Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27). Coincidence or Fate?

Pasca insiden di lantai tiga kemarin sore, Meilvie segera membulatkan tekad kalau dia harus menyerah atas perasaannya pada Revan. Alasan yang membuatnya menyerah bukan karena takut dengan ancaman Tari--sama sekali bukan, melainkan karena fakta kalau Revan sudah mempunyai pacar.

Meilvie bisa saja mempertahankan perasaan dan mengejar cintanya sendiri, tetapi situasinya akan berbeda jika status cowok yang dia sukai ternyata sudah mempunyai pacar karena merebut pacar orang lain tidak tercantum dalam prinsip hidupnya.

Itulah sebabnya mengapa Meilvie segera menghindar ketika ekor matanya menangkap sosok Revan yang mendekat dan dia berkelit ketika cowok itu mengejarnya.

"Meilvie!" panggil Revan dalam radius dua meter dan Meilvie tidak mempunyai pilihan selain berbalik lalu memasang senyuman terlalu lebar, bersikap seolah-olah baru melihat cowok itu.

"Eh, Kak Revan! Apa kabar?"

Kok malah nanya apa kabar, sih? Bego banget!

Revan menempuh sisa langkahnya di sepanjang koridor hingga dia berada dalam jarak pandang yang cukup untuk membalas senyuman Meilvie dan berkata, "Hmm... Meilvie, aku mau minta maaf, ya?"

"Kenapa, Kak?" tanya Meilvie, memutuskan untuk tidak peka daripada sok tahu.

Revan menarik tangan Meilvie untuk membawanya menepi agar tidak menghalangi akses lalu-lalang oleh para murid yang melintasi koridor. Dari sini, keduanya bisa memandang lapangan basket di seberang mereka.

"Kamu... masukin surat ke loker, ya? Soalnya Kakak sempat baca nama kamu di balik amplopnya, tapi nggak sempat baca isinya. Hmm... sebenarnya...."

"Oh itu," kata Meilvie, berusaha terlihat tidak peduli tetapi tidak bisa menutupi kecanggungannya. Pemandangan di hadapannya lantas terasa dua kali lipat lebih menarik sekarang. "Hmm... i-itu... itu bukan hal penting, kok. Hmm... sebenarnya...."

"Apa isinya tentang... hmm... maaf sebelumnya ya, Meil. Apa isinya tentang... kurang lebih berkaitan tentang--hmm... kamu tau sendiri kan kalo cewek ngasih amplop warna pink ke cowok, itu artinya...." Revan ikut-ikutan menggantung, berusaha to the point. Di satu sisi cowok itu cemas kalau-kalau Meilvie bisa saja tersinggung karena terkesan tidak menghargai ketulusannya, tetapi di sisi lain dia juga merasa bersalah karena tidak mengetahui apa isi suratnya.

Bisa saja kan kalau isi surat itu bukan tentang pernyataan perasaan? Karena jika iya, Revan bakal merasa malu banget.

Meilvie bungkam, lantas membuka mulut untuk merespons tetapi secara tidak terduga ada orang lain yang menghalanginya.

Kehadirannya tidak hanya membuat Meilvie kaget, tetapi dia juga mengulurkan sebelah lengan untuk merangkulnya.

Tubuh pendek Meilvie yang pelukable begitu pas bersanding dengan Felix, apalagi ketika dia menarik bagian belakang kepalanya untuk disandarkan ke bagian dadanya.

Melihat kemesraan mereka seperti itu, siapa saja akan mengira mereka adalah pasangan, bahkan Revan juga mengambil kesimpulan yang sama.

"Ap--"

Protes dari Meilvie terkubur begitu saja karena Felix menekan kepalanya lebih dalam. "Nungguin lama ya, Beb? Kamu kesel sama aku ya sampai-sampai ngajak cowok lain ngobrol berdua?"

Meilvie berusaha melepaskan diri, tetapi sulit karena indera penciumannya mulai peka terhadap aroma tubuh Felix. Aroma parfumnya wangi. Dia tidak tahu apa saja kandungan di dalamnya, yang jelas dia bisa mencium aroma citrus, membuatnya betah secara tidak sadar. Untung saja indera pendengarannya juga peka sehingga ketika dia mendengar suara Revan, cewek itu segera mengalihkan wajahnya.

"Maaf," ucap Revan, segera menengahi untuk meluruskan salah paham ini. "Jangan salah paham ya, aku cuma mau nanya ke Meilvie tentang surat--"

"Oh, surat?" potong Felix, terlalu hebat berakting hingga terkesan dia adalah pihak yang meluruskan kesalahpahaman ini. "Meilvie ceroboh banget. Dia itu mau nyatain perasaan ke gue, salah masukin suratnya dia. Payah banget. Untungnya gue tipe yang gerak cepat, jadi masalahnya langsung selesai. Ini kita baru jadian kok kemaren. Ya kan, Sayang?"

Lantas begitu saja, Felix memutar tubuhnya dengan tangan yang masih menahan kepala Meilvie, mengabaikan Revan yang hanya bisa memandang kepergian mereka.

Setelah aman, Felix melepas Meilvie yang auto memelototinya dengan galak.

"Sejak kapan gue jadi pacar lo?" tanya Meilvie sinis, membenarkan seragamnya yang sempat kucel gegara pelukan yang tidak terduga itu.

"Lo ada denger kan tadi? Sejak kemaren sore. Itu pun kalo lo mau," jawab Felix enteng walau sebenarnya dia cukup malu untuk berterus terang seperti ini. Terlepas dari semuanya, dia belum pernah menembak cewek atau bersikap agresif.

"Lo kira gue mau?" tanya Meilvie, masih galak meski dia tidak protes berjalan beriringan dengan Felix menuju kelas.

Langkah Felix otomatis terhenti, menatap Meilvie dengan tatapan tidak percaya. Lantas, dia kembali menjejerkan langkahnya untuk menggencarkan protes, "Lo bukannya seneng, malah nolak! Lo buta apa sengaja, sih?"

"Heh, ganteng sih ganteng! Tapi ya nggak seenaknya juga kali! Lo kira udah nolongin gue jadi bisa ngajak pacaran? Ck. Dasar playboy!"

"HEI! Gue nggak pernah nembak cewek, tau! Lagian gue tadi nolongin lo! Coba kalo gue nggak di sana, lo pasti malu berat sampai nggak masuk sekolah! Dasar cewek barbar!"

"Apa lo bilang? AW!" keluh Meilvie ketika merasakan sakit di lututnya saat menapaki anak tangga. Meski lukanya sudah membaik, tetapi efek bengkaknya masih belum sembuh benar.

"Lutut lo masih sakit? Sini gue papah lo," tawar Felix sambil menarik tangan Meilvie, tetapi segera ditepis oleh cewek itu.

"Nggak usah!"

"Ck. Mau digendong, maksudnya?"

"FELIX!" raung Meilvie.

"Ya, Beb?"

"Bab-beb-bab-beb! Lo kira gue bebek?" tanya Meilvie kelewat emosi hingga gregetan parah.

"Emang. Lo kan cebol kayak bebek. Cocok dong!"

"Lo--"

"Oh, atau mau dipanggil 'Ay'? Kependekan dari ayam. Cocok juga. Suka mematuk-matuk soalnya."

"HEH!" raung Meilvie marah. "Lo--"

"Lo pilih aja; mau dipanggil 'Beb' atau 'Ay', karena kalo pacaran, itu kependekan dari Bebi sama Sayang."

"Gue bukan pacar lo!"

"Sejak lo bisa blushing, gue yakin lo akan jadi pacar gue."

"IDIH, PEDE BANGET!" hardik Meilvie, tetapi wajahnya mendadak memerah hingga ke daun telinganya. Sebenarnya lututnya sakit, tetapi rasa gengsi dan malu mengalihkan rasa sakit hingga dalam waktu singkat, cewek itu bisa menaiki tangga di hadapannya tanpa hambatan.

"Loh, bukannya lutut lo masih sakit? Hei, tungguin gue!"

*****

Felix tersenyum lebar mendengar ajakan Meilvie yang baru saja dilontarkan padanya.

"Jangan kege-eran dulu! Seperti yang gue bilang tadi, gue ngajak lo karena aroma parfum lo lumayan wangi jadi tiba-tiba kepikiran mau ngasih parfum juga buat hadiah ultah abang gue."

"Oke. Gue tau gue sewangi itu sampai terkesan pelukable, kan?"

"Ishhhh! Bisa serius nggak sih?"

"Bisa, perasaan gue juga seserius itu."

"FELIX!"

"Ya, Beb? Atau mau dipanggil 'Ay'?"

"Ck. Nggak jadi deh, nyesel gue."

"Eh eh! Iya-iya, gue nggak godain lo lagi," kata Felix meski tatapannya masih sarat akan jenaka. "Belinya mesti di mal. Mau pergi sekarang?"

Bel telah berdering lima menit yang lalu dan semua murid sudah keluar kelas, kecuali mereka berdua.

"Pake seragam gini perginya?" tanya Meilvie.

"Iya. Kalo lo mau dandan cantik biar bisa kencan bareng juga boleh. AW!" teriak Felix setelah dihadiahi jitakan di puncak kepalanya. "Sakit, tau!"

"Siapa suruh gombal receh terus!" omel Meilvie. "Oke deh, kita ke sana sekarang. Mal mana? Yang terdekat High Mall, sih."

Felix sempat bungkam sejenak dan ekspresinya juga berubah meski dia berusaha mengalihkannya dengan senyum tipis. "Iya, kita ke sana aja."

Keduanya turun dari bus sekitar setengah jam kemudian. Felix merasa asing dengan tempat itu karena dia jarang menghabiskan waktu di sana, mengingat hubungannya dengan papanya tidak sebaik itu.

Lagipula secara kebetulan, teman-temannya lebih suka menghabiskan waktu di Cafe Young. Sehingga, fakta tersebut semakin membuat Felix hampir tidak pernah mengunjungi mal itu.

Sekitar satu jam kemudian setelah bolak-balik ke beberapa gerai parfum untuk menemukan parfum yang cocok, Meilvie menenteng paper bag berisi parfum pilihannya dari gerai parfum terakhir. Dengan senyum sumringah, cewek itu menyimpan kado tersebut ke dalam tas punggung dengan ekstra hati-hati seperti anak sendiri.

"Berhubung lo udah berbaik hati dan terlihat tulus banget waktu milih parfumnya, gue bakal traktir minuman. Lo suka cappuccino, nggak?" tanya Meilvie pada Felix yang tampaknya jauh lebih diam daripada biasanya. "Tapi minumannya bawa pulang, ya? Udah mulai sore, orang rumah bakal nyari kalo gue kelamaan di luar."

"Jadi iri," keluh Felix refleks, tetapi beruntung suaranya terlampau pelan hingga Meilvie tidak mengerti apa yang dikatakannya.

"Hah? Lo bilang apa?"

"Nggak, kok. Nggak perlu traktir gue, nggak apa-apa. Gue memang tulus bantuin lo. Kita pulang aja, ya?"

"Oke deh kalo gitu," jawab Meilvie dan mereka lantas memanfaatkan eskalator untuk turun ke lantai dasar.

"Eh, ada yang lagi syuting tuh," kata Meilvie sambil menunjuk arah jam 2. Felix mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk. Benar saja, ada kerumunan besar dengan banyak peralatan yang biasanya dipakai demi kepentingan syuting. Kelihatannya mereka sedang beristirahat karena sebagian besar sedang makan siang sementara yang lain mengecek peralatan dan ada pula yang sibuk mengurus make up artist.

Felix membuang muka. Dia sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal di luar urusannya. Namun ketika cowok itu berpaling, matanya menangkap sosok yang tidak asing baginya. Dia adalah wanita yang pernah menjadi ibunya selama beberapa bulan. Dulu.

Wanita itu adalah Nirina--mama Felina.

Felix tentu saja masih ingat, apalagi wajah wanita itu termasuk wajah yang tidak segampang itu untuk dilupakan. Juga, Felix seringkali melirik foto Nirina yang dipajang di rumah Herfian.

Entah ini memang takdir atau kebetulan semata, yang jelas ekor mata Nirina juga menatap ke dalam mata Felix dan pandangan mereka terkunci secara otomatis.

Posisi Nirina sekarang berada tepat di bawah eskalator dan sedang berencana untuk naik, tetapi tidak jadi karena eksistensi Felix. Wanita itu tidak mengenalnya, tetapi merasa familier dengan wajahnya. Itulah sebabnya untuk sejenak, Nirina mengernyitkan alis sembari mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan cowok itu.

Begitu sampai di lantai dasar, Felix tersenyum pada Nirina dan segera membungkuk sedikit untuk memberi hormat. Gimanapun, cowok itu merasa tidak benar jika mengabaikan wanita itu.

"Apa kabar, Tante?" sapa Felix ramah, sementara Meilvie juga ikut membungkuk hormat pada Nirina di sebelahnya.

"Kamu siapa?" tanya Nirina. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Soalnya saya juga familier sama wajah kamu."

"Saya Felix Denindra."

Ekspresi wajah Nirina seketika kaku. Salah satu tangannya yang sedang memegang lembaran naskah, diremas sedemikian rupa hingga bergetar. Secara alamiah.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro