Bagian 2 ⭒࿈⭒ Sara Mona
•
•
•
Tiga hari sudah berlalu sejak saat itu.
Saat di mana ia sudah sah menjadi tanggung jawab orang lain.
Tanggung jawab suaminya.
Kini Fitri tengah berada di rumah mertuanya. Ia diterima dengan sangat baik di sini, kecuali satu orang.
Sara Mona.
Dia adalah adik perempuan Fian. Kebetulan ia juga seumuran dengannya. Entahlah. Fitri tak tahu bagaimana menggambarkan sosok Sara Mona. Tatapannya yang begitu sinis selalu membuatnya kian bertanya-tanya. Hingga tadi ia berhasil menemukan jawabannya dan berakhir merenung sendirian seperti ini.
Kamu itu nggak pantes sama Mas Fian.
Kalimat sederhana itu terus terngiang-ngiang di kepalanya bagai kaset rusak. Setiap kata yang keluar dari bibir Sara Mona begitu memengaruhinya.
"Kenapa ia berkata seperti itu?" lirih Fitri dengan tatapan menyendu. "Kenapa rasanya semua orang menentang hubungan kami? Nggak Ibu, nggak Mufidah, terus sekarang ... Sara Mona."
Ceklek
Suara pintu yang terbuka, membuat Fitri menoleh ke belakang. Dilihatnya sang suami yang baru saja memasuki kamar sembari menggosokkan handuk ke rambutnya yang basah. Seperti yang terlihat, suaminya itu baru saja selesai mandi. Tetes-tetes air masih terjatuh dari rambutnya yang lumayan panjang. Mengakibatkan lantai menjadi sedikit basah.
Fitri yang melihat itu jadi mengernyit tak suka. Ia memberikan tatapan tajamnya pada Fian yang malah tak diindahkan oleh sang empunya. Fian justru mengangkat sebelah alisnya dengan heran.
"Kenapa?" tanyanya.
Fitri mendengkus. Sejenak setelahnya menghela napas ringan. Hal itu semakin membuat Fian kian bertanya-tanya. "Kenapa, sih?" tanyanya lagi.
"Itu jadi basah semua loh. Kamu kok santai banget, sih?"
Ohh?
Fian mengangguk paham. Buru-buru ia menyeret keset yang ada di depan pintu dan membawanya masuk. Lalu segera mengelap tetesan air yang dibuatnya dan mengembalikan kesetnya ke tempat semula. "Nah, udah. Aku mau berangkat kerja habis ini. Kamu senang-senang di rumah, jangan sungkan-sungkan. Kalau ada apa-apa bilang aja ke Ibu atau ke Mbak."
Anggukan kepala dilayangkan Fitri sebagai respon. Setelahnya, hanya keheningan yang terjadi di antara dua pasangan muda itu. Baik Fitri dan Fian sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Fian yang tengah berpakaian, dan Fitri yang sedang menyiapkan tas dan bekal makan yang akan dibawa Fian ke pabrik.
Usai melakukan pekerjaannya, Fitri memutuskan untuk langsung menghampiri sang suami dan memberikan tas kerja beserta bekalnya pada Fian. Lalu setelahnya mengantarkan laki-laki itu ke depan rumah.
"Aku pamit, ya."
Sebuah kecupan mendarat lembut di kening Fitri. Sementara sang empunya yang dikecup berusaha menahan rasa panas yang mulai menjalari pipinya saat ini. Sedikit demi sedikit Fian bisa melihat rona merah di pipi istrinya.
Menggemaskan!
Kekehan gemas keluar dari bibir Fian. Diacaknya rambut sebahu Fitri dengan gemasnya, lalu memberikan punggung tangan kanannya ke sang istri untuk disalami. Setelahnya, ia benar-benar pamit untuk bekerja.
⭒࿈⭒
Dua jam sudah Fitri berdiam diri di dalam kamarnya, ia masih belum terlalu akrab dengan orang di sekitar sini. Apalagi kalau ada Sara Mona yang selalu saja melemparkan tatapan sinis padanya. Seperti tadi pagi saat ia baru saja masuk setelah mengantar Fian ke depan, Sara meliriknya dengan tatapan yang sangat tak enak dilihat.
Entahlah.
Ia pun tak tahu mengapa Sara terlihat sangat tak menyukainya. Ya, ia pun sadar diri sih kalau ibunya pernah mengatakan kata-kata yang sedikit 'tidak pantas' pada keluarga suaminya itu.
Mungkin karena itulah.
Namun, ia tidak ingin seperti ini.
Akhirnya, dengan sedikit keraguan yang menyelimuti hati, Fitri memberanikan diri untuk menemui adik perempuan Fian satu-satunya itu. Ia mencari Sara Mona ke kamarnya, yang kebetulan berada di bagian paling belakang rumah.
Pintu kamar yang tidak ditutup, membuatnya bisa melihat sosok Sara yang tengah membaca sebuah buku resep masakan. Fitri mendekat dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan gerakan yang akan membuat Sara jadi terkejut.
Namun ternyata, gerakannya itu disadari oleh sang gadis yang langsung berdecak tak suka saat melihatnya.
"Mau apa?" tanyanya.
Fitri tidak menjawab, ia mendekati ranjang kamar Sara dan mendudukkan diri di samping Sara. Spontan saja Sara langsung berdiri dan menjauh.
Reaksinya itu benar-benar membuat Fitri terkejut.
Semenjijikkan itukah dirinya di mata sang adik ipar?
"Apaan, sih?! Main duduk di ranjang orang aja! Maumu apa?!" sentak Sara.
Fitri dapat merasakan hatinya sedikit sesak saat mendengar kalimat bernada keras itu keluar dari bibir Sara Mona. "Kamu terlihat membenciku, tapi kenapa?" tanya Fitri.
"Terlihat membencimu? Aku memang membencimu, tau! Kamu dan keluargamu itu benar-benar keterlaluan! Ngapain juga sih Mas Fian suka cewek yang modelannya kek kamu?! Kayak nggak ada cewek lain aja." Kedua alis Sara Mona mengerut dalam. Terlihat wajahnya yang sampai memerah setelah mengeluarkan semua unek-unek tersebut. "Setelah menikah dengan kamu, Mas Fian jadi lebih memprioritaskan kamu daripada aku! Aku membencinya. Kamu nggak pantas dengan Masku!"
"SARA!"
Deg
Keduanya menoleh ke asal suara. Siti Sajidah, kakak perempuan Fian datang dengan tatapan tajam yang ditujukan untuk adiknya, Sara Mona.
"Apa maksud kamu berbicara seperti itu dengan kakak ipar kamu, hah?! Dia istri Masmu loh! Sudah jelas dia akan lebih diprioritaskan oleh Fian!" Tatapan mata penuh amarah dan berkilat-kilat terlihat jelas di netra hitam Sajidah. "Mbak nggak suka sifat kamu yang kayak gini! Mbak akan bilang ke Ibu, biar kamu dihukum sama beliau!"
"Kok Mbak malah belain dia, sih?! Kan apa yang aku bilang itu bener! Dia udah ngerebut perhatian Mas Fian dari aku!"
Plak
Sara membulatkan netranya. Ia benar-benar tak menyangka kalau kakak perempuannya sampai menamparnya barusan.
"Kamu, keterlaluan Dek."
Setelah mengatakan itu, Sajidah memilih untuk langsung pergi setelah memberi sedikit pelajaran pada adik bungsunya tersebut. Ia sebagai anak yang paling tua merasa sangat malu pada sang adik ipar karena tidak bisa mendidik adiknya dengan benar.
Ia tahu. Sangat tahu bahkan, kalau Sara tidak menyukai Fitri sejak awal. Apalagi setelah kejadian itu, Sara semakin membenci adik iparnya dan mulai memberikan tekanan halus pada sang adik ipar.
Memang. Siapa sih yang tidak sakit hati saat keluargamu dicaci maki dan direndahkan? Apalagi itu soal perbedaan kasta dan derajat.
Ya, ia pun merasakan hatinya sakit dan tidak terima saat kata-kata seperti itu terlontar dari Ibunda Fitri, Tante Anetta. Namun ia tahu kalau Fitri tidak berhak disalahkan atas kesalahan yang tidak dia perbuat. Ia tahu kalau Fitri benar-benar tulus mencintai adik laki-lakinya itu.
Ia dapat melihat itu dari cara Fitri memperhatikan Fian dan segala kebutuhan Fian. Yang mungkin bagi sebagian orang, itu adalah hal yang sangat sepele.
Namun tidak, Fitri benar-benar memperhatikan Fian dengan baik. Gadis itu benar-benar mencintai adiknya, terlepas dari masalah kasta dan segala kekurangan Fian.
•
•
•
Yah ... Fitri memang setulus itu kok Mbak, sama Fian. (>y<)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro