Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 16 ⭒࿈⭒ Bebas Lepas



"Bangun, Nona Fitri."

"Mau sampai kapan Anda tertidur, hm?"

Bisikan itu membuat Fitriana Ayodya yang tengah asik mengarungi samudra mimpi jadi terusik. Tidurnya pun kian terganggu ketika tangan-tangan nakal dari Aldiano Lutfiansyah menelusup ke sela-sela jari tangan kanan Fitri yang berada di atas bantal.

"Sayang~"

"Hng ..."

Gumaman random Fitri membuat Fian semakin terkekeh geli.

Senja sudah terlewat sejak beberapa menit yang lalu, langit pun sudah mulai gelap, tapi Fitri masih saja asik dengan dunianya. Sampai-sampai Fian pulang pun ia belum bangun juga. Benar-benar tidak merasa terusik sama sekali kalau sudah memasuki alam mimpi.

Fian sendiri sudah tidak heran dengan salah satu sifat istrinya yang sudah mendarah daging itu. Fitri memang bisa tertidur berjam-jam lamanya jika sedang merasa kelelahan. Maka dari itu Fian ada di sini sekarang, untuk membangunkan sang istri atas perintah ibunya. Mengingat sudah sedari tadi siang Fitri tidur, pastinya sang istri belum makan sampai sekarang.

"Fitriana Ayodya."

Fian kembali memanggil sang istri, kali ini dengan menggoyangkan bahunya sedikit keras, dan cara itu berhasil membangunkannya.

Fitri mengerjap-erjapkan kelopak matanya dengan perlahan. Cahaya lampu yang memasuki netranya membuat pandangannya kian menyipit. Setelah pandangan Fitri mulai jelas, ia melihat sang suami tengah duduk di samping kanannya dengan senyuman lebar andalannya.

"Astaga, Mas! Sudah pulang?! Jam berapa sekarang?!" Fitri spontan mendudukkan dirinya dengan cepat. Melihat jam dinding di atas nakas yang membuat kedua bola matanya langsung membulat sempurna. "Sudah maghrib?! Kok nggak bangunin aku?!" pekiknya.

Fian tertawa lepas. "Bagaimana mau dibangunkan kalau tidurmu saja sudah seperti beruang yang sedang hibernasi," ujar Fian disertai kekehan setelahnya.

Fitri auto cemberut, bibirnya maju beberapa senti dengan kedua alis menukik tajam. Menatap sang suami dengan aura permusuhan yang begitu kental.

"Maaf, deh. Aku hanya tidak tega membangunkanmu. Apalagi Mbak Sajidah tadi cerita kalau kamu kelelahan setelah dari pasar dan tidur sampai lupa waktu begini."

Fitri hanya menghela napasnya. "Aku memang cepat lelah akhir-akhir ini, mungkinkah aku hamil?"

Hah?

Fian menahan tawanya. "Aku aja belum nyentuh kamu, loh. Hamil dari mana coba? Ada-ada aja, sih. Kecapean aja itu, nanti kita periksa ke klinik aja, ya?"

Gelengan kepala dilayangkan Fitri sebagai penolakan. "Aku nggak sakit, Mas. Nggak perlu sampai ke klinik juga. Lagian aku juga tidak punya kartu kesehatan, biaya klinik kan lumayan mahal."

"Ibu punya kartu kesehatan kok," Fian tersenyum. "Kita bisa pinjam punya Ibu."

"Nggak usah, serius deh." Fitri beranjak berdiri dan meraih handuk yang tergantung di atas pintu. "Aku mau mandi dulu, ya. Habis itu aku buatin makan malam, okey?" Fitri menatap sang suami yang masih terduduk di tepian ranjang dengan seulas senyuman. Tentu saja senyuman Fitri langsung menular padanya saat itu juga.

"Padahal Ibu dan Mbak Jidah sudah masak, tapi nggak apa-apalah. Aku pengen makan masakan kamu," ujarnya.

Fitri melebarkan senyumnya, lantas mengangguk dengan singkat. Setelah itu, hanya keheningan yang terjadi di kamar pasutri tersebut. Karena Fitri pergi ke kamar mandi, dan Fian memilih mengistirahatkan diri.

⭒࿈⭒

Malam itu, adalah malam yang cukup mengejutkan dan tidak terduga bagi Fian beserta keluarganya. Sebab tiba-tiba saja, suara sirine mobil polisi menjadi melodi yang memenuhi halaman rumahnya. Para anggota keluarga yang tengah asik berbincang di ruang tengah jelas merasa sangat terkejut. Apalagi ketika tiga orang polisi keluar dari dalam mobil berwarna hitam tersebut, beserta seorang pria setengah baya di antaranya.

Hal itu membuat sang ibu, kakaknya, bahkan adiknya langsung berhambur memeluk seseorang, yang merupakan ayahnya itu dengan erat. Para polisi memang belum mengatakan apapun perihal tujuan mereka itu, tapi yang jelas ...

... ia sangat merindukan sosok sang ayah.

"Ayah? Benarkah itu Anda?"

Manik sekelam malam Aldiano Lutfiansyah tampak berkaca-kaca saat kalimat itu keluar dari bibirnya. Apalagi ketika netranya bersirobok langsung dengan netra sang ayah.

"Kemarilah, Nak."

Suara yang baru saja ia dengar, adalah suara yang hampir enam bulan lamanya tak ia dengar.

Fian sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia langsung berlari dan berhambur ke pelukan sang ayah yang begitu dirindukannya. Sang ayah yang selalu menjadi panutannya, dan selalu menjadi tempat curhat terbaiknya ada di sini sekarang.

Di depannya.

"Demi Allah! Fian merindukanmu, Ayah."

Fitri yang masih berdiri di depan pintu hanya sanggup menatap pemandangan haru itu dengan air mata mengalir. Isakan tangisnya ia tahan agar tidak menganggu acara haru-biru keluarga tersebut.

"Maaf sebelumnya, tapi kami ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini."

Suara salah satu dari ketiga polisi yang datang bersama sang ayah membuat semua anggota keluarga Fian mengalihkan atensinya seketika. Mereka mencoba fokus dengan penjelasan yang akan dikatakan oleh polisi di depan mereka saat ini.

"Kami ingin memberitahukan, bahwa hukuman Pak Sholeh telah selesai. Kami pihak kepolisian sudah menemukan pelaku sebenarnya. Sang pelaku masih dalam masa interogasi sekarang. Namun tidak mengapa, Pak Sholeh sudah bisa pulang dan kembali berkumpul bersama keluarga."

Penjelasan itu membuat Fian dan seluruh anggota keluarganya tercengang seketika. Benar-benar merasa terkejut dan tidak menduga kalau pelaku sebenarnya dari pelaku pembunuhan itu sudah ditangkap. Bukankah itu artinya, sang ayah sudah bebas?

"Benar, sesuai dugaan Anda sekalian.
Pak Sholeh kami bebaskan, tapi tidak secara penuh. Kami masih tetap akan mengawasinya dari jauh."

"Hiks, saya tidak peduli dengan itu, Pak. Asalkan Ayah saya bisa kembali bersama saya dan keluarga saja, saya sudah sangat bersyukur sekali." Mbak Sajidah berujar di sela-sela tangisnya. Putri sulung di keluarga Fian itu masih memeluk sang ayah dengan Fian dan Sara di samping kanan-kirinya. Ketiganya benar-benar memberikan pelukan erat pada sang ayah. Seolah jika mereka lepas sedikit saja, sang ayah bisa hilang dari pandangan mereka.

"Syukurlah kalau begitu. Kami dari pihak kepolisian mohon maaf dan terima kasih atas kerja samanya selama enam bulan terakhir."

"Kami pamit undur diri, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelahnya, ketiga polisi tersebut pun kembali ke dalam mobil dan pergi diiringi suara sirine yang cukup mengundang perhatian itu. Fian menatap kepergian mobil polisi tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan. Karena sebenarnya, ada hal yang masih mengganjal di otaknya.

Bagaimana dan kapan tepatnya sang pelaku berhasil ditemukan?

Itulah yang ada di pikiran Aldiano Lutfiansyah sekarang. Ia benar-benar penasaran dengan hal itu. Haruskah ia tanyakan kejelasan dan kepastian dari kasus sang ayah pada pihak kepolisian?



Bukankah sudah jelas?
Kamu memang harus mencari tahu kejelasannya, Fian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro