitriana Ayodya.

"Lama banget si Fitri. Mampir ke mana dulu sih, dia?" tanya Kania. Posisinya yang berdiri di depan keempat sahabatnya membuat ia jadi seperti mandor dengan tangan yang sudah berkacak pinggang.

"Kalau aku tahu, sudah sedari tadi aku akan menyeret dan membawanya ke sini," jawab Emi yang sepertinya sudah tidak bisa menahan kekesalan akibat gerutuan para sahabatnya. Gadis tomboy itu memasang wajah malasnya sekarang.

"Terus sekarang gimana?" tanya Azmil.

"Ya tungguin lah, nggak sabaran banget kalian."

Perkataan Emi menjadi akhir dari perdebatan mereka saat itu. Karena beberapa menit setelahnya, atensi Fitri yang muncul dari balik tikungan sana sudah menyurutkan kekesalan dan kebosanan mereka.

"Lohh? Tumben kalian ke sini? Ada apa?"

Suara yang sangat mereka kenali itu membuat kelima gadis yang tengah duduk berjejer di emperan toko tersebut menoleh ke sumber suara secara serempak. Senyuman kelimanya langsung mengembang ketika melihat orang yang sudah ditunggu-tunggu akhirnya datang.

"Kamu lama banget sih, Fit!" pekik Kania sembari mengguncang-guncang bahu Fitri dengan gemas. Membuat sang empunya jadi pusing seketika.

"Duh! Jangan gini Kania, pusing nih kepalaku."

Kania reflek langsung melepaskan bahu Fitri disertai cengiran lebarnya. "Maaf, lagian greget banget aku sama kamu. Kita sudah nungguin daritadi, loh."

Fitri hanya menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya ada apa, sih?" tanya Fitri yang sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Azmil, Qonita, Wasilah, Emi, dan Kania saling tatap. Mimik wajah kelimanya berubah serius seketika.

"Ada hal penting yang ingin kami bahas, Fit."

"Ini soal Sara Mona."



Akhir part yang sangat menggantung :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro