Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 17 ⭒࿈⭒ Makan Bersama



"Ayah bahagia sekali karena bisa berkumpul lagi bersama kalian. Sungguh, tidak ada yang membahagiakan daripada bisa berkumpul bersama keluarga."

Fitri menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangis yang bisa meledak kapan saja dari mulutnya. Ia tidak bisa melihat pemandangan penuh haru di depannya. Benar-benar mengharukan saat salah seorang keluarga yang selama enam bulan lamanya tidak ada, kini akhirnya bisa berkumpul bersama.

Mbak Sajidah, Sara Mona, dan sang ibu mertua masih menangis sampai sekarang. Apalagi setelah mendengar cerita sang ayah mertua selama di penjara. Baju seadanya, makan pun ala kadarnya. Namun beruntung karena di penjara selalu ada kegiatan rutin. Entah itu shalat berjama'ah, kerja bakti, senam bersama, dan kegiatan lainnya. Jadi sang ayah mertua tidak merasa kesepian, tapi rasa rindu terhadap keluarga pasti ada.

"Ayah punya dua orang teman yang hebat di sana. Mereka masuk penjara karena membela keadilan, tapi mereka justru tidak mendapatkan keadilan."

"Ck! Selalu saja seperti itu memang. Keadilan di Indonesia kadang masih suka dipertanyakan," celetuk Fian dengan netra berkilat-kilat.

Sang ayah hanya terkekeh kala mendengar perkataan putra satu-satunya itu. "Memang benar, keadilan di negara kita ini masih sering dipertanyakan. Tokoh pejabat yang korupsi juga masih merajalela, orang kaya makin kaya, kejahatan di mana-mana, belum lagi pembangunan yang tidak merata."

Fian mengangguk, menyetujui perkataan sang ayah. Begitupun Sara Mona dan Sajidah yang sudah berhenti dari acara menangisnya.

"Fitri."

"Eh, iya! Saya?"

Fitri menunjuk dirinya sendiri saat tiba-tiba namanya dipanggil oleh sang ayah mertua. Ia jadi kelabakan sendiri sekarang. Menatap pada mata yang sisi-sisinya sudah benar-benar keriput itu dengan penuh rasa penasaran.

"Ayah ingin berbicara empat mata denganmu nanti, Nduk."

Senyuman Fitri mengembang seketika, ia mengangguk dengan antusias. Membuat Fian yang sedaritadi memerhatikan ekspresi Fitri jadi ikut tersenyum. Salah satu alasan kenapa Fian menyukai Fitri ya karena itu, senyumannya.

Senyuman Fitri bagaikan bunga matahari yang mekar di ladang bunga. Begitu bersinar, begitu memesona. Sampai-sampai bisa membuat siapapun terpikat. Akan tetapi, Fitri hanya miliknya seorang.

"Baiklah, Ayah. Nanti sekalian kita minum teh hangat di teras, hehe." Cengiran lebar ditunjukkan Fitri saat itu juga. Membuat seluruh keluarganya jadi ikut tertawa karena tingkat istri dari Aldiano Lutfiansyah tersebut.

Kemudian, wanita yang paling dituakan di sana angkat suara. Sang ibu memberitahukan kalau makan malam sudah disiapkan sedari tadi. Mengingat kedatangan sang ayah secara tiba-tiba, jadilah mereka sampai lupa soal makan malam.

"Makan malam dulu, baru setelah itu kita bincang-bincang lagi. Sampai lupa makan karena kedatangan Ayah yang tiba-tiba," ujar Sajidah sembari beranjak berdiri seraya menggendong Maulida. Anak sulung di keluarga itu langsung berjalan ke dapur duluan diikuti sang suami di belakangnya.

Fitri dan Fian pun demikian. Kedua pasutri baru itu langsung mengikuti langkah sang kakak ke dapur. Kemudian diikuti sang ibu, sang ayah, dan Sara Mona di barisan terakhir. Gadis yang selalu mencepol rambutnya itu hanya memasang wajah tanpa ekspresinya seperti biasa.

Entahlah, pikiran Sara Mona itu tidak bisa ditebak.

⭒࿈⭒

Lantai dapur yang semula longgar, kini jadi penuh karena kedatangan para penghuninya. Seluruh keluarga Fian duduk melingkari hidangan makan malam di tengah-tengah mereka. Bukan hidangan yang mewah, hanya hidangan sederhana yang memiliki cita rasa sempurna.

Ya, kalimat itu memang cocok dipakai untuk memuji masakan para wanita dan gadis di dalam rumah ini. Masakan mereka memang tidak ada duanya. Masing-masing memiliki ciri khas sendiri. Fian sampai hafal mana masakan sang ibu, adiknya, kakaknya, apalagi masakan istrinya.

Kalau Sara Mona itu pecinta pedas, maka kalau ia menemukan hidangan yang berwarna merah dan rasanya pedas, pasti itu buatan Sara. Beda lagi kalau Mbak Sajidah. Kakaknya itu lebih suka makanan yang gurih-gurih dan crispy. Ya, yang berbau tepung beras dan antek-anteknya itu sudah pasti masakan sang kakak.

Kalau istrinya ...

Entahlah.

Fitri selama ini hanya memasak sesuai seleranya saja, tapi apapun itu Fian tetap suka kok. Kan ia tinggal makan saja, tidak perlu memasak. Ya, salah satu keuntungan terlahir sebagai laki-laki.

Plak!

"Berdoa dulu, Sara. Jangan main comot aja," desis Sajidah sembari menatap tajam pada sang adik bungsu.

Sementara Sara Mona hanya merespon dengan bibir yang dimajukan sembari mengelus punggung tangannya yang sempat mendapat pukulan ringan dari Sajidah.

"Nggak usah dipukul juga kali, Mbak." Fian menyahut sembari tertawa kecil. "Lihat tuh, bibir Sara sampai monyong-monyong gitu."

"Tahu nih, Mbak Jidah! Galak banget, sih!" pekik Sara Mona pada sang kakak perempuan. Perkataannya itu membuat sang ayah dan ibu turut tertawa kecil dibuatnya.

Terutama sang ayah. Pria paruh baya itu menatap interaksi anak-anaknya dengan netra yang sedikit berkaca-kaca. Sepertinya teringat masa lalu dan jadi rindu kala melihat pemandangan di depannya. Tidak heran, mengingat sudah enam bulan lamanya sang ayah meninggalkan mereka. Meninggalkan semua keluarga karena sebuah tuduhan yang diterimanya.

"Sudah, sekarang makan. Jangan bertikai terus," lerai sang ibu yang sedari tadi hanya diam melihat perdebatan anak-anaknya. Wanita yang hampir berkepala empat itu segera menyendokkan nasi beserta lauk-pauknya ke piring sang suami. Hal itu langsung diikuti Sajidah dan Fitri. Keduanya sama-sama mengambilkan makanan untuk suami masing-masing.

Setelahnya, hanya suara kecapan dan dentingan piring sendok yang terdengar di dapur sederhana tersebut. Setiap penghuninya mencoba menikmati makan malam mereka dengan tenang. Kecuali si paling kecil, Maulida. Balita itu duduk dengan tenang di samping sang ibu dan terus saja berceloteh dengan bahasanya yang belum terlalu lancar.

Diam-diam Fitri membatin kala dihadapkan dengan situasi ini. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia juga merindukan suasana kekeluargaan seperti ini ketika dirinya masih kecil. Di saat sang ibu belum pergi ke Saudi Arabia untuk menjadi TKI di sana, kehangatan itu masih terasa. Karena entah kenapa, setelah memutuskan berhenti jadi TKI dan kembali ke tanah air beberapa bulan yang lalu, kepribadian sang ibu jadi lebih keras padanya dan saudara-saudaranya. Tidak selembut dan sepengertian dulu saat sebelum pergi ke Saudi Arabia. Mungkin, keseharian di sanalah yang membentuk kepribadian keras itu. Fitri memakluminya, tapi tidak menutup perasaan kalau ia memang rindu suasana rumahnya yang dulu.

Seketika, seulas senyum timbul di pipi berlesung Fitriana Ayodya. Fitri benar-benar bersyukur dengan perasaan hangat yang baru saja memasuki relung hatinya setelah melihat pemandangan keluarga yang harmonis di depannya.



Ya, sangat harmonis memang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro