Bagian 29 ⭒࿈⭒ Rencana Pemberitahuan
•
•
•
Setelah percakapannya dengan Sara Mona siang tadi, Wasilah tidak bisa tidur dengan tenang beberapa menit terakhir. Padahal ia berniat tidur siang agar nanti malam ia bisa begadang nonton film. Banyak daftar film yang ingin ditontonnya. Namun karena percakapannya dengan Sara Mona tadi siang, ia jadi semakin kepikiran.
"Apa aku beritahu saja pada yang lainnya sebelum memberitahu Fitri, ya?" gumam Wasilah sembari menopang dagunya. Sepertinya ia memang harus mendiskusikan perihal ini dengan sahabat-sahabatnya yang lain. Setidaknya, keempat sahabatnya itu pasti tahu apa yang harus dilakukan.
"Hmm, sepertinya aku memang harus memberitahu mereka."
Tekad Wasilah sudah bulat.
Gadis cantik dengan tubuh berisi itu bergegas bangun dari acara rebahannya dan menghubungi keempat sahabatnya lewat telepon rumah seperti biasa. Ia meminta para sahabatnya berkumpul di pos belakang desa mereka yang terletak di dekat sawah. Pos itu biasanya sepi kalau siang hari begini. Jadi ia tidak akan khawatir kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka.
⭒࿈⭒
"Ada hal penting apa, Wasilah? Sampai mengumpulkan kami secara mendadak begini," tanya Qonita mulai membuka percakapan.
"Iya, tidak biasanya." Kania menyahut.
Wasilah menghela napasnya, lalu menatap satu per satu sahabatnya. "Aku bingung mau cerita dari mana."
"Ah, elah. Cerita saja! Cepat!" desak Emi yang sepertinya sudah tidak sabar mendengar apa yang ingin dikatakan Wasilah pada mereka. Secara sahabatnya yang satu itu tampak ragu-ragu sedari tadi. Kan ia jadi semakin penasaran.
"Ck! Iya-iya! Sabar dong!" gerutu Wasilah sebal. Ya, ia tahu kalau sahabatnya itu sudah penasaran akut sekarang. Ia juga akan menjelaskannya kok sebentar lagi.
"Jadi begini ..."
Akhirnya Wasilah menceritakan kejadian tadi kepada para sahabatnya. Ia menceritakan percakapannya dengan Sara Mona serinci-rincinya dan sedetail-detailnya. Tanpa ada yang ditambah-tambahi, maupun ditutup-tutupi. Ekspresi terkejut keempat sahabatnya pun membuat Wasilah tertawa dalam hati. Ia sudah menduga kalau reaksi mereka akan begitu.
"Serius Sara Mona mendatangi rumahmu?!" pekik Qonita seolah tak percaya dengan cerita Wasilah barusan.
Wasilah mengangguk tanpa ragu. "Serius. Mana mungkin aku mengarang cerita."
"Dia mengatakan hal itu? Soal kesalahpahaman Fitri padanya?" tanya Azmil. Gadis yang selalu terlihat kalem dan santun itu tampak begitu penasaran sekarang.
"Iyaa, dia mengatakan semuanya padaku. Semuanya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Eum, itu menurut pandanganku sih." Wasilah memijit pangkal hidungnya sejenak sebelum kembali fokus pada teman-temannya.
Helaan napas terdengar dari bibir Emi setelahnya. Gadis yang paling tomboy diantara mereka itu mulai angkat bicara. "Entahlah. Aku tidak tahu harus percaya pada perkataan Sara Mona atau tidak. Yang jelas, kita harus segera memberitahu Fitri soal ini."
"JANGAN!" pekik Kania. "Nanti kalau masalahnya tambah runyam gimana?" lanjutnya dengan nada cemas yang tak bisa disembunyikan. Ia hanya berpikir, jika mereka memberitahu Fitri, takutnya hubungan sahabat dan sang adik iparnya itu akan bertambah buruk.
"Kita harus tetap memberitahu Fitri," sahut Qonita yang seolah tidak setuju dengan pemikiran Kania.
"Tapi Kania ada benarnya juga loh," celetuk Emi.
Azmil menggelengkan kepalanya. Merasa heran dengan perdebatan teman-temannya. Menurutnya, hal itu tidak perlu diperdebatkan. Mereka seolah lupa kalau sahabat mereka, Fitri adalah orang yang sangat bijak. Fitri pasti tahu apa yang akan dilakukannya setelah mendengar cerita mereka tentang Sara Mona. Sahabatnya itu tidak akan menutup sebelah mata dan bertindak gegabah.
"Sudahlah. Kenapa kalian malah memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu, sih?" ujar Azmil menengahi. "Fitri pasti tahu apa yang harus dilakukan setelahnya. Dia tidak akan bertindak gegabah dan memandang masalah ini dari sebelah mata," lanjut Azmil.
Qonita menjentikkan jarinya dengan semangat. "Betul kata Azmil! Kalian kayak nggak kenal Fitri saja." Gadis cantik dengan netra bulat itu mengangkat dagunya dengan percaya diri. "Sahabat kita yang satu itu pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Percaya saja pada Fitri. Yang penting, kita harus segera memberitahunya."
Kania, Azmil, dan Emi saling pandang. Lantas ketiganya mengangguk secara bersamaan, pertanda setuju dengan keputusan yang diambil.
"Kalau begitu, besok kita harus menemui Fitri di pasar."
⭒࿈⭒
Keesokan harinya, kelima sahabat Fitri itu sudah stand by di depan toko milik ibu Fitri. Bahkan sebelum toko itu dibuka, Azmil dan lainnya sudah berada di sana.
Bahkan Tante Anetta sampai dibuat bingung karena tingkah kelima gadis itu yang tidak biasa. Ibunda dari Fitriana Ayodya tersebut bertanya, "Tumben pagi-pagi sudah di sini kalian?"
Qonita tersenyum lebar dan langsung berinisiatif membantu mengangkat rolling door toko. "Kita ada urusan sama Fitri, Tante." Gadis cantik dengan netra bulat itu mengkode Kania untuk membantunya mengangkat rolling door toko juga.
"Urusan anak muda, ya?" tanya Tante Anetta disertai senyuman keibuannya.
Qonita, Kania, Azmil, Emi, dan Wasilah saling pandang sejenak, lantas tertawa canggung bersama.
"Hahaha, ya begitulah." Qonita menjawab dengan tawa canggungnya. Entah kenapa ia jadi merasa canggung dengan ibunda Fitri saat ini. Sepertinya tidak hanya dia, sahabatnya yang lain pun merasa demikian.
"Fitri biasanya baru datang pukul tujuh, masih setengah jam lagi. Kalian mau pulang dulu apa mau menunggu di dalam toko saja?" tanya Tante Anetta pada kelima gadis di depannya.
"Kita nunggu di sini saja, Tante."
"Iya, Tante boleh pulang duluan kok. Biar kita yang jagain tokonya," sahut Wasilah disertai cengiran lebarnya.
"Kalian ini bisa saja, tapi kalau kalian maunya begitu ... baiklah. Tolong jaga toko Tante sembari menunggu Fitri datang, ya." Tante Anetta tersenyum lembut pada kelimanya. Kemudian mengambil kunci toko dan memyerahkannya pada Qonita. "Nanti kasih saja ke Fitri, ya?"
Qonita dengan sigap langsung memasang pose hormat. "Siap, Tante! Serahkan saja urusan toko pada kami!" serunya menggebu-gebu. Membuat Tante Anetta sampai terkekeh kecil dibuatnya.
"Ya sudah, saya tinggal dulu ya."
"Iya, Tante."
"Dadahh Tante!"
Wasilah dan Kania berujar bersamaan dan melambaikan tangannya pada Tante Anetta. Setelahnya, barulah kelima gadis tersebut bisa bernapas lega. Mengingat suasana canggung yang sempat tercipta benar-benar membuat tenggorokan mereka terasa tercekik dengan kuat.
Aura Tante Anetta tidak seperti biasanya. Lebih seram saja kelihatannya. Apalagi setelah Fitri menikah dan memilih tinggal di rumah ibu mertuanya. Padahal Tante Anetta dulunya adalah orang yang sangat menyenangkan.
Setidaknya, itulah menurut pandangan Qonita saat ini.
"Gilaaa, ngerasa tercekik aku."
Perkataan Emi mewakili perasaan dari keempat gadis lainnya. Bahkan Wasilah dan Azmil menyetujui perkataan sahabat tomboy mereka tersebut.
Tante Anetta terlihat seram!
"Nunggu Fitri setengah jam, lama juga ya."
"Ya, dia kan masih harus mengayuh sepedanya. Jadi wajar kalau lama," kata Azmil menanggapi perkataan Kania barusan.
"Setengah jam tidak akan terasa, kok. Lebih baik kita bersih-bersih toko saja sembari menunggu Fitri datang. Aku lihat banyak sekali debu di etalase sebelah sini," usul Qonita sembari menunjuk etalase yang dimaksudnya.
Kania menjentikkan jarinya.
"Sepertinya itu ide yang bagus."
•
•
•
Ya, sambil menunggu ... boleh lah kerja bakti dulu. (^v^)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro