Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 10 - Terluka

_BITSORI_
Saturday, 09/11/2019

Dari sekian banyak emosi, Lee Jeno baru kali ini merasakan marah yang teramat mengesalkan. Siapa yang ingin mendapat kejadian mengerikan bertubi-tubi? Siapa yang ingin melihat kesakitan orang terkasih? Siapa yang ingin ditinggal sendirian dalam rasa bersalah yang kian mencekik?

Jeno meringis, merasakan perih pada buku-buku jarinya.

“Pelan-pelan,” kata Jeno tidak digubris oleh Nakyung yang sedang mengobati luka di tangannya.

Duduk di tepi ranjang yang terdapat di UKS dalam keadaan sepi, membuat mereka leluasa berbicara keras.

“Aku baru tahu kalau tanganmu seringan itu, Ketua Osis macam apa yang memukul orang sampai melukai dirinya,” omel Nakyung.

“Kau juga akan marah kalau mendengar apa yang mereka bicarakan mengenai Heejin,” sesal Jeno berjengit ketika dengan sengaja Nakyung menekan lukanya yang baru dipasangi plester.

Nakyung memiringkan tubuhnya, menghadap Jeno selagi laki-laki itu mengibas-ngibaskan tangannya bergumam akan dia yang tidak bisa menulis nanti.

“Aku mendengarnya, mereka menyalahkan Heejin, mengutuk dan…”

Nakyung tidak bisa meneruskan ucapannya, ia terisak mengingat satu kalimat terakhir yang ia dengar akan rencana teman-teman sekelas mengasingkan Heejin dengan menyembunyikan bangku di gudang.

Sialnya lagi, air mata Nakyung tidak bisa diajak kompromi. Dia sudah berjanji tidak akan menangis dan tetap menemani Heejin apa pun yang terjadi. Namun, sepertinya terlalu sulit menahan diri untuk tidak merasa sedih. Nakyung bahkan sudah merindukan Haechan yang selalu meramaikan suasana kelas.

Tidak ada untaian kata penghiburan. Jeno tahu betul apa yang dirasakan Nakyung. Dia mencondongkan tubuhnya demi memeluk Nakyung, memberi rasa tenang untuk gadis itu.

“Apa hari ini kita bolos sekolah saja?”

“Membolos bersama Ketua Osis? Nanti bisa-bisa aku disalahkan!” Nakyung mendongak mendapati wajah Jeno yang begitu dekat, mendadak ia gugup, “Jangan, jangan bolos!” tolaknya menjauh dari Jeno dengan salah tingkah.

***

Rencana mengasingkan Heejin benar-benar terjadi. Suasana kelas hampir sama seperti satu tahun lalu, dimana tidak ada yang ingin dekat dengan Heejin. Alasannya? Takut terkena sial.

“Dimana kalian meletakkan mejaku?”

Semua saling pandang, mengedikan bahu pertanda tidak tahu. Heejin menyeringai. Tampaknya menjadi kuat adalah pilihan terbaik yang harus ia ambil.

“Nancy, kau pasti tahu sesuatu?” tanya Heejin melayangkan tatapan nyalangnya, “BERITAHU AKU SEKARANG JUGA!” jeritnya mengagetkan para murid yang acuh akan pertanyaan Heejin.

“Gudang,” singkat Nancy malas.

Heejin bergegas pergi, mengabaikan sapaan Nakyung yang baru memasuki kelas.

“Kalian! Aishh…” desis Nakyung menatap jengkel kelakuan teman-teman sekelasnya yang telah menyingkirkan meja dan kursi Heejin. “Bukankah ini keterlaluan! Memangnya Heejin salah apa!?” sentaknya.

“Kehadirannya saja sudah salah,” celetuk Nancy.

“YA! KWON NANCY!” seru Nakyung dengan suara keras, dua sampai tiga orang buru-buru memeganginya agar tidak mendekati Nancy. “Apa yang kalian lakukan, lepaskan aku!” ia mencoba menggapai sosok Nancy yang berlalu keluar kelas bersamaan dengan seorang guru yang datang menyuruh mereka duduk ke bangku masing-masing.

Sementara Nancy berdalih akan ke toilet. Sehingga sang guru mengizinkannya asal tidak lebih dari lima menit.

“Lee Nakyung duduklah, kelas akan segera dimulai.”

“Guru Kim, Heejin…”

“Apa dia tidak masuk lagi?”

Nakyung menghela, mengedarkan pandangan sengit ke seluruh murid. “Mereka bilang tidak mau satu ruangan dengan Heejin.”

***

Mungkin karena Jaemin menganggap dirinya sudah cukup pintar, merasa puas dengan peringkat 15 yang ia dapat. Sehingga mengikuti kelas dengan setengah hati sembari melihat keluar pintu.

Langkah terburu seseorang yang dia ketahui teman sekelas Heejin, tertangkap netranya. “Habis kemana dia?”

Rasa ingin tahunya muncul begitu saja. Bukan Jaemin namanya, jika diam dengan tenang di dalam kelas.

“Lee Jeno… Jeno…” kata Jaemin dengan suara sepelan mungkin.

Yang dipanggil menoleh seraya membenarkan posisi pulpen di tangannya. “Waeyo?”

“Apa kau mengenal teman sekelas Heejin yang berwajah blasteran?” bisik Jaemin, firasatnya tidak pernah salah, ia merasa ada yang janggal dengan wanita itu.

“Maksudmu Nancy?” balas Jeno sama berbisiknya.

“Jika ada yang mengobrol di kelas, silahkan keluar,” tukas Guru Bahasa Korea tanpa mengalihkan penglihatan dari buku yang dipegangnya.

“Saya orangnya, saya akan keluar!”

Guru berparas cantik dan terlihat lembut mengangkat kepalanya, menautkan alis tak percaya dengan kelakuan Jaemin yang tergesa meninggalkan kelas. Tidak disangka akan ada yang menyahuti ucapannya.

“Na Jaemin,” geramnya.

***

Kepala Jaemin menjulur, melongok ke dalam kelas, mencari sosok Heejin yang tak kunjung terlihat. Dengan cepat menyimpulkan bahwa Heejin tidak masuk kelas. Menelusuri koridor, melewati banyak kelas dengan diam-diam.

Dengan nekat memasuki toilet perempuan. “Heejin, Jeon Heejin,” kata Jaemin berharap ada jawaban di balik bilik toilet.

Perpustakaan pun masih sangat sepi di jam pelajaran. Jaemin berpikir, apa Heejin bolos lagi? Sampai langkah gontainya terhenti tepat di depan gudang di lantai tiga. Sebuah sapu ditaruh menyilang di antara knop pintu. Dengan begini Jaemin semakin yakin kalau di setiap sekolah pasti ada satu atau lebih perisak.

f (-1) jika f (x) = 2x kuadrat tambah 3x tambah 4x.’ Jaemin tahu yang didengarnya adalah soal matematika mengenai nilai suku banyak.

“Ckck, dia masih bisa belajar disituasi seperti ini,” komentar Jaemin, mengetuk pintu sambil meneruskan, “Permisi, apa ada orang di dalam?”

“Na Jaemin?” Heejin bergumam, bersamaan dengan kepala menoleh ke pintu yang kemudian terbuka memperlihatkan seseorang, berhambur mendekatinya.

“Sudah aku duga, sesuatu yang buruk menimpamu,” ujar Jaemin jongkok di hadapan Heejin, melanjutkan dengan tampang sebal, “Ini ulah Nancy, kan?! Kelakuannya tidak sebaik wajahnya.”

Perasaan Heejin berkecamuk. Beberapa menit lalu dia merasa takut, terkunci di dalam gudang gelap sampai terlintas di benaknya akan sendirian saja selamanya di ruangan dingin. Dengan begitu dia tidak harus melihat kesakitan orang-orang di sekitarnya.

Secepat datangnya cahaya, kehadiran Jaemin mampu mengubah pemikiran negatifnya. Heejin perlu memantapkan pendiriannya. Bukankah dia akan menjadi lebih kuat? Haruskah dia melibatkan Jaemin untuk membantunya keluar dari phobia akan ketakutannya? Sementara itu Jaemin memeriksa keadaan Heejin.

“Kau tidak terluka?”

“Jaemin, Na Jaemin,” kata Heejin entah sudah berapa sering mengucap satu nama yang kerap muncul dikesehariannya.

“Eung,” tukas Jaemin menunggu lanjutan dari perkataan Heejin.

Sayangnya wanita itu tak kunjung bicara, menghempaskan harapan Jaemin akan persetujuan untuk bisa dekat.

Heejin merogoh sesuatu di tasnya, mengambil plester bergambar karakter kartun yang lalu menarik tangan Jaemin. “Telapak tanganmu terluka,” kata Heejin menempelkan plester.

Sesaat Jaemin tertegun. Tadi pagi dia terjatuh dari sepeda dengan enteng berkata baik-baik saja. Sekarang malah mengaduh, mengaku perih dan bersikap berlebihan.

“Tidak hanya cantik, kau juga sangat baik,” puji Jaemin.

Heejin mendorong Jaemin hingga terjengkang. “Kelas akan segera berakhir,” ucap Heejin melangkah lebar-lebar.

“Jeon Heejin kau tidak membawa mejamu?!”

Tidak ada tanggapan. Jaemin kembali berseru, “Baiklah… aku akan membawakannya untukmu!”

***

“Woii, Jisung… ada yang mencarimu!”

Dengan ogah Jisung bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kelas. Sejak kepindahan si ketua band ke sekolahnya, ia susah mendapat ketenangan. Kadang di jam pelajaran Jaemin tiba-tiba muncul di luar jendela kelasnya. Lalu apa lagi yang akan diperbuat kakak kelasnya itu?

Selain membuat kegaduhan karena banyak murid wanita mengomentari penampilan Jaemin yang dianggap keren, meski tak mengancingkan seragamnya, memperlihatkan kaos oblong hitam.

“Jeno Sunbae,” salam Jisung amat sopan. “Ada apa kau kemari?” ia mengabaikan Jaemin yang mencari perhatian akan keberadaannya.

“Kita akan ke kantin sambil memilih lagu yang akan dibawakan dalam lomba nanti,” terang Jaemin cukup berwibawa.

Jisung mengamit lengan Jeno. “Kalau begitu, ayo, kita pergi,” ajaknya tidak mempedulikan Jaemin yang berseru minta digandeng juga.

“Jisung, Jisungie!”

***

Nakyung sempat bingung dengan tingkah dingin Heejin, tapi ia tidak mau berpikiran buruk. Baguslah Heejin tidak menghindarinya seperti dulu hanya lebih sedikit pendiam. Menanggapi perkataan panjang lebar Nakyung dengan pendek, sekedar ‘Eung’, ‘Nde’ atau anggukan kecil.

Saat itu Jaemin, Jeno dan Jisung datang. Bergabung dengan sambutan meriah Nakyung.

"Anggota Dream Band datang!"

“Aku sudah selesai makan.” Heejin bangun dari duduknya sembari mengangkat tray yang masih menyisakan banyak makanan.

“Jadi kau mau pergi?” tanya Nakyung melanjutkan tanpa menunggu jawaban, “Di sini saja dulu.”

“Habiskan makan siang kalian.” Tidak biasanya Heejin berpesan, tersenyum simpul seperti tidak terjadi apa-apa.

Tadi juga dia sempat merelai adu mulut Nakyung dan Nancy di kelas.

“Heejin-ah?” Nakyung merajuk.

***

Ada batasan yang masih belum bisa dilewati oleh Heejin. Sedangkan Jaemin dengan caranya sendiri mencoba melewati batasan tanpa berpikir jauh akan kesehatan mental Heejin, yang ia yakini Heejin bisa membaik karena kehadirannya.

Satu yang tidak bisa dihindari Jaemin. Kecerobohannya, tidak melihat seekor kucing duduk manis di aspal, menginjak ekor dan alhasil mendapat cakaran di dekat mata kakinya. Raungan kucing sekaligus pekikan Jaemin mengagetkan Heejin yang berjalan sepuluh langkah di depan Jaemin.

Push, push, kalau tidur pergi ke kamarmu… kenapa malah bersantai di jalanan,” keluh Jaemin, mengusap pergelangan kakinya.

Hal-hal kecil yang mengusik perhatian Heejin. Selalu saja merasa menjadi penyebab kesialan orang-orang di sekitarnya. Tak jauh dari tempat Heejin menghentikan langkahnya, seorang anak kecil merengek minta sang ibu mengambilkan balon yang baru saja terlepas dari pegangannya, tersangkut di antara ranting pohon.

Namun, bukan itu yang menarik atensinya. “Wonwoo Oppa?” ujar Heejin berlari kecil menghampiri laki-laki yang menenteng tas.

Oppa,” senang Heejin meraih lengan Wonwoo yang merasa terganggu.

“Singkirkan tanganmu!” hardik Wonwoo menepis tangan Heejin.

Jaemin buru-buru mendekati keduanya sambil mendesis, menuntun sepeda dengan enggan.

"Aku dengar Haechan koma," ujar Wonwoo sarkastis.

Heejin ingin berkata bahwa ia sangat merindukan Wonwoo. Tetapi keadaan tidak mendukungnya malah berbalik menyerang kondisi psikisnya.

"Sudah aku bilang, jangan buat orang terluka dengan dirimu yang berkeliaran seperti ini. Tetap di rumah dan..."

"Oppa, sebegitu bencinya, kah kau padaku?" potong Heejin mencari kebohongan diraut wajah mengeras Wonwoo, selalu saja menyalahkan Heejin akan kepergian kedua orangtua dan saudara kembarnya.

"Iya, aku hanya ingin menjauh darimu," jawab Wonwoo melangkah mundur. "Jadi berpura-puralah tidak mengenalku, sungguh aku tidak mau terluka akibat dekat denganmu."

Tak tahan lagi mendengar ucapan Wonwoo. Lelaki yang sedari tadi memperhatikan membanting sepeda, melangkah pasti yang kemudian melayangkan tinjunya, tepat mengenai wajah Wonwoo yang dianggapnya sangat mengesalkan.

***

Part terpanjang sekitar 1500 word,
Terus tinggalkan jejak setelah membaca ya readers 😘

Alesta Cho

THANKS FOR READING
SEE YOU NEXT PART

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro