Bagian 14 ⭒࿈⭒ Pagi Tanpa Fitri
•
•
•
Keesokan harinya, Fitri harus kembali ke pasar karena sang ibu yang memintanya untuk membantu jualan. Ia harus berangkat pagi-pagi sekali sampai tidak bisa berangkat bersama Fian yang memang masuk kerja agak siang. Jadilah Fian harus menyiapkan keperluannya sendiri saat ini. Pakaian, tas kerja, bekal makan, dan lain-lainnya.
Namun tiba-tiba, ada Sara Mona─sang adik─yang membantunya. Entah darimana sang adik tahu kalau ia membutuhkan bantuan, padahal tadi ia sempat melihat kalau sang adik masih tertidur di dalam kamarnya.
"Mas! Sara bantuin, ya!"
Kalimat itulah yang pertama kali Sara ucapkan ketika sang adik tanpa sengaja melewati kamarnya dan melihat dirinya tampak kesusahan menyiapkan beberapa keperluan. Dengan senyuman tipis, Fian menyetujui permintaan Sara dan memutuskan untuk melakukan hal lain sembari sang adik membantunya.
"Mbak Fitri mana? Kok Mas malah repot sendiri yang mau kerja," celetuk Sara sembari memasukkan wadah bekal Fian ke dalam tasnya.
Helaan napas keluar dari bibir Aldiano Lutfiansyah. "Fitri pergi ke pasar pagi-pagi tadi. Disuruh Ibu bantu jualan, Sabtu gini pasar pasti ramai."
"Gimana, sih? Kan ada si Mufidah juga, Mas. Kenapa juga Tante Anetta harus nyuruh Mbak Fitri terus, 'kan dia juga tahu kalau Mbak Fitri sudah bersuami. Punya tanggung jawab baru, malah disuruh-suruh."
Fian tersenyum mendengar omelan adiknya. Sara memang ada benarnya, tapi namanya juga anak. Mana bisa melawan perintah orang tua, yang ada berdosa. Lagipula, ia berusaha memakluminya. Fitri lebih cekatan daripada Mufidah, mungkin hal itulah yang membuat sang ibu mertua lebih mempercayai tokonya ke sang istri.
"Jangan gitu, Dek. Semua itu pasti ada alasannya, toh? Kita hanya tinggal percaya dan sabar." Fian berujar sembari merapikan pakaian gantinya dan memasukkannya ke dalam tas kerja. "Lagipula Mas juga tidak apa-apa. Hanya sedikit kerepotan sedikit karena biasanya Fitri yang bantu siapin. Toh, sekarang ada kamu yang bantuin Mas, 'kan?"
Ucapan Fian membuat pipi Sara Mona memerah, dan tentunya itu tidak disadari oleh Fian.
Astaga! Kenapa jantungku jadi berdetak cepat begini?! Jangan bilang kalau aku suka sama Mas Fian?! Nggak! Ini kayaknya cuma rasa kagum aja deh. Iya, pasti cuma rasa kagum.
Sara menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran yang sempat melintas di kepalanya tersebut. Akan tetapi, ia benar-benar merasakan hal itu tadi. Wajahnya yang tiba-tiba memanas dan jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang walau sesaat.
"Eum, Mas! Ada lagi yang bisa Sara bantu?"
"Sepertinya tidak, Mas juga harus segera berangkat setelah ini." Fian memanggul tas ranselnya di punggung dan bercermin sebentar. Membenarkan penampilan, lantas tersenyum tipis sebagai penyempurna. "Bilang sama Mbak Jidah dan Ibu, Mas mungkin pulang agak malam. Soalnya akan lembur hari ini."
Sara Mona mengangguk mengerti. "Iya, nanti Sara bilangin." Gadis yang selalu mencepol rambutnya itu langsung mengikuti sang kakak laki-laki ke depan rumah. Ikut mengantar keberangkatan Fian yang akan pergi bekerja ke pabrik seperti biasa. "Hati-hati ya, Mas!" serunya sembari melambaikan tangan. Tak lupa senyuman manis yang tersungging di bibirnya.
"Iya! Terima kasih sudah bantu Mas siap-siap ya, Dek!" balas Fian yang sudah duduk di atas sepedanya.
Sara mengangguk dengan semangat. Tangannya masih melambai, bahkan setelah sang kakak laki-laki sudah mengayuh sepedanya melewati tikungan jalan.
Pabrik tempat bekerja Fian memang sedikit jauh dari rumah, dan di saat itu hanya ada sepeda yang bisa digunakannya. Mengingat motor yang sangat mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang berada saja. Rasanya dengan memiliki sepeda saja sudah cukup baginya. Toh, otot-otot kakinya juga masih kuat meski dibuat mengayuh sepeda sekian kilometer jauhnya.
Disepanjang perjalanan, Fian tak henti-hentinya kepikiran soal masalah bosnya di pabrik. Kemarin sang bos meminta dirinya untuk ikut bertemu klien yang akan bekerja sama dengan pabrik rokok tempatnya bekerja. Dalam hati ia merasa begitu penasaran, kenapa ia diajak turut serta dalam pertemuan sepenting ini?
Ia jadi merasa sedikit berbangga diri dan berpikir positif kalau sang bos akan menaikkan jabatannya. Jikalau benar akan sangat menguntungkan baginya bukan? Selain jabatannya naik, gajinya pun juga akan ikut naik, dan tentu itu akan sangat membantu perekonomian keluarganya.
Kring kring
"Wah! Pak Jono sudah semangat aja jaga gerbangnya, Pak!" seru Fian sesaat setelah sampai di depan gerbang pabrik tempatnya bekerja. Ia menyapa Pak Jono, satpam yang bertugas menjaga gerbang di sana.
"Eh, Dek Fian. Iya nih, Bapak sedang bersemangat karena anak bungsu bapak sudah bisa berjalan dengan lancar, hahaha." Pria yang sudah berkepala empat itu tertawa ringan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ohh! Anak bungsu Bapak yang baru berusia 1,5 tahun itu? Wah! Selamat ya, Pak! Ikut bahagia nih saya." Cengiran lebar Fian tunjukkan, menampilkan deretan gigi putihnya yang membuat laki-laki itu semakin terlihat tampan.
"Iya, istri Bapak sangat antusias kemarin. Senang saja rasanya melihat perkembangan anak sendiri bisa secepat itu," ujar Pak Jono. "Kamu sendiri kapan mau punya momongan nih?" lanjut Pak Jono sembari menaik-turunkan alisnya menggoda Fian.
Aldiano Lutfiansyah tertawa canggung. "Hahaha, entahlah Pak. Istri saya saja masih perawan, dia belum siap katanya." Dapat Fian lihat tatapan kaget yang dilayangkan Pak Jono padanya.
"Lohh? Istrimu masih perawan?"
Fian menganggukkan kepalanya.
"Kok bisa? Kamu tidak tertarik untuk menyentuhnya atau bagaimana?"
Blush
"Eh! Bukan begitu, Pak!" Fian menggeleng sembari mengibas-ibaskan tangannya. "Istri saya yang belum siap. Saya hanya ingin menghormati keputusannya, dan menunggu sampai dia siap secara lahir batin. Saya benar-benar tidak ingin memaksakan kehendak saya sendiri." Fian menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Lagipula, istri saya itu sangat cantik. Dia juga seorang kembang desa. Saya juga sudah menikahinya, 'kan? Jadi mana mungkin saya tidak tertarik dengannya, Pak."
Pak Jono mengelus dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis, tampak sedang berpikir dan berusaha memahami. "Hmm, begitu ya. Jadi hanya masalah kesiapan saja? Kalau itu sih, kamu yang harus sabar menunggu Fian."
"Saya pun berpikir demikian, Pak. Kalau begitu, saya izin masuk dulu ya, Pak? Takut terlambat. Bisa-bisa dihukum saya nanti," ujar Fian disertai tawa kecilnya.
Pak Jono jadi ikut tertawa melihat salah satu karyawan yang memang dikenal sangat ramah dan tampan di pabrik itu. Sang bapak pun hanya mengiyakan dan membuka pintu pagar sedikit lebih lebar agar Fian bisa memasukkan sepedanya ke dalam. Setelahnya, hanya seruan terima kasih dan sama-sama yang terdengar dari dua lelaki berbeda usia tersebut. Baik Fian dan Pak Jono kembali ke aktifitasnya masing-masing.
•
•
•
Jangan heran guys, si Fian memang seramah dan setampan itu kok. Terlepas dari wajahnya yang tegas, dan terlihat seram.
ヽ(*⌒∇⌒*)ノ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro