Episode 11 - Pengganti
_BITSORI_
update
Thursday, 14/11/2019
_ Support cast in this part _
Wonwoo tersenyum sinis seraya menghapus darah di sudut bibirnya, menoleh kesal pada lelaki yang telah memukulnya.
“Oppa gwaenchana?” tanya Heejin.
Telapak tangan Wonwoo terbuka lebar, memberi isyarat untuk Heejin, agar tetap di tempat. Tatapannya menyelidik, mencaritahu alasan dari penyerangan yang ia terima dan tak butuh waktu lama untuk memahami situasi… Wonwoo mendecih.
“Jeon Heejin kenapa kau diam saja diperlakukan sekasar itu!” geram Jaemin menggeser tubuhnya sejajar dengan Heejin, seakan memperlihatkan dirinya akan melindungi Heejin dari lelaki berengsek macam Wonwoo.
“Dia kakakku,” tukas Heejin.
Jaemin semakin dibuat tertohok, balas menatap tajam manik mata Wonwoo. “Meskipun dia kakakmu, apa pantas memperlakukanmu seenaknya!”
Terik matahari perlahan menggelap tertutupi awan hitam. Wonwoo mengetahui perubahan air wajah cemas Heejin di belakang Jaemin. Tak lama setelah menyadari perubahan cuaca Wonwoo mencibir, rasanya ia ingin sekali lagi memaki kesialan adiknya yang telah merenggut nyawa keluarga mereka.
Tepat saat Jaemin memberikan petuah serta kata-kata bijak, langkah kaki menjauh terdengar. Heejin berlari cepat sebelum hujan benar-benar turun membawa malapetaka di sekitarnya.
“HEEJIN-AH!” seru Jaemin tak cukup untuk menghentikan pelarian Heejin.
“Kau menyukainya?” tiba-tiba Wonwoo bersuara setelah mendiamkannya yang terus mengoceh beberapa saat lalu.
“Nde,” jawab Jaemin.
Wonwoo mengangguk kecil. “Orang yang mencintainya telah dikutuk, jadi kau bersiaplah mengalami hal buruk.” Ia sedikit merapihkan seragam Jaemin dan melanjutkan dengan pelan, “Kejar dia.”
Wonwoo berbalik, meninggalkan Jaemin yang terdiam. Jaemin merasa dirinya telah diberi suatu mantra sehingga tidak bisa bergerak.
“YA, Hyung-nim jaga ucapanmu!” kata Jaemin sambil menunjuk-nunjuk, sepertinya ia agak takut pada peringatan Wonwoo. “Apa dia seorang peramal!” lanjut Jaemin bergegas menyusul Heejin.
***
Langit cerah dihiasi gumpalan awan hitam, bergerak seolah mengikuti Heejin. Selalu saja berpikiran buruk akan hujan yang sebenarnya memberi berkah bagi manusia dengan air beningnya.
Jangan buat orang terluka dengan dirimu yang berkeliaran seperti ini…
Heejin selalu merasa setiap kalimat yang ditujukan padanya adalah suatu kebenaran mengenai dirinya. Berlari ketakutan menghindari orang-orang yang dilewatinya, ia menjadi hilang kendali dan hilang arah selagi napas memburu, tak beraturan.
Saat itu Jaemin meraih lengannya dan berkata, “Jeon Heejin larimu cepat sekali.” Jaemin tampak kelelahan.
Laki-laki yang seharian ini berada di sekitarnya pun sudah terluka dua kali. “Jangan sentuh aku!” sentak Heejin menepis keras tangan Jaemin.
“Kau mulai lagi,” kata Jaemin otomatis mundur, ia ingat harus menjaga jarak.
Sementara Heejin mulai waspada, menyingkir dari pejalan kaki dengan perasaan was-was.
“Aku akan membantumu sembuh dari phobia, jadi izinkan aku untuk lebih mengenalmu.” Jaemin memasang ekspresi sedih seraya mengulurkan tangan, mencoba menghapus peluh keringat di kening Heejin.
Sontak Heejin berkelit, “Jika aku mengizinkannya, kau akan membenciku, parahnya kau akan terluka atau bahkan mati. Jadi aku mohon jauhi aku…” susah bagi Heejin mempercayai kata ‘sembuh’.
Apa dia sendiri menolak untuk sembuh? Menutup hati dan pikiran, terbelenggu oleh keterpurukan.
“Aku, kan, sudah berjanji, tidak akan terluka.”
“Hari ini pun kau sudah terluka dua kali.”
“Ahh, benar juga…”
Heejin melengos, melangkah cepat ketika Jaemin mencoba mengingat kejadian kapan dan dimana ia terluka. Pagi hari karena terjatuh dari sepeda dan tadi kakinya dicakar kucing. Saat itu Heejin ada bersamanya.
“Itu karena aku memang ceroboh!” sangkal Jaemin menambahkan selagi menyelaraskan langkahnya dengan Heejin, “Bukan karenamu dan aku pastikan kau tidak akan kehilanganku.”
“Jangan pernah mendekatiku lagi dengan alasan apa pun,” ucap Heejin.
Menjadi kuat bukan berarti membiarkan orang lain tetap di dekatnya. Heejin menemukan dirinya yang kembali meyakini hidup sendirian lebih baik. Mendadak kakinya berhenti bergerak, memandangi rumah yang dulunya ramai.
Guntur menggelegar, disusul kilat yang lalu awan hitam menurunkan air hujannya. Sungguh Jaemin sangat ingin melindungi Heejin.
“Jika kau terus begini, terpaksa aku akan bersikap lancang,” kata Jaemin menarik tubuh bergetar Heejin ke dalam pelukannya.
“Lepas, lepaskan aku!”
“Diamlah, aku akan menemanimu sampai hujannya reda.”
“Kau akan terluka.”
“Tidak apa, kau bisa memanfaatkanku untuk berbagi kesialanmu.”
Anehnya Heejin tidak memberontak, apa alam bawah sadarnya menginginkan hal lain yang berbeda dari ucapannya? Aku tidak ingin ditinggal sendirian.
“Na Jaemin,” ucap Heejin pelan, ia sudah basah kuyup dan tubuhnya mulai merasa dingin.
“Hmm?” jawab Jaemin singkat sembari sibuk menaungi kepala Heejin dari derasnya hujan.
Seperkian detik berikutnya, Jaemin dibuat tegang karena Heejin balas memeluknya dengan nyaman.
“Aku bisa berdiri di bawah guyuran hujan.” Heejin tersenyum haru, ketakutan beberapa saat lalu menghilang entah kemana.
Jaemin ikut senang mendengarnya, ia menikmati hatinya yang berdesir seirama dengan rintik air hujan. Ternyata bersikap lancang ada gunanya juga, membawa perubahan bagi penderita phobia, seperti Heejin, yang biasanya akan mengalami kesulitan menghadapi ketakutannya terhadap hujan.
Tidak ada yang terjadi selama hujan turun. Selama itu pula Heejin merasa jantungnya berdegup kencang, saking bahagianya. Dia melepas pelukannya yang langsung saja membuat Jaemin menghembuskan napas, menarik napas dan mengatur debaran jantung sebelum tangannya digenggam oleh Heejin.
Gadis itu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, “Aku akan memanfaatkanmu, jadi sekarang kita bisa dekat.”
“Tidak ada jarak tiga meter atau lima meter lagi?!” ujar Jaemin sumringah.
Heejin mengangguk. Dia mengusap asal air mata yang bercampur dengan air hujan, berputar mengikuti pergerakan Jaemin yang kini mengelilinginya sambil mengayunkan tautan jari jemari mereka.
“Hujan kau dengar itu, aku bisa dekat dengannya!” Jaemin menengadah melihat langit dengan girang, menginjak-injak genangan air.
Benarkah Heejin bisa berbagi kesialan dengan Jaemin? Kali ini saja biarkan keresahan itu luntur terbawa hanyut air hujan, membawa semuanya hingga tak tersisa.
“Heejin akan sembuh dari phobianya!” seru Jaemin.
***
Di sepanjang koridor, Nakyung tergesa-gesa untuk pergi menemui Heejin yang mungkin saat ini tengah berada di ruang guru. Sekembalinya dari toilet Nakyung dikejutkan dengan topik pembicaraan teman-teman sekelasnya mengenai pertengkaran hebat antara Heejin dan Nancy.
Keduanya dibawa ke ruang guru untuk menyelesaikan masalah. Berawal dari Nancy yang menyinggung kedekatan Heejin dengan murid baru bernama Jaemin.
“Heejin mencari korban lain.”
“Kau harus berhati-hati jika di dekat dia.”
Di luar kelas Nakyung juga dapat mendengar rumor mengenai Heejin. Kemarahannya hampir saja tersulut.
“Dia tersenyum pada Jaemin dan melupakan Haechan yang masih berbaring tak sadarkan diri di ranjangnya.”
Keterlaluan! Raung Nakyung dalam hati, hendak menghampiri dua laki-laki yang baru saja dilewatinya.
Sebuah tangan menahannya, “Lee Nakyung!” sapa Jaemin memberi isyarat agar Nakyung tetap diam, biar dia yang melakukannya dan…
DUAK ~
Satu pukulan membuat satu orang tersungkur. Jaemin lari, diikuti Nakyung yang sebelumnya telah melayangkan tamparan di pipi laki-laki yang terhenyak kaget akibat serangan tiba-tiba Jaemin.
Jeno yang memang sedang bersama Jaemin, tertinggal di belakang. Memperhatikan dua orang di depan sana yang melakukan high five setelah berhasil membuat ulah.
“DASAR KALIAN BERANI SEKALI…”
“Sunbae, maafkan mereka, itu karena kau telah mengganggu mereka dengan ucapanmu.” Jeno menepuk pundak kakak kelasnya lalu membungkuk sopan.
“Mentang-mentang dia Ketua Osis,” rutuknya mengelus pipi yang memerah.
***
Nancy membanting pintu ruang guru. Mendenguskan tawanya ketika melihat Jaemin, Jeno dan Nakyung.
“Kalian menemukan pengganti Haechan,” ucap Nancy memandang tak suka Jaemin.
Jeno dan Nakyung saling pandang penuh arti. Tak lama Heejin keluar bersamaan dengan Nancy yang melangkah pergi.
“Jaemin-ah,” kata Heejin mendekati Jaemin. “Aku mendapat hukuman merapihkan buku di perpustakaan.”
Dari situ Nakyung mulai memikirkan perkataan Nancy, pengganti Haechan. Dia tidak suka kata itu, Haechan masih ada meski tidak sedang bersama mereka. Saat melihat keakraban Heejin dan Jaemin, tiba-tiba hati Nakyung mencelos.
Di sisi lain, Jeno juga bergabung dalam obrolan Heejin dan Jaemin. Berjalan menjauhi ruang guru, sesekali Jeno memukul Jaemin yang menggodanya, sangat hebat dalam bermain gitar.
“Padahal aku selalu dimarahi Seulgi Nuna,” hela Jeno tersadar akan Nakyung yang bergeming, “Nakyung-ah, mwohae (apa yang kau lakukan)?!”
Jaemin tidak bisa menggantikan posisi Haechan. Batin Nakyung menyusul teman-temannya yang belum jauh.
***
10:59 AM
Wednesday, 13 November 2019
Selesaikan sebelum tanggal 27/11/2019
THANKS FOR READING
SEE YOU NEXT PART
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro