Bagian 15 ⭒࿈⭒ Ekspresif Mengundang Negatif
•
•
•
Pagi menjelang siang. Fitri sekarang masih berada di pasar. Termenung sendirian sembari menunggu pembeli camilan. Ia benar-benar lelah dan ingin pulang sekarang. Mengistirahatkan tubuh di atas ranjang busa merupakan impiannya saat ini.
Namun sampai sekarang, ia belum bisa pulang karena sang ibu masih mengantar kedua adiknya ke madrasah. Ia harus menunggu sang ibu terlebih dahulu kalau ingin menutup toko dan pulang.
"Hah ... Ibu kok lama banget, ya?"
Fitri menopang dagunya sembari menatap lalu-lalang orang pasar dengan malas. Matanya sudah terasa sangat berat, telinganya pengang, pinggangnya pegal, dan rasa lelah lain yang terjadi pada tubuhnya ia rasakan sekarang.
Matahari sudah berada pada titik puncaknya, begitupun Fitri yang sudah berada pada batasnya.
Dengan perasaan lelah dan kesal yang mendominasi, gadis yang masih berusia delapan belas tahun itu segera membereskan dagangannya. Memasukkan semua bungkusan camilan itu etelase dan rak-rak yang berada di dalam toko. Setelahnya segera menyapu lantai toko, matikan lampu, dan menutup rolling door.
Setelah menutup toko, Fitri masih harus meletakkan kuncinya ke rumahnya, rumah sang orang tua. Beruntungnya jarak rumah sang orang tua tidak begitu jauh dari pasar, hanya membutuhkan waktu sekitar dua menit berjalan kaki, maka sampailah. Rumah bercat orange dengan halaman yang cukup luas untuk tempat perkiraan sepeda adalah ciri khas yang paling spesifik dari rumahnya.
Saat memasuki rumah, Fitri tidak mendapati siapapun di dalam. Ia menduga kalau sang ayah pasti tengah berada di rumah teman-temannya untuk membangun relasi seperti biasa. Di rumah tersebut memang hanya tinggal kedua orang tuanya dan kedua sang adik saja sekarang. Karena kakak perempuannya sudah pasti ikut bersama sang suami, bukan?
Sama seperti dirinya.
Ceklek
Fitri membuka pintu kamar kedua orang tuanya dan meletakkan gembok beserta kunci toko di atas meja kecil yang berada di sana. Setelah selesai, ia pun menutup pintunya dan bergegas keluar kamar. Tanpa menunggu waktu lama, ia pun beranjak keluar rumah dan bergegas mengambil sepedanya yang diparkirkan di halaman. Teriknya matahari siang tak membuat keinginan Fitri untuk segera sampai di rumah sang mertua padam. Justru keinginan untuk segera beristirahat di kasurnya lah yang menjadi motivasinya sekarang.
Jadi sebelum itu, ia menitipkan salam pada tetangga sebelah kiri rumah yang bernama Mbak Khurin untuk menyampaikan pesan pada sang ibu kalau tokonya sudah ditutup. Berikut juga kunci dan gembok toko yang sudah ia letakkan di kamar sang ibu. Baru setelah itu ia bisa pulang dengan tenang seperti sekarang.
Mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang ditemani sepoi-sepoi angin dan teriknya sinar matahari siang. Senyuman lembut timbul di bibir Fitriana Ayodya. Membuat siapapun yang tidak sengaja melihatnya jadi merona. Karena senyuman itu membuat lesung pipinya terlihat. Membuat Fitri jadi lebih manis di mata orang-orang.
Memang, tanpa sengaja Fitri selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya karena paras ayunya. Mungkin inilah yang dimaksud Sara Mona tempo hari.
Namun itu bukanlah suatu kesengajaan, Fitri memang seseorang yang pandai mengekspresikan dirinya. Gadis itu akan tersenyum dengan lebar jika merasa bahagia, cemberut dan menangis jika merasa sedih, dan sebagainya. Tidak ada yang ditutup-tutupi seperti kebanyakan orang di luaran sana.
Apa adanya, itulah Fitriana Ayodya.
Semua perasaan dan suasana hatinya akan tergambar jelas di ekspresi wajahnya.
⭒࿈⭒
Setelah lima belas menit lamanya mengayuh sepeda dari pasar, kini Fitri sudah sampai di rumah sang ibu mertua. Terlihat ada Mbak Sajidah dan Maulida yang tengah bermain di teras rumah. Diam-diam Fitri mengembangkan senyumnya saat ini.
"Assalamua'laikum ..."
"Waa'laikumsalam. Tumben lebih awal pulangnya, Fit?" tanya Sajidah setelah Fitri mendudukkan diri di sampingnya. Gadis itu langsung mengambil alih Maulida dari gendongannya.
"Iya nih, Mbak. Nggak tahu kenapa capek banget rasanya. Pegal semua badanku, nyeri."
"Mandi air hangat aja, gih. Biar enakan badannya. Setelah itu makan siang, baru tidur. Kebetulan Mbak habis manasin sayurnya, tuh."
Fitri mengangguk mengerti dan mulai beranjak berdiri. "Kalau gitu Fitri masuk ke dalam dulu, Mbak." Ia kembali memberikan Maulida kepada ibunya. "Keponakan Tante yang paling cantik, Tante masuk ke dalam dulu, ya?"
"Amu emanam ante?"
Fitri terkekeh geli. "Tante mau mandi, terus tidur. Nanti kamu juga harus tidur siang, okey?" Fitri mengacungkan kedua jempolnya saat melihat anggukan polos sang keponakan. Baru setelahnya ia bergegas ke dalam untuk melaksanakan ritual mandi dan segala tetek-bengeknya.
Tidak membutuhkan waktu lama, sepuluh menit juga cukup untuknya mandi. Lalu makan siang pun begitu. Hanya memerlukan waktu sekitar lima menit saja untuk makan, dan satu menit untuk mencuci piring. Setelahnya, Fitri memilih untuk langsung merebahkan dirinya di kamar. Mengurung dirinya dalam kenyamanan ranjang dan selimut.
Bahkan ia tidak sadar kalau sedari tadi, Sara Mona memerhatikan setiap pergerakannya dari balik pintu kamarnya.
⭒࿈⭒
Siang berganti sore, Fitriana Ayodya masih bergelung dalam selimutnya. Bahkan ketika matahari sudah hampir menyembunyikan dirinya di ufuk Barat, Fitri masih tidak terbangun dari tidur nyenyaknya.
Orang rumah memang sengaja tidak membangunkannya atas perintah sang ibu mertua. Alasannya karena Fitri memang membutuhkan istirahat yang cukup. Mengingat perkataan Sajidah yang memberitahu pada sang ibu kalau Fitri tampak begitu kelelahan saat pulang dari pasar tadi.
Jadi untuk urusan masak-memasak pada sore hari itu hanya dikerjakan oleh sang ibu mertua, Sajidah, dan Sara Mona saja. Yah meskipun, Sara memang sempat memprotes sikap sang ibu yang tampak memanjakan Fitri.
Benar, Sara Mona memang sempat memprotes tadi. Gadis itu mengatakan kalau tidak seharusnya Fitri dimanjakan seperti ini. Apalagi Fitri sudah mempunyai tanggung jawab pada sang suami.
Namun namanya juga orang tua, perkataannya tetap tidak bisa dibantah.
Setelah memberi teguran pada Sara Mona, Sajidah pun meminta sang ibu untuk menasihati adik bungsunya tersebut perihal sikapnya tadi. Sudah jelas sang ibu akan menasihati Sara, mengingat perkataannya itu termasuk julid.
Karena dalam keluarga mereka, hal seperti itu sangatlah dilarang. Jika memang tidak suka, akan lebih baik kalau dibicarakan langsung kepada pihaknya secara baik-baik, dan tentunya harus saling memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Namun Sara Mona tetap tidak bisa menerimanya. Karena menurut penglihatannya, Fitri jadi dimanja oleh sang ibu dan Mbak Sajidah. Takutnya nanti malah Fitri akan semakin seenaknya di rumah ini.
Itu yang ada di pikiran Sara Mona sekarang.
"Tetap saja dia jadi dimanja," sungut gadis yang tengah mengulek sambal tersebut. Ia benar-benar masih tidak terima akan sikap ibunya dan kakaknya yang terlihat begitu menggampangkan hal ini.
"Terserahlah, aku benci memikirkannya."
•
•
•
Ya ampun, Sara. Sikap iri kamu itu sebenarnya dari mana, sih? Sampai tidak paham sendiri aku ಥ⌣ಥ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro