Chapter 20 : Sweet Dreams
Mentari telah berganti tugas dengan sang rembulan. Sayup-sayup, sinar rembulan memberikan makna tentang indahnya ketenangan dalam kehidupan.
Namun, hati (Name) sama sekali tidak tenang. Semenjak ia meninggalkan Natsume beberapa jam yang lalu, ia merasa khawatir dengan sahabat masa kecilnya.
Berulangkali ia membuka ponsel dengan harapan mendapatkan kabar dari Natsume, namun hasilnya nihil. Natsume tidak memberinya kabar sama sekali.
Bahkan Ritsu yang memintanya kembali ke Jepang pun tidak muncul. Padahal, (Name) sudah menuruti keinginannya untuk tinggal bersama keluarganya untuk sementara waktu.
'Mungkin, inilah alasan Natsume sangat memperhatikanku,' pikir (Name) dengan wajah lesu.
"Oi, apa wajah itu yang kau tunjukkan setelah memilih para vampir?"
(Name) kenal suara itu. Ia langsung memasang ekspresi bersalah.
"Tsk! Bukan saatnya kau merasa bersalah," ucap Koga dan mulai memasuki kamar (Name) lalu duduk pada sofa yang telah disediakan.
Mungkin, apa yang Koga katakan memang ada benarnya. Sudah terlambat untuk merasa bersalah, karena yang ia hadapi saat ini sudah menjadi resiko dari apa yang ia pilih.
(Name) memilih untuk pergi dari sisi Natsume. Dan inilah yang ia terima. Termenung seorang diri tanpa ada yang menghibur atau mengajaknya bicara sedikitpun.
"Oi, jangan lupa jika aku masih ada disini," ucap Koga.
"Ritsu, apa dia belum kembali?" lirih (Name).
"Jika kau tanya Ritsu ataupun Rei, aku tidak tahu apapun tentang mereka. Mereka selalu berkeliaran sesuka hati," jawab Koga.
(Name) semakin tidak tenang mendengar jawaban itu. Pikirannya mulai berpikir yang tidak-tidak dengan Rei dan Ritsu.
Koga perlahan tersenyum, "Percuma saja jika kau menaruh rasa khawatir pada mereka."
(Name) menatap Koga dengan tatapan bingung. Ia sempat berpikir jika mengkhawatirkan seseorang merupakan hal yang wajar bagi seorang manusia seperti dirinya.
"Manusia sepertimu butuh ribuan tahun lamanya untuk mengkhawatirkan makhluk abadi sepertinya. Walaupun aku tahu itu hal wajar untuk manusia," jelasnya.
(Name) tersenyum lembut, "Manusia tidak akan berumur sepanjang itu. Aku juga yakin kau tahu hal umum itu."
"Memang. Terkadang untuk kaum vampir dan demon yang bisa hidup hingga berabad-abad lamanya, mencintai manusia adalah suatu kesalahan. Mereka akan terus tersiksa dengan kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Atau lebih buruknya, hidup abadi adalah sebuah kutukan bagi mereka," sahut Koga.
(Name) terdiam sejenak. Namun, sebuah pertanyaan pun terpintas dipikirannya.
"Koga, bagaimana kau bisa berakhir menuruti aturan vampir? Biasanya ... biasanya kaummu bermusuhan dengan vampir, bukan?" tanya (Name) dengan wajah polos.
"Tch, sudah aku duga jika pertanyaan itu akan muncul," ucap Koga.
"Hahaha, maaf," ucap (Name) dengan lembutnya.
"Tidak sepenuhnya kami patuh pada vampir. Kami hanya memberikan batasan pada mereka untuk tidak menyentuh manusia," jawab Koga.
"Itulah kenap kau sangat menakutkan waktu itu?" tanya (Name) yang masih mengingat jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan Koga.
"Salah satunya begitu," ucap Koga dengan tenangnya.
(Name) mengangguk paham. Meski ia masih memiliki pertanyaan, sejatinya ia sangat ragu untuk menyampaikannya.
"Tidurlah, ini sudah larut," ucap Koga.
"Bagaimana denganmu?" tanya (Name).
"Cih, tidur saja. Aku akan disini hingga salah satu vampir itu datang," ucap Koga.
(Name) tidak bertanya lagi. Tubuhnya memang sudah terasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Bahkan pikirannya pun tidak kalah lelah karena memikirkan kedua pria yang berpengaruh dalam hidupnya.
*****
(Name) tertidur cukup lama. Ia pun terbangun karena tenggorokannya terasa sangat kering.
Sejenak, matanya mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Dan saat beralih ke jendela, ia mendapati sosok yang telah lama meninggalkannya.
Kekasihnya tengah duduk di jendela kamarnya. Kulitnya yang pucat semakin indah saat sinar rembulan memfokuskan cahaya hanya untuk kekasihnya.
"Ada yang bisa aku bantu, (Name)?" Ritsu menutup bukunya dan berjalan perlahan menuju kekasihnya yang baru saja bangun tidur.
Ritsu mengelus pipi (Name) secara perlahan. Dingin, itulah yang selalu (Name) rasakan saat Ritsu menyentuhnya.
"Air," lirih (Name).
Ritsu beranjak dari kamarnya dan kembali dengan segelas air mineral. (Name) meminumnya hingga puas lalu mengucapkan terimakasih pada Ritsu.
"(Name) ...."
"Ritsu ...."
Mereka berbicara secara bersamaan. Pada akhirnya, Ritsu mempersilakan kekasihnya untuk bicara terlebih dahulu.
"Ritsu, kau kemana saja? Apa kau memintaku kembali kemari hanya agar aku menyendiri disini?" tanya (Name) tanpa menatap Ritsu sedikitpun.
Ritsu tersenyum simpul. Ia naik ke ranjang kekasihnya lalu mendekap kekasihnya dalam pelukannya.
(Name) tidak berkutik. Ia mempercayakan semuanya pada Ritsu. Saat Ritsu mendekapnya, ia dapat mendengar irama detak jantung Ritsu yang terdengar seperti lagu pengantar tidur untuknya.
Ritsu mengelus rambut (Name) secara perlahan-lahan yang membuat rasa kantuk (Name) semakin tidak bisa ditahan lagi. Bahkan, ia juga lupa dengan pertanyaan yang sempat ia ajukan dan secara perlahan, ia pun kembali ke dunia mimpi.
"(Name), jika kau tahu ini, aku hanya tidak ingin membuatmu lebih khawatir. Demon mulai bergerak mencarimu," ucap Ritsu saat (Name) sudah benar-benar pergi ke alam mimpi.
"Aku tidak bisa membiarkanmu diburu oleh predator sepertinya."
Ritsu tersenyum hampa, "Sangat lucu jika predator sepertiku mengatakan jika demon seorang predator. Namun yang harus kau ketahui, aku akan melindungimu apapun caranya. Rei, Natsume dan para sekutu ku juga akan melakukan hal yang sama. Kami akan melindungimu, Love."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro