Chapter 21 : Kenyataan yang Terpendam
Mentari mulai menampakkan sinarnya dan pepohonan menghalau sinar sang surya agar tidak terlalu panas bagi makhluk hidup lainnya. Burung-burung pun berterimakasih atas perlakuan sang pohon.
Diantara pepohonan, seorang gadis kecil tengah berlari mengejar kupu-kupu yang sangat indah. Ia tertawa dengan riangnya dan tak lama kemudian ia terjatuh.
"Hiks ...." Rasa perih mulai menjalar dari lututnya yang terluka. Darah pun perlahan mulai keluar dari lutut gadis kecil itu.
"Hei, mengapa kau menangis?"
Seorang pria kecil berambut merah dengan siluet putih mendekatinya secara perlahan.
"Natsume ... hiks," panggil gadis kecil itu dengan tangan mungilnya memegang lututnya yang terluka.
"Astaga, (Name). Mengapa kau bisa berakhir seperti ini," ucap Natsume dengan wajah khawatir.
"Sakit, Natsume ... hiks ...."
Natsume tersenyum lembut. "Tenanglah, (Name). Aku bisa menyembuhkanmu, asalkan kau jangan beritahu ini pada Mama. Oke?"
Gadis kecil itu mengangguk dan menghapus air matanya, "Apa akan perih?"
"Tidak, ini tidak akan perih. Hanya sebentar saja."
(Name) tampak ketakutan. Tetapi ia juga sangat mempercayai pria yang telah menjadi teman mainnya selama ini.
Natsume menjulurkan tangannya ke arah luka, "Sanatio!"
(Name) menutup matanya rapat-rapat dan bersiap untuk rasa sakit yang luar biasa. Namun anehnya, ia tidak merasakan apapun.
"(Name), tidak ada yang perlu kau takutkan. Lihatlah, lukamu sudah tertutup," ucap Natsume dengan bangga.
Secara perlahan, (Name) membuka matanya dan melihat jika tidak ada lagi luka di lututnya. Bahkan kakinya pun sudah tidak terasa sakit.
"Wah ... terimakasih, Natsume!" (Name) memeluk Natsume erat.
Natsume membalas pelukan gadis kecil itu, "Tapi, jangan katakan ini pada Mama atau aku tidak bisa membantumu lagi."
"Um! Janji," ucap (Name) dengan senyuman lebar di wajahnya.
Semua ingatan indah itu masih (Name) ingat dengan jelas. Sayangnya, semuanya telah hilang.
Semenjak mengenal Sakuma bersaudara dan Eichi, Natsume menjadi lebih sensitif serta overprotektif. Banyak hal yang tidak boleh ia lakukan kecuali menghabiskan waktu bersama dengannya.
(Name) tersenyum kecut. Ia baru menyadari semuanya setelah ia meninggalkan Natsume begitu saja hanya untuk menuruti keegoisan hatinya.
Ia pun sempat bertanya-tanya, mengapa harus terjatuh untuk menyadari jika jalan yang diambil merupakan suatu bencana?
Apakah dunia harus sekejam itu padanya agar ia bisa melihat suatu makna dari tiap ucapan sahabatnya?
Dan kini, telah tiga bulan lamanya Natsume menghilang. (Name) sudah mencoba menghubungi rekan kerja mereka dahulu, dan jawaban yang ia terima menyatakan jika Natsume sudah resign sehari setelah kepergiannya dari Amerika.
(Name) semakin kebingungan. Ponsel Natsume tidak aktif, begitu juga dengan akun sosial medianya.
'Natsume, dimana kau sebenarnya?' pikir (Name).
"Ojou-chan, apa kau melamun?" tanya Rei yang tampak sangat rapi.
(Name) bergeleng singkat, "Tidak. Aku hanya memperhatikan suasana disini. Sangat nyaman dan sejuk."
Rei berdiri disebelah (Name). Ia menatap arah yang sedang (Name) tatap.
"Ojou-chan, kau bisa ceritakan semuanya kepadaku jika kau tidak berani cerita pada Ritsu," bujuk Rei yang sejatinya telah bisa menebak apa yang gadis itu pikirkan.
"Terimakasih, Rei. Tapi, aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat, aku masih sehat," elak (Name).
"Benar begitu? Aku rasa hatimu mengatakan hal yang sebaliknya."
Apa yang seringkali Koga ucapkan memanglah benar. Tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dihadapan vampir. Beberapa dari mereka bisa membaca suatu kebohongan dari detak jantung saja, utamanya pada Rei.
"Rei,aku tidak bisa menghubungi Natsume. Apa kau tahu apa yang terjadi dengannya?" tanya (Name) yang langsung pada intinya.
Rei sedikit tersenyum. Namun, apa dia benar-benar tersenyum disaat kekasih dari adiknya merasa kehilangan sahabatnya?
"Natsume-kun? Ojou-chan tidak perlu khawatir. Ia hanya sedang butuh waktu dalam menerima kepergian mu," jawab Rei.
"Menurutmu, Natsume marah padaku?"
"Aku rasa Natsume belum mengatakan ini. Tapi kau memang penasaran, aku akan mengatakannya sebagai seorang kakak."
(Name) mendengarkan secara serius dan bersiap untuk kemungkinan yang terjadi. Jika pun hal baik, ia akan dengan senang hati menerimanya. Jika hal buruk, percayalah ia akan menganggap jikalau hal itu tidak pernah ada.
"Selain salah satu saudara, Natsume bergabung dalam organisasi yang aku bentuk," jelas Rei.
"Organisasi?"
"Gokijin, itulah julukan kami. Dan salah satu anggotanya adalah Natsume."
"Natsume?" tanya (Name) dengan tatapan tidak percaya.
"Benar. Gokijin terdiri dari tiga penyihir, satu vampir, dan satu demon air dengan tujuan untuk menghancurkan Eichi."
"Tiga penyihir dan Natsume tergabung dalamnya?" tanya (Name) yang terkesan meyakinkan dirinya jika Natsume memang terlibat.
Rei hanya tersenyum samar. Dan (Name) semakin tidak percaya. Ia sedikit mendorong serta memaksa Rei untuk menatapnya, "Rei, katakan jika itu tidak benar!"
"Sayangnya itu benar," jawab Ritsu yang memang sedari tadi menguping pembicaraan kekasihnya dengan Rei.
"Ritsu?" panggil (Name).
"Kami kehilangan jejak Natsume. Terakhir kali, ia menjadi kambing hitam untuk mengalihkan perhatian Demon jika kau sudah kembali kemari," jelas Ritsu.
"Tapi, aku bertemu dengan Eichi waktu itu," ucap (Name) yang semakin tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
"Orang itu yang tiba-tiba membuat pergerakan sangat hebat dan membuat Natsume menjadi buronan Demon hingga saat ini," ucap Ritsu sembari menunjuk Rei.
(Name) menatap Rei dengan tatapan terkejut. Hatinya pun sempat berpikir, setega itukah Rei pada saudaranya?
"Rei ...," lirih (Name).
Rei hanya diam. Wajahnya sangat santai, seolah-olah ia tidak membuat kesalahan besar.
"Rei, katakan! Katakan, apa yang sebenarnya terjadi!" titah (Name).
Tampaknya, Rei benar-benar tidak ingin mengatakannya. (Name) menatap Ritsu pun tidak ada gunanya.
(Name) yang sudah terlanjur sakit hati pun memutuskan kembali ke kamarnya. Ia mengemasi semua barang-barang yang ia bawa dalam koper kesayangannya.
"(Name)," panggil Ritsu yang sama sekali tak diindahkan oleh sang pemilik nama.
"(Name)," ulangnya.
Ritsu diam sejenak. Ia memperhatikan (Name) yang terus-menerus mengabaikan atensi dirinya.
Hingga akhirnya, Ritsu menarik tangan (Name) dan memaksa gadis itu jatuh dalam pelukannya. Penolakan sempat terjadi, namun akhirnya (Name) menangis dalam pelukan Ritsu.
"Maaf," lirih Ritsu.
(Name) hanya menangis saat mendengar bisikan itu. Tetap saja, permintaan maaf tidak bisa menampik fakta jika sahabatnya telah menjadi korban atas taktik sang vampir.
"(Name), kami melakukan ini untuk melindungimu. Eichi, Tori, dan teman-teman Demon nya sedang mengincar kematianmu," jelas Ritsu secara perlahan.
Dan lagi, (Name) tidak mau mendengarnya. Rasanya, ia lebih baik memilih mati jika dibandingkan harus kehilangan sahabatnya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro