25). Reunited or Fate?
Bonus—–I can't go oleh Ben, yang menjadi nada dering Herfian. Maknanya dalem banget soalnya.
*****
"FEL!" teriak Remmy dalam radius tiga meter, berhasil membelalakkan mata Felina hingga ukuran maksimal. Dia benar-benar tidak menyangka kalau cowok itu serius menemuinya sepulang sekolah, terlihat dari jas almamater SMA Asoka yang masih dia kenakan, meski bagian dalamannya telah diganti dengan kaus motif abstrak berwarna putih, alih-alih kemeja yang seharusnya dipakai anak sekolahan.
Meski dia masih abege, visualnya tidak bisa diremehkan karena tatapannya yang tajam mampu menarik perhatian para mahasiswi, yang menatap ke arahnya seperti terhipnotis.
Namun lagi-lagi, itu tidak berlaku bagi Felina Anggara.
"Ngapain lo di sini?" tanya Felina galak, tetapi dia masih mempunyai hati untuk tidak mengabaikan Remmy yang pastinya telah menunggu sedari tadi, mengingat rentang waktu kuliahnya menjadi setengah jam lebih lama gara-gara keterlambatan Pak Rifky.
"Gue nggak nunggu lama, kok. Baru aja sampai," jelas Remmy dengan senyum lebar seakan Felina meminta maaf karena keterlambatannya, membuat cewek itu refleks menatapnya jengah.
"Pulang sana, nanti kesasar lagi," ejek Felina. Niatnya tentu saja untuk melemahkan mental Remmy meski ternyata tidak segampang itu.
"Kuliah lo udah bener-bener selesai, kan? Gue anter pulang ya," tawar Remmy, bertepatan dengan kehadiran seseorang yang tidak disangka-sangka.
Saking tidak terduganya, Felina lupa merespons tawaran Remmy.
"Lo ngapain di sini?" tanya Felina pada Jerico, yang berhenti di antara mereka dengan ekspresi datar.
"Habis ini lo nggak ada kelas, kan? Gue anter pulang," jawab Jerico seakan hubungannya dengan Felina seakrab itu.
"Are we really that close 'till I should go with you?" tanya Felina dengan sebelah alis terangkat. "I don't think so."
"Since we're in the same group, I think yes," jawab Jerico enteng. "Biar gue ngasih tau informasi baru, Vesya aja pulang bareng Khelvin sejak mereka sekelompok bareng."
"Itu mereka, bukan kita," jawab Felina sinis sembari bersedekap dada dan menatap Jerico dengan tatapan menuduh. "Dan yang perlu gue garisbawahi, mereka itu calon pasangan baru jadi jelas, ini demi misi pedekate."
"Kalo lo mau, gue nggak keberatan."
"Hah?"
"Hei, hei, hei! Gue bukan nyamuk di sini, jadi jangan kacangin gue dong!" protes Remmy bersungut-sungut. "Felina jelas-jelas nolak lo, jadi gue pulang bareng dia."
"Gue nggak bilang gue mau pulang bareng lo!" tolak Felina pada Remmy cepat, membuat Jerico mengeluarkan suara seperti ejekan. "Gue pulang sendiri."
"PULANG BARENG SAMA GUE!" seru duo Jerico dan Remmy bersamaan, yang sama-sama kaget dan berpandangan satu sama lain, lantas membuang muka ke arah yang berlawanan secara serempak.
"Ckckck... kalian cocok banget. Kalian aja yang pulang bareng," usul Felina.
"NGGAK!!" teriak duo cowok itu bersamaan. Lagi-lagi.
"Dasar bocah! Belajar sono, jangan keluyuran!" hina Jerico, auto menyensor Remmy dari atas ke bawah berkali-kali dengan tatapan meremehkan.
"Bilang aja lo sirik gue gencar pedekate sama Felina! Lo pasti minder sendiri kan sama visual gue? Noh, noh, liat aja banyak cewek yang mandangin gue daripada lo! Dasar Om-om!" balas Remmy tidak mau kalah sembari menunjuk para cewek dengan dagunya yang runcing sebagai isyarat.
Lantas setelah sepuluh menit penuh debat absurd antara dua cowok yang tidak penting bagi Felina, cewek itu harus menahan diri untuk tidak emosi karena dia harus terjebak bersama Jerico yang bersikeras mengikutinya hingga naik bus. Sedangkan Remmy, dia terpaksa pulang sendirian mengingat sewaktu dia ke kampus Felina, cowok itu diantar oleh supir pribadinya.
Yaaa... setidaknya Felina bersyukur dia tidak terjebak bersama Remmy juga.
Felina mengalihkan pandangan keluar jendela, memutuskan untuk mengabaikan Jerico yang duduk di sebelahnya persis waktu pertama kali bertemu. Rasanya aneh, mengingat pertemuan pertama mereka seburuk itu dan jauh lebih aneh lagi karena kini keduanya duduk bersama dalam situasi mereka sekelompok bareng.
Terlalu konyol, sebenarnya.
"Kita harus diskusi kelompok buat tugas Pak Rifky," kata Jerico, membuka suara setelah jeda yang cukup lama di antara mereka.
"Oke," jawab Felina singkat tanpa menoleh.
"Kita harus bertukar kontak supaya bisa diskusi kapan ketemu untuk kerja kelompoknya."
"Oke."
"Minta nomor lo kalo gitu."
"Ck. Deadline-nya masih lama. Gue rasa kita bisa nyicil selama pertemuan kuliah Pak Rifky."
"For your information, gue orangnya perfeksionis jadi gue nggak bisa pake sistem kerja kayak gitu," kata Jerico dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat. "Dan sesuai tata krama yang benar, seharusnya lo menatap ke orang yang lagi ngomong sama lo."
Felina memejamkan matanya dengan kuat, memohon kesabaran yang banyak sebelum akhirnya mengeluarkan ponsel dan meletakkannya di telapak tangan Jerico dengan setengah hati. Alih-alih kesal, dia malah kegirangan ketika mencocokkannya nomor mereka.
"Oke. Jadi selesai, kan?" tanya Felina dengan nada manis, tetapi matanya menatap galak. "Banyak tempat kosong. Silakan pindah."
"Nggak mau. Ini tempat favorit gue."
"Oke. Gue yang pindah," kata Felina, dan dia beranjak dari duduknya tetapi berhasil dihalangi oleh Jerico dengan tubuhnya sendiri.
"Gue belum selesai ngomong. Maksudnya, tempat ini jadi favorit karena duduknya di sebelah lo. Jadi mau duduk di mana aja, lo juga harus di sebelah gue. Oke?" lanjut Jerico yang ikut-ikutan bernada manis ditambah senyuman lebar hingga membentuk eye-smile.
Damage-nya tidak main-main rupanya karena entah bagaimana caranya, Felina bisa merasakan sesuatu yang aneh dalam perutnya. Seperti ada yang bergerak.
Ck. Pasti karena emosi gue bertumpuk jadinya perut gue serasa nggak enak banget.
"Sejak kapan lo jadi sok kenal sama gue?"
"Hmm... anggap aja sejak pertama kali kita ketemu. Lo lupa ya, waktu itu kan gue yang ngajak lo ngomong duluan," jawab Jerico sebelum mengembalikan ponsel Felina ke pemiliknya pasca urusan menyalin kontak selesai.
"Itu bukan ngajak ngomong, tapi nyari gara-gara," ralat Felina dengan nada menuduh. "Meski saking bingungnya, gue sampai ngira lo nggak waras."
Jerico terdiam, tampak berpikir sebelum akhirnya mengeluarkan suara setelah tertawa sekilas, "Ya... anggap aja itu usaha gue buat pedekate sama lo. Dipikir-pikir, itu akan jadi satu-satunya metode yang paling unik. Bener, kan?"
"Pedekate?" ulang Felina, tertawa konyol. "Berarti lo harus minta maaf sama gue."
"Minta maaf? Kenapa?"
"Lo bilang lo akan minta maaf sama gue kalo ternyata gue benar-benar menarik perhatian lo. Lo lupa? Persis di sini kok kejadiannya," jawab Felina yang sebenarnya mengatakan semua itu hanya untuk melemahkan mental Jerico.
Felina berharap, Jerico tidak akan mengakui atau setidaknya berpura-pura tersinggung supaya dia bisa melebarkan jarak di antara mereka. Jujur, cewek itu masih merasa canggung dengannya.
Sekali lagi, fakta awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan membuat Felina tidak terbiasa dengan fakta yang sekarang. Seperti kesannya tadi, terlalu konyol sebenarnya.
"Hmm, iya juga ya. Gue inget," kata Jerico setelah berpikir beberapa saat. "Oke, kalo itu mau lo."
Lantas secara tidak terduga, Jerico mencondongkan tubuh ke arah Felina hingga cewek itu refleks menghindar, tetapi situasinya tidak tepat karena posisinya berada di dekat jendela dan paling sudut. Tidak punya pilihan lain, cewek itu membuang pandangannya ke mana saja asal tidak ke arah cowok itu.
Karena lagi-lagi, sensasi aneh di dalam perutnya mulai bereaksi lagi.
"Lo kenapa sih?"
"Should I apologize or confess?" tanyanya dengan perlahan, seakan menghayati perannya.
Lucu sekali, karena setelah mendengar pertanyaan dari Jerico, Felina otomatis mengingat kutipan drama yang pernah ditontonnya.
"Lo kira lo lagi syuting drama 'Descendants of The Sun'?" tanya Felina dengan nada mencemooh. Suaranya terlalu pelan meski Jerico masih bisa mendengarnya dengan baik mengingat jarak keduanya yang terlalu dekat. Mereka bahkan bisa membaui aroma tubuh mereka masing-masing.
"Lo tau juga ya drama itu. Gue kira lo nggak tau," jawab Jerico dengan nada menuduh dan tersirat nada kecewa dalam suaranya.
Kecewa? Yang benar saja!
"Ck. Lupain aja! Mundur dong, jangan deket-deket!" perintah Felina. Untung saja kata-katanya bertepatan dengan pemberhentian bus berikutnya. "Gue juga mau turun. Minggir!"
Jerico akhirnya memberikan Felina akses lewat meski hanya memiringkan kakinya sedikit dengan tatapan jenaka. Cowok itu berhasil memancing emosi Felina, namun untungnya cewek itu berhasil menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kriminal seperti menghajarnya hingga koid.
Jelas-jelas dia nyalin kutipan dari drama, tapi kenapa gue jadi panas dingin begini? Nih perut juga, kenapa gerak-gerak aneh gini?
*****
Nirina merasa tubuhnya seakan diperas selama beberapa hari karena jadwal syutingnya yang padat. Meskipun lelah, wanita itu senang karena akhirnya mimpinya terwujud. Juga, dia merasa bangga karenanya.
"Eh... Nirina, lo tau nggak kalo kita pindah lokasi syuting?" tanya Fira, rekan artisnya.
"Pindah lokasi? Di mana?" tanya Nirina balik.
"Di High Mall."
Jawaban Fira membuat Nirina refleks membeku. Meski nama itu sudah lama tidak didengarnya, wanita itu sama sekali belum melupakan nama mal itu.
"Kenapa kita bisa pindah ke sana? Bukannya seharusnya kita di Family Mall?" tanya Nirina setelah berhasil menguasai diri.
"Denger-denger sih produser kita nggak cocok sama pemilik mal itu, makanya keputusan pindah lokasi syuting bisa mendadak begini," jelas Fira.
Nirina mulai tidak tenang. Berbagai imajinasi berkelana liar di dalam kepalanya. Sudah lama sekali dia tidak bertemu mantan suaminya—–Herfian, meski status mereka belum bercerai. Dia sempat menenangkan diri bahwa mungkin saja Herfian sudah tidak bekerja di tempat itu lagi, tetapi tetap saja dia tidak mempunyai ide apa tepatnya yang harus dia lakukan jika bertemu dengan pria itu sekali lagi.
Sebenarnya mustahil jika Herfian tidak ada kemungkinan bekerja di sana. High Mall adalah salah satu aset keluarga konglomerat Anggara, jadi sudah jelas, bangunan tersebut masih terkait erat dengan pria itu.
Jadi, ketika Nirina tidak menemukan sosok Herfian selama beberapa jam syuting bersama rekan selebritis lain dan para kru, wanita itu bernapas lega.
Hingga sutradara memberi mereka jeda untuk istirahat dan Nirina memanfaatkannya untuk pamit ke toilet lantai dasar yang umumnya bersinggungan dengan area lift.
Semuanya terjadi begitu saja, seakan ada takdir yang sengaja mempermainkan mereka. Nirina membeku dalam perjalanannya menuju toilet, sementara Herfian juga melakukan hal yang sama ketika dia baru saja keluar dari lift yang berdenting terbuka sebelumnya. Ekor mata keduanya saling menangkap pada saat bersamaan dan kemudian kembali untuk memperhatikan lebih intens, seakan ingin memastikan kalau apa yang mereka lihat sekarang bukanlah sebatas fana.
Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat, tetapi itu tidak menjadi halangan bagi keduanya untuk segera mengenal satu sama lain.
Jeda di antara mereka terpecah ketika ponsel milik Herfian berdering dan Nirina segera dikagetkan dengan fakta kalau dia mengenal nada dering tersebut.
Itu adalah lagu soundtrack drama 'Because This is My First Life'—–kesukaannya, yang berjudul I can't go oleh Ben. Bedanya, nada dering tersebut dimodifikasi menjadi suara berat pria yang Nirina kenali sebagai suara Herfian.
"Halo?"
"Take your time, Herfian. This is your last chance. You should tell her the truth," jawab suara wanita yang sudah jelas adalah Yenni.
"Ini akal-akalan kamu?" tanya Herfian dengan suara rendah, sementara Nirina tampak melamun di tempatnya berpijak. Untuk seketika wanita itu seperti masuk ke dalam dunia sendiri, menostalgiakan masa lalunya.
"Iya dong, Herfian. Apa lagi? Mau tunggu sampai rambut kalian memutih? Kamu mau tunggu sampai kapan? Atau kamu mau tunggu sampai Nirina punya suami baru? Iya? Gitu-gitu dia masih muda dan cantik, apalagi dia mulai diterima dalam dunia entertainment."
"NGGAK!" sahut Herfian ngegas, kali ini teriakannya membuat Nirina sadar. Terkejut tetapi segera mengendalikan dirinya, wanita itu segera melangkah untuk melanjutkan perjalanannya yang sempat terhambat.
"TUNGGU, NIRINA!" teriak Herfian. Tanpa menunggu lagi, pria itu memutuskan panggilan secara sepihak dan mempercepat langkah untuk mengejar Nirina.
Berhasil, karena tangan Herfian telah menggenggam lengan Nirina, menariknya supaya wanita itu bisa berhadapan dengannya.
"Ayo kita bicara," ajak Herfian, menariknya lagi tetapi sayangnya cengkeramannya terlepas karena Nirina menarik lengannya sendiri dengan sekali sentakan.
"Untuk apa? Bukannya hubungan kita sudah berakhir? Oh... kalo kamu lupa, udah delapan tahun, kan? Atau bahkan lebih? Aku nggak terlalu inget soalnya nggak penting juga."
"Setidaknya biarkan aku jelasin—–"
"Itulah maksudku, Herfian. Setidaknya biarkan kamu jelasin, kan? Delapan tahun, Herfian, delapan tahun! Apa masih belum cukup? Mesti tunggu berapa tahun lagi supaya kamu mau jelasin?"
"Nirina, plis... sepuluh menit aja, ya? Atau... atau... lima menit. Lima menit cukup. Biarkan aku jelasin semuanya ke kamu. Plis?" pinta Herfian dengan tatapan memelas. Netranya memerah dalam sekejap, tinggal menunggu waktu hingga cairan bening di dalamnya mendesak keluar.
Melihat bagaimana Nirina menatapnya dengan tatapan benci seakan menorehkan pisau ke dalam hati Herfian, membuatnya menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu yang telah lama terbuang itu.
"Aku sibuk. Nggak seperti kamu yang mungkin kerjaannya lebih fleksibel. Anak konglomerat dan anak bungsu keluarga Anggara, kan? Bahkan kamu bisa sebebasnya punya banyak istri, tepat seperti yang kamu lakukan delapan tahun silam. Bukankah begitu?"
"Nirina, plis—–"
"Nggak ada bedanya, Herfian. Nggak akan ada bedanya setelah kamu jelasin. Faktanya, kamu mengakui Felix sebagai anak kamu dan yang aku tau dengan sangat sadar, Felix itu anak Yenni. Aku bahkan sempat menggendong anak itu. Jadi, apa lagi yang harus kamu luruskan?"
"Nggak gitu, Nirina! Ceritanya sama sekali bukan seperti itu!"
"Kalo bukan, trus kenapa kamu main kabur aja? Sama aja kayak pencuri, kan? Setelah mencuri, nggak mau ngaku lantas kabur! Persis kayak kamu!"
"Nirina! NIRINA!" teriak Herfian, mengabaikan tatapan ingin tahu semua orang meski tidak ada yang sekurang-kerjaan itu untuk berhenti sejenak dan menonton.
"Aku mau ke toilet. Memangnya kamu mau masuk?" tanya Nirina ketus, lantas membalikkan tubuh dengan cepat, menatapnya dengan tatapan tajam yang menusuk.
Tatapan tersebut sukses membuat Herfian terkesiap dan refleks melipat bibir sedalam mungkin selagi Nirina menutup pintu utama toilet dengan empasan kasar tepat di depan wajahnya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro