Bagian 22 ⭒࿈⭒ Pengakuan
•
•
•
"Mau ke mana sih, Mas?" tanya Fitri pada Fian, sesaat setelah keluar dari area rumah. Keduanya sudah memegang stang sepeda masing-masing sekarang.
"Ada deh, ikut aja pokoknya."
Fitri memicingkan matanya. Ia benar-benar merasa sangat curiga sekarang. Apalagi setelah melihat senyum misterius Fian barusan.
Mencurigakan.
Sepertinya ia harus berhati-hati, mengingat sang suami itu orang yang penuh kejutan dan sedikit menyebalkan. Akhirnya, ia pun hanya menurut dan mengikuti langkah Fian yang sudah mulai mengayuh sepedanya. Ia menatap punggung kokoh laki-laki itu dengan pikiran campur aduk.
Hari Minggu begini memang enak kalau dibuat sepedaan pagi-pagi. Secara ... vitamin D dari matahari adalah yang terbaik, bukan? Mengingat sehari-hari ia hanya berjaga di dalam toko sang ibu. Jika tidak keluar dan keliling menjual camilan, ia tidak akan mendapat vitamin D.
"Sebenarnya kita mau ke mana sih, Mas?" tanya Fitri lagi di sela-sela ramainya jalan raya.
Fian yang berjarak beberapa meter di depan Fitri langsung menoleh dengan cepat. "Sudah, ikuti saja. Jangan banyak tanya," katanya.
Decakan sebal Fitri layangkan setelahnya. Ia tidak suka kalau Fian sudah main rahasia-rahasiaan seperti ini. Ia kan jadi penasaran. Kenapa tidak langsung terus terang saja, coba?
"Ah, sudahlah. Daripada pusing mikirin itu, lebih baik aku menikmati sejuknya udara pagi."
⭒࿈⭒
Lima belas menit sudah Fitri dan Fian mengayuh sepeda masing-masing mengarungi lautan manusia di jalan raya. Sampai sekarang, Fian belum ada tanda-tanda akan berhenti juga. Fitri sampai heran dan bertanya-tanya, ke mana tujuan Fian sebenarnya? Karena sampai sekarang, sang suami masih terus mengayuh sepedanya menyusuri jalan raya.
Jika melihat arahnya, ini seperti arah ke taman kota dan stadion. Rasanya tidak mungkin kalau Fian akan mengajaknya ke stadion, secara tidak ada pertandingan apapun hari ini. Kalau ke taman kota, masih ada kemungkinannya.
Ternyata, benar dugaan Fitri.
Fian baru menghentikan kayuhannya ketika sudah sampai di taman kota. Laki-laki itu berjalan duluan, diikuti Fitri di belakangnya. Mereka langsung memarkirkan sepeda di tempat yang sudah disediakan. Setelahnya, Fian menggandeng tangan sang istri dan membawanya duduk di salah satu kursi yang ada di taman. Kursi yang dimaksud adalah kursi panjang berbahan beton dengan keramik berwarna putih yang mengkhiasinya.
Di sekeliling taman, banyak sekali tanaman-tanaman bunga tropis yang memang sengaja ditanam di sana. Ada anggrek, mawar, melati, dan lain-lain. Lalu ada papan informasi yang berisi poster dan beberapa berita hangat di hari itu. Ada pula cerpen dan puisi-puisi yang ditulis sengaja oleh masyarakat sekitar untuk menyalurkan karya mereka. Kemudian ada juga beberapa spot romantis yang memang sengaja dibuat untuk pasangan.
Contohnya sepasang kekasih di pojok sana. Tepat di spot romantis yang memiliki rerumputan berbentuk love di sana. Pasangan itu terlihat bahagia dengan kedua anak mereka.
Ah, ngomongin anak jadi kepikiran lagi deh.
Tatapan Fitri seketika menyendu. Fian yang sedari tadi memang memerhatikan Fitri diam-diam pun merasa aneh dengan perubahan ekspresi sang istri. Padahal beberapa detik yang lalu masih ceria, sekarang malah jadi murung.
"Ada apa?" tanya Fian sembari memegang punggung tangan Fitri dengan lembut. Fitri hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Tidak ada apa-apa. Kenapa kamu membawaku kemari?" tanya Fitri mencoba mengalihkan topik.
Fian yang semula menatap Fitri, sekarang memilih mengalihkan tatapannya ke pemandangan taman kota di depannya. Netra hitamnya tampak bergulir ke sana-kemari. "Aku tidak tahu kenapa, tapi kurasa kamu memang membutuhkannya." Entah Fitri menyadarinya atau tidak, tapi tubuhnya sedikit tersentak saat kalimat itu terlontar dari bibir Fian begitu saja. "Aku tahu ada yang kamu pikirkan akhir-akhir ini, makanya aku membawamu kemari, karena aku tahu kamu tidak akan bisa mengatakannya jika berada di rumah. Benar, 'kan?"
Deg!
"Ba-bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya Fitri dengan agak terbata-bata. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Fian akan sepeka ini pada dirinya.
Helaan napas terdengar dari laki-laki bernama Aldiano Lutfiansyah itu. Fian langsung menatap dengan lekat istri manisnya. "Aku itu suami kamu, Fitri. Bagaimana mungkin aku tidak tahu kalau ada suatu hal yang mengganggu pikiranmu jika semua itu selalu tergambar jelas di ekspresi wajahmu," jelas Fian.
Fitri menundukkan pandangannya, menatap pada lantai beton yang menjadi alas lantai di taman kota tersebut. "Aku tidak tahu apakah aku harus menceritakan kegelisahanku ini padamu atau tidak."
"Kenapa tidak?" sela Fian.
"Karena ini berhubungan dengan adikmu."
Hening.
Baik Fian maupun Fitri tidak ada yang membuka suara setelahnya. Fitri sibuk merutuki dirinya yang tidak bisa menahan diri untuk mengatakannya. Sementara Fian, ia benar-benar terkejut karena hal yang membuat sang istri kepikiran adalah sesuatu yang berhubungan dengan adiknya.
"Ada apa dengan Sara?"
Sejenak Fitri memantapkan dirinya sebelum berusaha terus terang pada Fian. Jujur saja, ini bukanlah hal yang mudah untuknya.
"Aku merasa dia menyukaimu, Mas."
"Jangan mengada-ngada. Bagaimana mungkin kamu bisa berpikir seperti itu? Kamu cemburu karena aku selalu memanjakan Sara?"
Pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan Fian membuat netra Fitri berkabut seketika. Sudah ia duga reaksi sang suami akan seperti itu. "Bukan seperti itu," cicitnya.
"Fitri, Sara adalah adik aku. Kedudukannya jelas berbeda denganmu yang adalah istriku."
"Aku tahu, Mas! Tapi tatapan Sara padamu itu berbeda!" pekik Fitriana Ayodya yang sudah tidak bisa menahan dirinya. Air mata Fitri meluncur begitu saja dari kelopak matanya. Bersamaan dengan isak-isak tangis yang menyertainya.
Fian yang melihat sang istri sampai menangis langsung mendekap Fitri ke dalam pelukannya. Diusap-usapnya rambut sebahu Fitri dengan lembut. Dikecupnya pula puncak kepala Fitri dengan gemas. "Aku dan Sara hanya kakak-adik. Kamu jangan melupakan fakta itu. Mungkin kalau kamu cemburu dengan mantan pacarku, aku tidak akan mempermasalahkannya. Namun Sara Mona adalah adikku. Aku tahu pasti bagaimana sifatnya."
Tidak, Fian. Kau sama sekali tidak mengenalnya dengan baik.
Fitri memilih tetap bungkam dan mengeratkan pelukannya pada pinggang kokoh Aldiano Lutfiansyah.
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro