Bagian 24 ⭒࿈⭒ Cekcok Pagi
•
•
•
Malam semakin larut, bintang-bintang mulai menunjukkan atensinya. Sementara sang purnama malah bersembunyi di balik awan. Seolah enggan untuk menunjukkan pesonanya pada malam hari itu. Namun berbeda dengan Fitri, istri dari Aldiano Lutfiansyah itu tengah mendudukkan dirinya di teras rumah karena efek terbangun dan akhirnya tidak bisa tidur lagi.
Jikalau melihat jam, tentu saja sudah jam satu malam sekarang. Di mana seharusnya ia kembali tidur. Bukannya keluar rumah dan duduk sendirian di teras begini. Bisa-bisa ia masuk angin besok pagi.
Namun jujur saja, ketenangan malam seperti inilah yang Fitri butuhkan saat ini. Gadis itu membutuhkannya untuk menenangkan hati dan pikiran yang mulai tak karuan. Tadi saat ia terbangun dan melihat wajah Fian, ingatan tentang Sara Mona yang menatap Fian dengan lekat seketika memasuki pikirannya.
"Ayolah, Fitri. Sara Mona hanya mengagumi Fian, tidak lebih. Hentikan pikiran-pikiran burukmu itu. Sara pasti tahu batasannya," gumam Fitri sembari memukul pelan kepalanya. Surai pendeknya jadi sedikit berantakan akibat gesekan tangannya. Membuat Fitriana Ayodya mirip seperti hantu jalanan sekarang.
Bagaimana tidak? Lihatlah siapa orang gila yang mengoceh dini hari di teras dengan suasana sekitar yang gelap gulita seperti ini?! Tidak ada. Hanya Fitri seorang.
Padahal angin dini hari sangat dingin kala itu. Akan tetapi Fitri tak merasakannya, tubuhnya seolah mati rasa. Ya, sebentar lagi ia juga akan masuk ke dalam. Kantuknya sudah kembali, dan ia ingin segera tidur lagi.
Jadi beberapa saat kemudian, Fitriana Ayodya memutuskan untuk menyudahi acara menyendirinya dan kembali masuk ke dalam rumah. Berjalan ke arah kamarnya dan ikut merebahkan diri di samping Fian.
⭒࿈⭒
Keesokan paginya, Fitri sudah kembali bersikap ceria seperti biasa. Tidak ada lagi bibir mengerucut, pipi menggembung, ataupun wajah ditekuk kali ini. Gadis yang memiliki lesung pipi itu sudah kembali menunjukkan senyuman manisnya pada semua orang.
Termasuk pada sang suami.
Fian sampai dibuat terheran-heran melihat perubahan Fitri yang begitu cepat. Sebentar-sebentar marah, sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar manis. Benar-benar tidak bisa ditebak, bukan?
Ya memang, Fitri tidak akan bisa ditebak emosinya. Apalagi jika sedang kedatangan tamu bulanannya. Gadis itu bisa berubah-ubah. Tidak hanya power ranger saja yang bisa berubah, tapi Fitriana Ayodya juga.
Lihat saja sekarang. Gadis yang saat ini memakai setelan kaos lengan panjang dengan rok span berwarna hitam itu sedang memasak sembari bersenandung ria. Sajidah dan Sara saja dibuat bingung karena Fitri bernyanyi tanpa menatap sekelilingnya. Apakah ada orang yang mendengar atau tidak, gadis itu sepertinya tidak peduli.
Benar-benar aneh, bukan?
"Cieee, ada yang lagi senang nih kayaknya." Sajidah berujar sembari menyenggol-nyenggol lengan Fitri dan menaik-turunkan alisnya untuk menggoda sang adik ipar. "Padahal kemarin cemberut aja," lanjutnya.
Fitri tersenyum manis menanggapi perkataan kakak iparnya. "Nggak apa-apa kok, Mbak. Kan nggak baik juga kalau cemberut lama-lama. Nanti bisa cepat tua aku," gurau Fitri. Tak lupa deretan gigi putihnya ia tunjukkan supaya meyakinkan.
"Alah! Kamu loh emang suka cari perhatian. Sudah nggak heran aku," celetuk Sara dengan sinis.
Fitri langsung melunturkan senyumannya. Sementara Sajidah malah memberi tatapan peringatan pada Sara Mona.
"Jangan bicara sembarangan, ya!"
Tidak, bukan Sajidah yang mengatakannya. Melainkan Fitri yang entah kenapa jadi ikut terbawa emosi. Dapat dilihat kedua tangan gadis itu mengepal di sisi-sisi tubuhnya.
"Aku nggak tahu kenapa kamu selalu menyebutku 'pencari perhatian'. Aku sama sekali tidak mencari perhatian siapapun, Sara!"
Sara tersenyum mengejek, tangan gadis berusia delapan belas tahun itu sudah berkacak pinggang sekarang. "Bukannya itu sudah sifatmu, ya? Sok polos dan suka cari perhatian."
Senyum Sara semakin mengembang kala melihat Fitri terpancing emosinya. Karena memang itulah tujuannya selama ini. Ia ingin Fitri melepaskan amarahnya yang terpendam agar semua orang di rumahnya itu tahu kalau Fitri tak sebaik yang terlihat.
Tidak apa, sebut saja ia licik.
Toh, memang inilah dirinya.
Sara Mona.
"Sara! Jangan berbicara seperti itu pada kakak iparmu!" tegur Sajidah pada akhirnya. Putri sulung di keluarga tersebut akhirnya buka suara untuk melerai pertengkaran yang sebentar lagi mungkin akan terjadi. Maka dari itu, sebisa mungkin Sajidah akan meminimalisir adanya pertengkaran di pagi hari yang indah ini.
"Mbak Jidah jangan belain dia terus! Nanti dia jadi keenakan dan melunjak tahu, Mbak! Mbak mau kayak gitu?" tunjuk Sara tepat pada wajah Fitri. Membuat sang Fitri jadi semakin geram dengan tingkahnya.
"Sudah cukup ya, Sara! Aku nggak ngerti apa salah aku sama kamu, tapi yang jelas aku nggak seperti apa yang kamu pikirin!" seru Fitri dengan netra berkilat-kilat karena amarah.
"Ayo pergi, nggak usah ladenin Sara."
Ya, Sajidah buru-buru menghampiri sang adik ipar dan membawanya pergi dari dapur untuk menghindari Sara Mona. Itu dilakukan agar suasana tidak semakin kacau dan mengundang perhatian para anggota keluarga yang lain. Mengingat semua anggota keluarga mereka masih berada di kamar masing-masing sekarang. Namun tidak menutup kemungkinan kalau suara berisik mereka akan sampai ke kamar-kamar yang lain jika perdebatan itu dilanjutkan.
Sajidah membawa Fitri ke belakang rumah. Di mana tepat di depannya adalah persawahan dan perladangan. Sajidah berharap suasana sawah dan ladang di pagi hari dapat membuat amarah Fitri jadi sedikit tenang.
"Jangan diladenin si Sara, Fit. Kamu sudah tahu sendiri dia itu anaknya bagaimana. Jadi nggak usah diladenin, lah."
"Tapi aku kesal, Mbak. Dia selalu menuduh dan berprasangka buruk terhadapku. Apa iya aku akan diam saja?" kata Fitri sembari menatap Sajidah dengan sisa perasaan kesal yang belum tersalurkan. Helaan napas terdengar setelahnya. "Aku benar-benar tidak habis pikir," ujar Fitri kemudian.
"Iya, Mbak ngerti kok. Bukan kamu saja yang merasa begitu, Mbak pun juga merasa demikian. Entah sejak kapan Sara jadi pribadi yang menyebalkan seperti itu."
Sejak aku menikah dengan Fian, Mbak.
Tatapan Fitri menyendu. Ia langsung kembali mengalihkan pandangan ke sawah dan ladang di depannya sebelum Mbak Sajidah menyadari perubahan ekspresinya. Bisa-bisa kakak iparnya itu akan semakin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya dengan jujur. Ia tidak ingin berbohong lagi. Terlebih bohong pada perasaannya sendiri. Ia tidak mau itu.
"Apakah sebelumnya Sara tidak pernah bersikap demikian, Mbak?" tanya Fitri.
Sajidah menggelengkan kepalanya. "Nggak pernah. Sara itu anaknya jarang membenci suatu hal sampai segitunya. Makanya itu Mbak jadi bingung, kok segitu nggak sukanya dia sama kamu, gituloh."
Ya iyalah, orang dia suka sama kakaknya.
Tidak, Fitri tidak akan sanggup mengucapkan itu pada sang kakak ipar. Ia masih punya hati untuk tidak memulai pertengkaran di rumah ibu mertuanya ini. Lebih baik ia diam sebelum semuanya sudah terbukti dengan jelas.
•
•
•
Setuju banget sama Fitri. Harus ada bukti yang kuat dulu, dong ><
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro