Bagian 27 ⭒࿈⭒ Dugaan & Kegundahan
•
•
•
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja."
Kalimat itu membuat Fitri kembali teringat dengan peristiwa beberapa jam yang lalu. Ketika ia bertemu kembali dengan kakaknya Arik, Rama. Saat itu Rama membantunya menuntun sepeda ke warung pojok yang memang sudah menjadi tujuannya sejak awal. Rama menemaninya makan siang sebagai tanda permintaan maafnya dia bilang.
Ya, Fitri pun sebenarnya tidak masalah dengan hal itu. Mengingat dia adalah kakak dari bocah laki-laki lucu yang menjadi pembeli di tokonya tadi siang. Namun yang jadi permasalahan adalah penampilan Rama.
Pria itu benar-benar memakai pakaian serba hitam dengan beberapa hiasan rantai di topi dan celananya seperti seorang preman. Wajah seramnya juga menjadi poin tambah untuk meyakinkannya bahwa Rama memang seorang preman. Atau mungkin, orangnya memang menyukai pakaian serba hitam.
Wajar, sih. Soalnya Fian pun juga begitu. Suaminya itu penyuka warna hitam, lebih tepatnya warna gelap. Rata-rata para lelaki memang menyukai warna gelap, kan?
Ngomongin soal gelap, ini memang sudah malam, dan Fitri sekarang berada di ruang tengah dengan televisi yang menyala. Menonton acara keluarga kesukaannya. Ada pula berita-berita terkini yang juga ditontonnya ketika sinetronnya iklan.
Ia hanya menonton sendiri, tanpa ditemani oleh siapapun. Sang suami berada di kamar, Fian sudah tertidur daritadi. Kemudian Mbak Sajidah, sang ibu mertua, dan Sara Mona tengah pergi ke pengajian. Begitupun dengan suami kakak iparnya tersebut. Sementara sang ayah mertua tengah berada di teras sekarang ini. Sedang berbincang dengan seorang bapak-bapak tetangga belakang rumah.
Ia memang memutuskan untuk tidak ikut ke pengajian dengan alasan ingin menjaga rumah saja bersama Fian. Padahal sebenarnya, ia benar-benar malas ikut karena ada Sara Mona. Sejak kejadian siang tadi, ia sudah tidak ingin lagi berurusan dengan Sara Mona. Ya, pengecualian bila ada kumpul keluarga. Ia akan berusaha bersahabat dengan keadaan jika itu memang diperlukan.
Pokoknya ia sudah bertekad kalau ia tidak akan berurusan dengan adik iparnya itu lagi. Pengecualian kalau Sara duluan yang mencari gara-gara dengannya. Mungkin ia akan mempertimbangkannya kemudian.
"Ck! Ngomongin Sara aku jadi sebal lagi kan," gerutu Fitri disertai decakan kesalnya. Jari-jemari rampingnya memencet tombol power pada televisi di depannya dengan kuat. Menyalurkan rasa kesalnya pada televisi tak berdosa di depannya kini.
Fitri tak menyadari bahwa sang suami mendengarkan gerutuannya di seberang sana. Tepat di depan pintu masuk ruang tengah. Fian berdiri di sana dengan posisi menyandar pada pembatas pintu sembari bersedekap. "Jadi kamu akhir-akhir ini uring-uringan karena Sara?" tanyanya yang berhasil membuat Fitri terlonjak kaget.
Kedua netra sehitam jelaga itu membulat sempurna kala menyadari sang suami mendengarkan gerutuannya barusan. Ia benar-benar tidak tahu kalau Fian ada di sana. Karena setahunya, suami tampannya itu masih tertidur pulas di kamar mereka.
Duh, gawat!
"Eum, anoo ... Bukan begitu-"
"Nggak perlu berbohong lagi, Fitri. Katakan yang sejujurnya, ini semua karena masalah Sara yang waktu itu? Kamu benaran cemburu sama adik aku?"
Pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan Fian membuat Fitri semakin gelagapan dibuatnya. Gadis yang saat itu memakai daster rumahan berwarna biru dengan motif batik tersebut merasa bingung. Fitri bingung harus menjawab bagaimana. Haruskah ia jujur, bungkam, atau mengabaikannya saja seolah tak terjadi apa-apa?
"Tidak, aku tidak cemburu. Kamu salah paham dan salah dengar, Mas."
Bohong.
Fian tahu kalau Fitri berbohong. Jika sampai berbohong seperti ini, itu berarti Fitri memang tidak ingin membicarakannya. Akan tetapi, Fian yakin kalau permasalahan yang akhir-akhir ini mengganggu sang istri adalah soal adiknya, Sara Mona.
"Kenapa kamu berbohong?"
"Aku tidak berbohong!"
"Tidak, kamu berbohong, Fitri."
"Tapi aku-"
"Ada apa ini?"
Suara penuh penekanan itu membuat Fitri dan Fian menoleh ke sumber suara secara bersamaan. Pak Shaleh, ayahanda dari Aldiano Lutfiansyah berdiri di sana dengan tatapan penuh selidik yang dilayangkan pada keduanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Yah. Ayah nggak perlu khawatir, tenang saja." Fian yang merasa bertanggung jawab langsung menjawab dengan cepat. Ia menarik pinggang Fitri agar lebih dekat padanya. Seolah menegaskan perkataannya barusan adalah sebuah kenyataan. Ia tidak ingin keluarganya tahu kalau ia sedang cekcok dengan sang istri.
"Hm ... benar tidak ada apa-apa?" tanya pria paruh baya yang tengah bersedekap itu dengan pandangan menyelidiknya.
Fian dan Fitri saling pandang, lantas tertawa canggung bersama. "Hahaha, iya tidak ada apa-apa kok." Fitri mengibaskan tangannya dengan cepat. Begitupun Fian yang hanya menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan sang istri barusan.
"Baiklah kalau memang tidak ada apa-apa. Ayah mau kembali ke kamar dulu. Kalian bersenang-senanglah. Jangan lupa matikan televisi jika tidak ditonton, hemat."
Usai mengatakan apa yang ingin disampaikannya, pria paruh baya yang merupakan ayah dari Aldiano Lutfiansyah itu langsung meninggalkan tempat dan pergi menuju kamarnya. Meninggalkan kedua pasutri muda yang masih terdiam di tempat.
Setelah kepergian sang ayah, barulah Fian kembali memfokuskan pandangannya kepada sang istri. Ia menuntut jawaban dan penjelasan dari istrinya yang manis saat ini. "Cepat katakan yang sejujurnya. Kamu yang paling tahu kalau aku tidak suka kebohongan, Fit."
Fitri menghela napasnya. Ia sebenarnya juga tidak ingin berbohong pada Fian. Namun ia takut kalau respon Fian akan sama seperti di alun-alun kota waktu itu. Respon yang terkesan 'menggampangkan'. Seolah-olah kegelisahannya adalah sebuah lelucon belaka. Akan tetapi, ia kembali teringat dengan nasihat sang ibu. Tentang 'masalah rumah tangga itu harus diselesaikan berdua'.
"Iya. Kegelisahanku beberapa hari ini memang masih tentang Sara Mona. Aku sudah mengatakannya di alun-alun kota waktu itu, tapi kamu seolah menganggapnya hal biasa dan tidak perlu dikhawatirkan." Fitri menghela napas dan menatap Fian dengan netra memelas. "Aku benar-benar kecewa dengan respon kamu waktu itu, Mas."
Nyut ...
Dapat Fian rasakan denyutan nyeri yang menyerang ulu hatinya barusan. Ia tahu perasaan ini. Rasa sesal dan sesak karena telah menyepelekan perasaan istri yang dicintainya. Apalagi netra berkaca-kaca Fitri barusan semakin menambah denyutan nyeri di ulu hatinya.
"Maaf ..."
Ya, hanya itu yang sanggup Fian katakan sekarang. Karena laki-laki itupun sebenarnya juga bingung. Fian bingung harus melakukan apa atau bertindak seperti apa. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain menenangkan dan menghapus sedikit kegelisahan sang istri sekarang.
"Aku tidak memerlukan permintaan maaf dari kamu, Mas. Aku hanya ingin memastikan kalau kegelisahanku ini tidak benar. Karena aku benar-benar merasa kalau Sara memang menyukaimu. Bukan sebagai adik pada kakaknya, tapi sebagai perempuan pada laki-laki idamannya."
•
•
•
Wahh, ini mah memang harus diselidiki ya, nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro