Chapter 1 : Sebuah Kisah
Langit tampak sedih pagi ini. Sinar mentari enggan menyapa bumi. Hanya ada angin yang menerpa dan senantiasa menemani makhluk hidup yang ada di bumi.
Petir menggelegar mengisi keheningan. Pohon-pohon tampak ketakutan. Burung-burung beterbangan ke rumahnya.
Akankah ini menjadi akhir buruk?
Tidak lama kemudian, hujan deras mengguyur bumi. Angkasa mulai membagi kesedihannya pada makhluk hidup di bumi.
Sebuah helaan nafas muncul dari seorang gadis yang tengah menatap hujan yang nyaris membasahi seluruh pakaiannya. Ia tampak kesal akan hal itu dan yang hanya bisa ia lakukan saat ini adalah berteduh di toko yang tidak buka.
Mengesalkan, bukan? Tetapi, sesaat kemudian ia melihat sepasang sepatu di hadapannya membuatnya menengadah, melihat orang yang berdiri di hadapannya.
Seorang pria dengan jas dan payung hitam tengah menatapnya tajam.
"Um ... permisi?" Gadis itu mencoba mencari maksud dari pria dihadapannya. Pria itu hanya tersenyum.
"Kyaaaa!!!"
Teriakan pada gadis di kantin membuat cerita itu harus berhenti. Sang pencerita pun hanya bisa menopang dagu saat melihat hal yang sudah tidak mengherankan untuknya.
"Siapa mereka?" tanya seorang gadis bersurai (hair color) dengan tatapan polos. Pria dihadapannya hanya menghela nafas jengah, "Sakuma bersaudara. Aku dengar, mereka baru saja pulang dari Perancis."
"Sakuma?" Gadis itu menatap kedua pria bersurai hitam dengan manik merah yang tengah melintasi gerombolan para wanita yang mengagumi mereka.
Tanpa sadar, tatapan itu membuat salah seorang pria dari marga Sakuma menatapnya dengan sebuah senyuman yang cenderung tampak seperti seringaian.
"Hei, (Name). Jangan menatapnya seperti itu," ucap pria dihadapannya yang membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya.
(Last Name) (Name) adalah nama gadis yang sedang mendengarkan cerita sebelumnya. Ia dikenal sebagai gadis polos dan sederhana. Tidak ada yang menarik darinya.
"Eh? Apa?" ucap (Name) yang membuat pria dihadapannya menghela nafas, "Jangan menatapnya seperti itu."
(Name) hanya tertawa kecil melihat temannya bertingkah seperti anak kecil yang telah direbut mainannya oleh anak lain. Ide pun terpintas dari pikiran (Name).
"Baiklah, Tuan Sakasaki Natsume. Jadi, aku harus menatapnya seperti apa agar kau tidak marah seperti itu?"
"Kau tahu, jadwal selanjutnya adalah musik. Usahakan untuk jaga jarak dari mereka sebisa mungkin."
"Eh? Kenapa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Natsume-kun, aku tidak akan menjauhi orang. Ibuku selalu mengajarkanku untuk berteman pada siapapun."
"Maka dari itu, Ibumu menitipkan dirimu padaku," balas Natsume yang membuat lawan bicaranya mengerucutkan bibir. Lucu, bukan?
Bagi kebanyakan pria, (Name) memang tidak menarik. Tetapi hal itu justru lain bagi seorang Sakasaki Natsume. Pria ini sudah sangat lama mengenal (Name). Mungkin, sejak dari embrio pun Natsume sudah mengenalnya.
"Jadi, bagaimana terusan ceritanya?" ucap (Name) yang masih penasaran akan cerita yang sempat terpotong teriakan itu.
"Hmmm, mungkin lain kali akan aku sambung."
"Lain ...."
Bel sekolah memotong ucapan (Name). Buru-buru, (Name) menghabiskan makan siangnya dan pergi ke ruang musik setelah berpamitan dengan Natsume.
"Jangan lupa pesanku, (Name)."
"Iya-iya, Natsume-chan," balas (Name) yang membuat Natsume geram dan akan memberikannya cahaya ilahi jikalau (Name) tidak memiliki jadwal mata kuliah setelah bel ini.
*****
Ruang musik masih tampak sepi. Beberapa alat musik yang terbuat dari logam pun tampak dingin tanpa adanya kehangatan dari manusia.
(Name) yang sengaja tiba lebih awal, memilih untuk mengambil biola dan mengecek keseimbangan senarnya agar suara yang dihasilkan tidak sumbang. Setelah ia rasa baik, ia memainkan biola itu perlahan.
Gesekan antara senar dan busurnya menghasilkan sebuah nada yang indah. Penghayatan pun ia tambahkan dan menjadi alunan melodi.
(Name) menutup mata, membiarkan semuanya tercurahkan dalam melodi yang ia buat. Tetapi, yang ada pada ingatannya hanya seorang pria bermanik merah dengan rambut hitam pendek yang membalas tatapan matanya.
Entah berapa lama ia bermain, rasanya ia belum cukup puas. Namun, mau tidak mau, ia harus mengakhirinya untuk perkuliahan hari ini.
Saat melodi terakhir berhasil ia tampilkan, suara tepuk tangan saling bersahut-sahutan. Teriakan riang teman-temannya pun terdengar dan seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan penuh senyuman.
"Itu tadi indah, (Last Name)-san. Sekarang duduklah, kita akan mulai kelasnya," ucap sang guru.
"Baik," jawab (Name) dan saat hendak mengembalikan biolanya, manik (Name) kembali berpapasan dengan manik pria bermarga Sakuma itu.
(Name) hanya mengulas senyuman, lalu ia beranjak dan mengembalikan biola yang ia genggam dan kembali ke tempat duduknya untuk fokus pada pelajaran hari ini.
*****
Sore ini, sesudah kelas musik, (Name) tidak memiliki jadwal apapun. Sehingga memungkinkan dirinya untuk menunggu Natsume di taman.
Seperti biasa, ia selalu menunggu di bagian bunga dan memainkan biola untuk bunga itu. Seakan-akan mengerti alunan melodinya, bunga-bunga itu menyebarkan aroma harum sebagai ucapan terimakasih.
Disisi lain, Natsume kini tengah membereskan peralatan yang ia gunakan saat kelas meramal. Banyak hal yang ia lakukan tadi, sehingga alat-alatnya banyak yang berantakan.
Setelah selesai, Natsume sedikit berlari agar cepat sampai di tempat gadis itu berada. Akan tetapi, ia melihat salah satu keluarga Sakuma tengah berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari (Name) yang tengah memainkan biolanya.
'Untuk apa dia kemari?' pikir Natsume.
Belum sempat Natsume berkata, pria bermarga Sakuma itu menyadari kehadirannya dan pria itu juga pergi tanpa sepatah katapun. Natsume hanya mengamati pria itu dalam diam dengan pikiran campur aduk.
"Dor!"
Sebuah tepukan mendarat di bahu Natsume dan membuatnya terkejut. (Name) hanya tertawa kecil melihatnya terkejut.
"Tumben sekali melamun. Apa karena kelas meramal mu melakukan ramalan masa depan jika kau akan bernasib buruk esok, hingga kau harus bawa alat keberuntungan dari Oha Asa?"
Ya, Oha Asa adalah ramalan zodiak setiap hari. Mulai dari hal buruk-baik, hingga hal-hal yang digunakan untuk menepis hal buruk pun disampaikan.
"Jangan berpikir aneh-aneh. Lagipula, ilmu yang aku punya itu jauh lebih hebat dibandingkan ramalan pagi itu," jawab Natsume dengan pikiran yang tidak bersamanya saat ini.
"Benarkah? Benarkah? Aku lihat Natsume sedang linglung sekarang."
"Sudah cukup, (Name). Ayo, kita pulang sebelum gelap."
"Baiklah, Tuan Penyihir yang agung."
Natsume tidak berkata apa-apa lagi. Sekarang yang harus ia lakukan adalah menjaga (Name) hingga sampai di rumahnya dengan aman. Lagipula, rumah mereka juga bersebelahan, membuat mudah Natsume untuk lebih intensif untuk menjaga (Name) setelah (Name) diikuti oleh salah satu pria dari marga Sakuma itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro