Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 12 ⭒࿈⭒ Sara E Lara



Pagi menjelang siang.

Sara Mona saat ini tengah berada di dapur. Memasak makan siang beserta buku resep di tangan. Gadis itu hanya sendiri, tanpa ditemani seorangpun kini. Ratap matanya menatap penuh pada air yang mendidih. Ia hendak membuat sayur lodeh. Mungkin akan ia tambah tempe penyet dan sambal terasi sebagai pelengkap.

Buku resep di tangan Sara Mona sudah semakin lusuh kelihatannya. Kertasnya juga mulai menguning. Namun isi dan tulisan di dalamnya masih terjaga. Namanya juga buku resep, pastilah isinya adalah resep-resep makanan. Sara menulisnya sendiri, ada yang mengambil dari beberapa buku, ada juga yang berasal dari resep sang ibu.

Ibunya itu sangat pandai dalam bidang masak-memasak. Semua hal pasti bisa dimasaknya. Mulai dari yang tradisional, sampai yang kekinian. Sara banyak belajar dari sang ibu. Mbak Sajidah juga banyak belajar dari sang ibu. Namun Mbak Sajidah tidak sefanatik dan sepelupa dirinya sampai menuliskan setiap resep pada buku catatan kecil seperti ini. Karena sang kakak cukup bertanya pada sang ibu apabila dia lupa resepnya. Sangat berbeda sekali dengannya.

"Hm, lodeh sudah. Tempenya juga sudah, tinggal sambal terasinya." Sara Mona bergumam sembari memeriksa satu per satu hidangan yang sudah dimasaknya. Ia bergegas mengambil cobek beserta ulekannya, dan memasukkan beberapa rempah-rempah yang dibutuhkannya untuk membuat sambal terasi.

Setelah merasa semua bahan sudah didapatkannya, segera saja Sara mengulek semua bahan tersebut dengan telaten. Saking fokusnya, ia sampai tidak menyadari kalau sang kakak ipar sudah berdiri di sampingnya dengan segelas air bening di tangan.

"Sara, boleh Kakak membantu?"

Tak

Tanpa sadar Sara Mona menekan ulekan pada cobeknya terlalu keras hingga menimbulkan suara nyaring yang cukup memekakkan telinga. Tatapan tajam Sara layangkan pada sang kakak ipar, Fitriana Ayodya.

"Aku tidak perlu bantuanmu."

Deg

Fitri dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak beberapa saat yang lalu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak sekarang. "Sara, kenapa?"

"Ck! Bisa tidak kau berhenti melakukan itu?!"

Fitri mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan maksud pertanyaan sang adik ipar. "Maksudnya? Aku tidak mengerti maksudmu."

"Berhenti bertingkah sok polos dan sok baik, Fitri! Aku jijik dengan tingkahmu itu!" sentak Sara. Gadis berusia 18 tahun dengan rambut dicepol itu tampak begitu kesal sekarang. Wajahnya bahkan sudah memerah.

"Aku sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataanmu, Sara."

"Kau selalu saja cari perhatian semua orang dengan sikap sok polosmu itu! Kau selalu saja menarik di mata orang-orang! Sedangkan aku?! Aku bahkan enggan bertingkah sok polos sepertimu itu!"

Baik, Fitri sudah mengerti sekarang. Sara merasa kalau perhatian orang-orang hanya tertuju padanya. Padahal ia tidak merasa demikian, ia merasa biasa saja. Interaksi dengan orang-orang pun adalah hal biasa yang memang sering dilakukannya. Ia hanya suka bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Lantas kenapa Sara Mona malah berpikir kalau ia mencari perhatian?

"Dengar Sara, aku sama sekali tidak mencari perhatian pada siapapun. Aku juga tidak bertingkah sok polos. Aku tidak tahu kenapa kamu berpikir demikian, tapi yang jelas ... inilah aku. Beginilah diriku." Fitri menghela napasnya sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku sungguh tidak mengerti kenapa kamu sebegitu tidak sukanya dengan semua hal kulakukan. Sepertinya semua hal yang kulakukan itu salah menurut pandanganmu. Aku sungguh tidak mengerti."

"Diam! Kau tidak perlu membela diri, Fitri! Yang jelas aku tidak menyukaimu! Aku tidak rela Mas Fian menikah sama gadis yang seumuran denganku, terutama kamu!" pekik Sara Mona dengan napas yang sudah naik-turun karena amarahnya meledak-ledak.

Sajidah yang berada di dalam kamar jelas terkejut kala mendengar suara sang adik berteriak. Karena sungguh, teriakan Sara Mona sampai ke kamarnya saat ini. Akhirnya ia pun bergegas keluar dan mendapati adik dan adik iparnya tengah beradu mulut. Lebih tepatnya tengah memperdebatkan suatu hal. Sara dengan wajah memerah dan sebuah ulekan di tangan kanan, lalu Fitri dengan segelas air bening di tangan kirinya.

"Ada apa ini?"

Fitri dan Sara Mona menoleh secara serempak. Dapat Sajidah lihat raut keterkejutan di wajah keduanya. Membuat ia kian memicingkan matanya, merasa curiga.

"Nggak ada apa-apa kok, Mbak." Fitri yang merasa bertanggung jawab akhirnya menyahut, menjawab pertanyaan Sajidah dengan sebuah alibi yang biasa dilakukan orang-orang ketika ketahuan atau kepergok melakukan sesuatu.

Sajidah tentunya tidak percaya begitu saja. Ia menatap sang adik dengan penuh intimidasi. "Sara, benar apa yang dikatakan Fitri?" tanyanya kemudian. Sajidah semakin memicingkan matanya kala Sara Mona mengangguk, membenarkan perkataan Fitri sebelumnya. Akan tetapi, ia pun tidak bisa memaksa mereka untuk bicara. Mungkin memang benar kata Fitri, bahwa tidak ada apapun yang terjadi antara dia dan Sara Mona.

"Ya sudah kalau begitu. Mbak mau nyuci mangkuk bekas makannya Maulida," tutur Sajidah sembari berjalan melewati tempat Fitri dan Sara Mona menuju bagian ujung dapur, di mana tempat cuci piring berada di sana.

Kedua gadis berusia 18 tahun itu hanya terdiam tanpa suara. Sara memilih melanjutkan kegiatan mengulek sambalnya, sementara Fitri langsung meletakkan gelas yang berisi air bening itu di atas meja. Memilih meninggalkan dapur setelahnya, kembali ke teras rumah untuk bermain bersama sang keponakan tersayang.

Dilihatnya sang keponakan tengah bermain sendirian bersama boneka lebah yang dulu pernah dibelikannya khusus untuk Maulida. Boneka itu tidaklah besar, ukurannya terbilang sedang-sedang saja. Bahkan masih lebih besar ukuran tubuh balita yang baru genap satu tahun tersebut.

"Maulidaaa. Keponakan Tante yang cantik ini kok sendirian saja, hm?"

Fitri terkekeh kala balita itu menyunggingkan senyum hingga kedua pipi gembulnya terangkat. Spontan saja Fitri langsung mengangkat keponakannya itu dalam gendongan. Melesakkan wajahnya pada perut kecil balita tersebut dan mengecupi pipi Maulida dengan gemas. Tawa riang Maulida semakin membuat Fitri gemas dengan keponakannya itu. Ia jadi teringat tentang pembicaraannya dengan Mbak Sajidah tadi.

Soal keinginan memiliki anak.

"Sepertinya, aku memang harus membicarakannya pada Fian nanti."

Fitri menatap Maulida yang berada dalam gendongannya. Senyuman tipis tercipta di bibir, lantas ia menggendong sang keponakan dan membawanya ke dalam. Mengingat hari yang semakin siang, matahari pun juga semakin panas. Jadilah ia membawa Maulida ke dalam.

Lagipula, ia juga butuh sedikit latihan untuk membicarakan keinginannya pada sang suami nanti. Kalau tidak berlatih, bisa-bisa ia akan gugup setengah mati dan lagi-lagi akan memendam rasa gelisahnya sendiri. Tentunya ia tidak ingin hal itu terjadi. Bagaimanapun, ia harus membicarakannya dengan Fian malam ini juga.

Benar, aku harus membicarakannya malam ini juga.



Semangat, Fitri! You can do it!
(≧∇≦)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro