RaB. 7 : Dikucilkan
Semilir angin menyelip diantara helaian rambut Syerin dan Ezra. Mereka tersenyum, menikmati suasana yang ada di antara mereka.
"Kau mau ke mana, Syerin?"
"Aku belum tau, jalan saja." Syerin mengerling pada beberapa orang yang menatapnya heran.
Wajar saja mereka heran, karena sejak tadi Syerin mengobrol dengan Ezra yang statusnya saat ini adalah mahluk tak berwujud. Meskipun begitu, Syerin hanya tersenyum dan mengabaikan tatapan-tatapan itu.
Syerin merasa ini benar-benar seperti mimpi, berjalan berdampingan dengan Ezra seperti ini, tanpa harus takut perasaannya yang sebenarnya akan terlihat.
Yah, walaupun dalam wujud yang berbeda.
"Bagaimana kalau di taman itu saja?" Ezra memotong lamunan Syerin dan menunjuk ke arah sebuah taman.
Taman itu memiliki sebuah danau kecil di tengah-tengahnya, dengan berbagai tanaman cantik yang melingkarinya. Kursi-kursi panjang tertata rapi, disertai ayunan rantai yang letaknya tak jauh dari pepohonan. Ada banyak orang di sana.
Syerin terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Tak lama kemudian ia mengangguk pelan. "Baiklah, ayo."
Akhirnya mereka berdua duduk di ayunan rantai. Aneh rasanya, saat Syerin membayangkan jika Ezra duduk di atas ayunan dan kemudian menggoyangkannya dengan wujud saat ini. Namun pada kenyataannya Ezra tak bisa menyentuh benda itu secara fisik walau ia terlihat seperti sedang menduduki ayunan, ia sebenarnya melayang.
Syerin terdiam dalam suasana keramaian di sekitarnya. Orang-orang yang berlalu-lalang di belakangnya, kicauan burung-burung, serta suara kelompok bebek yang sedang berenang di danau.
Baginya, keramaian ini ... tak ada bedanya dengan keheningan.
"Syerin?"
Syerin tersadar dan menoleh pada asal suara. "Ya?"
"Sebenarnya aku penasaran ... Tentang apa yang terjadi padamu di sekolah," ucap Ezra.
"Bukan urusanmu. Kau tidak perlu tau," Syerin menekankan kalimat terakhirnya, membuat Ezra kembali terdiam.
Keheningan kembali menyergap mereka, namun Syerin tidak mencoba untuk mencairkan suasana. Gadis itu hanya diam, sambil kembali menatap danau yang ada di tengah taman. Bukannya tidak mau, hanya saja Syerin tidak tahu kalimat apa yang bisa ia gunakan menghentikan suasana canggung ini.
"Aneh rasanya, saat aku duduk melayang di atas ayunan ini," Syerin mendengar Ezra terkekeh di sampingnya.
Syerin tetap tidak memalingkan tatapannya dari danau. "Itu wajar, karena kau hantu."
"Rasanya benar-benar tidak nyaman saat aku tidak bisa mendengar suara detak jantungku atau suara napas yang keluar dari hidungku." Akhirnya Syerin menoleh, menatap Ezra yang ternyata juga sedang menatapnya.
Seketika perasaan bersalah kembali memenuhi hati Syerin. Nafasnya sesak saat melihat Ezra yang tersenyum padanya. Syerin sadar bahwa ini semua salah, tidak seharusnya ia menerima ajakan Ezra untuk menjadi temannya pada hari itu, tidak seharusnya ia berjalan-jalan dengan Ezra seperti saat ini. Tidak seharusnya, setelah semua yang telah Syerin lakukan pada laki-laki itu.
Ezra telah menyelamatkanku dua kali, dan aku telah mencelakainya dua kali.
"Maaf," ucap Syerin tiba-tiba.
Ezra menggeleng. "Sudah kubilang itu bukan salahmu, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri."
Syerin mengerutkan dahinya dan menggeleng lemah. "Kau hanya tidak ingat, tapi saat itu akulah yang telah membuatmu menjadi seperti ini. Kau tidak seharusnya berteman denganku."
"Terserah kau mau bilang apa, aku tidak akan pernah percaya bahwa kaulah penyebabnya," Ezra berdiri dari tempatnya, mengulurkan tangannya pada Syerin, "apapun alasanmu untuk membuatku menjauhimu, aku akan tetap mendekatimu."
Syerin menatap tangan Ezra, kemudian mendongak menatap matanya. "Tapi ... kenapa?"
"Karena aku tidak suka kesepian," jawab Ezra, "dan dari yang kulihat ... kau tidak punya teman, kan?"
Syerin mengerjap-ngerjapkan matanya dengan alis terangkat, kemudian ia mendengus. "Aku tidak tahu darimana kau mengetahui fakta itu. Tapi yang lebih membuatku heran adalah kau selalu bisa membuatku menuruti keinginanmu."
"Ah, terima kasih pujiannya," Ezra tertawa, "sekarang, ayo kita pulang."
Syerin mengangguk sambil tersenyum samar. Tangannya terulur mendekati tangan milik Ezra, dan 'mengenggamnya'. Kemudian berjalan beriringan menuju rumahnya.
Meski perasaaan bersalah terus menyelimutinya. Syerin akan tetap mencoba untuk mempercayai kata-kata Ezra, meski rasanya sulit. Syerin membiarkan dirinya terjebak diantara bayang-bayang harapan, bahwa dirinya tidak bersalah.
"Ezra," panggil Syerin tiba-tiba.
"Ya?"
"Pernahkah kau bertanya-tanya, kenapa kau tidak boleh mengetahui masa lalumu?" Tanya Syerin, "aku bukannya bermaksud ikut campur, tapi ... aku hanya penasaran."
Ezra menggeleng. "Aku tidak tahu pasti apa alasannya. Tapi sepertinya itu agar aku bisa menerima kematianku sepenuhnya. Mungkin jika aku mengetahui masa laluku, aku tidak bisa menerima fakta bahwa aku telah mati, lalu aku akan frustasi dan akhirnya ... lenyap."
Syerin terdiam, dalam hati ia menyangkal sepenggal kata dalam ucapan Ezra, "kematian". Ezra belum mati, ia masih hidup dalam keadaan tertidur. Lalu jiwanya berkeliaran dunia yang berbeda, dunia yang Syerin sukai, sekaligus ia benci.
Tiba-tiba, langkah mereka terhenti saat Syerin melihat sesosok hantu yang menghadang jalannya. Hantu itu merupakan sesosok anak kecil perempuan. Ia menatap Syerin dengan mata sayu dan wajah pucatnya, tangannya terulur pada ujung baju Syerin, seakan sedang 'menarik'nya.
Syerin mendecih pelan, menatap tajam ke arah hantu kecil itu. "Ada apa?"
"Tolong bantu aku."
Sudah kuduga, batin Syerin.
"Maaf, tapi aku sedang sibuk." Syerin melangkah maju ke depan, meninggalkan hantu itu sendirian. Terdengar suara menjerit kecil dari hantu itu, ia panik karena Syerin meninggalkannya begitu saja, tapi Syerin tetap tidak peduli.
"Syerin, tunggu!"
Langkah Syerin terhenti. Dengan dahi berkerut dan perasaan gusar, ia memutar tubuhnya dan menatap Ezra yang kini sedang menunduk dan berusaha mengusap air mata hantu anak kecil tadi. Hantu kecil itu menangis tersedu-sedu sambil menunjuk-nunjuk Syerin, ia menggumamkan sesuatu yang tidak dapat Syerin dengar.
Akhirnya dengan sangat terpaksa, Syerin mendekati Ezra dan hantu itu. Tangannya bersedekap sambil menatap tajam dua mahluk halus di depannya.
"Jangan menangis, biar aku yang membujuknya, dia pasti akan membantumu," ucap Ezra menenangkan anak kecil di hadapannya.
Syerin mengembuskan napas panjang, ia memutuskan untuk mengalah. "Aku harus membantu apa?"
Tangisan hantu kecil itu terhenti, ia mendongak menatap Syerin dengan matanya yang jernih, tidak ada jejak bahwa sebelumnya ia habis menangis. Hantu itu terdiam sesaat, kemudian ia langsung mengatakan permintaannya.
"Tolong tenangkan ibuku ... katakan padanya bahwa aku baik-baik saja dan tidak perlu ditangisi, ia terus menangis sejak kemarin sementara aku tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkannya. Aku tidak akan bisa tenang sebelum melihat senyum ibuku setelah aku meninggal. aku tau ibuku kesepian ... tapi aku tidak ingin dia terus larut dalam kesedihannya.
"Tolong sampaikan pesanku, aku mohon."
Syerin terdiam beberapa saat, namun kemudian ia mengangguk. "Baiklah, beritahu aku dimana ibumu, aku akan menyampaikan pesanmu."
Hantu itu tersenyum senang, matanya berbinar-binar. "Terima kasih banyak."
Syerin tersenyum tipis, begitupun Ezra. Tanpa basa-basi, mereka bertiga segera menuju tempat Ibu si hantu berada dan langsung melaksanakan tugasnya. Tugas Syerin selesai, wanita yang merupakan Ibu si hantu tersenyum dengan air mata yang mengalir, dan ia kini sudah menerima kepergian anaknya.
Dan tepat pada saat itu pula, Syerin dan Ezra melihat hantu anak kecil tadi tersenyum, kemudian menghilang di hadapan mereka dengan perlahan. Awalnya tubuh hantu itu semakin transparan, hingga akhirnya menghilang dan menyisakan butiran-butiran cahaya yang redup.
Syerin sering menghadapi hal ini, mengabulkan permintaan para hantu. Namun Syerin lebih sering menolak permintaan mereka dan tidak ingin ikut campur. Itu terjadi setelah beberapa hantu memintanya untuk menjadi teman mereka, akan tetapi dengan cara bunuh diri dan ikut menjadi hantu untuk selamanya.
Sejak saat itu, Syerin tak mau ambil risiko dengan mengabulkan permintaan para hantu. Meskipun sebenarnya, jika ia berhasil mengabulkan permintaan itu, kehangatan selalu menjalari hatinya dan sekaligus membuatnya lega.
Dan akhirnya, Syerin kembali pulang ke rumahnya, tanpa gangguan sedikitpun.
*~*~*~*
Namun hari esok milik Syerin benar-benar buruk.
Apa lagi ini?
Syerin mendapati rambutnya yang telah ditatanya dengan rapi, basah kuyup. Tubuhnya menggigil saat tengkuknya diterpa angin pagi.
Pagi ini, ketika Syerin sedang berjalan menuju tangga sekolah, dan kemudian tali sepatunya terlepas. Lalu saat Syerin menunduk menatap tali sepatunya, secara tiba-tiba air dingin mengguyur sebagian kepalanya. Membuatnya mendongak untuk menatap siapa yang berani menyiramnya dengan air dingin, akan tetapi hal itu malah membuat air di atas kepalanya mengalir menuju tengkuknya, sementara ia tidak bisa melihat siapa pelakunya.
Tentu saja hal itu membuat emosinya seketika meluap. Siapa yang tidak marah ketika suasana hati sedang baik-baiknya, lalu disulut api dengan perbuatan semenyebalkan itu?
Mungkin Syerin bisa sabar jika orang itu mengganggunya saat pulang sekolah, tapi sepagi ini? Disaat dia sedang dalam penampilan terbaiknya?
Siapapun dia, dia telah merusak pagi hari milikku, batin Syerin.
Cepat-cepat Syerin menaiki tangga, kakinya menghentak-hentak menimbulkan suara nyaring yang membuat beberapa murid menoleh ke arahnya. Namun saat tinggal tiga langkah lagi Syerin dapat mencapai lantai dua, tubuh seseorang menghadang jalannya dengan kedua tangan yang bertumpu dengan tembok dan pegangan tangga.
Dengan dahi berkerut Syerin mendongak, menatap seorang laki-laki yang saat ini menyeringai padanya. Ketika mengetahui siapa yang menghalangi jalannya, mata Syerin memicing, napasnya berubah tidak beraturan seiring jantungnya yang berdegup kencang.
"Kau lagi," ucap Syerin datar.
Laki-laki itu menyeringai. "Hai Syerin. Kau terlihat sangat mengantuk tadi, jadi kau kusiram dengan air. Yah ... walaupun sedikit meleset, tapi setidaknya kau sudah tidak mengantuk, kan?"
Tangan Syerin terkepal kuat. Ia mendengus sambil menyeringai. Tanpa mengatakan sepatah katapun, kaki Syerin menginjak kaki Teo kasar dan mendorongnya paksa hingga laki-laki itu mundur menuju lantai dua. Seketika Syerin menendang tulang kering milik Teo sekuat tenaga, membuat laki-laki itu meringis dan terjatuh dari tempatnya berdiri.
Syerin tersenyum lebar, kemudian ia langsung meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan tatapan takut dari murid-murid yang lain. Syerin mengibaskan rambut, membuat bulir-bulir air terlempar dari ujung helai rambut pendeknya.
Sepertinya mulai hari ini aku akan membenci laki-laki menyebalkan itu, batinnya.
Akhirnya Syerin sampai di ambang pintu kelas, ia memperhatikan seisi ruang yang kini sudah diramaikan oleh para murid. Syerin memperhatikan Lula, teman sebangkunya, yang kini sedang bersenda gurau dengan murid yang lain. Syerin mendekati mereka.
Namun saat Syerin sudah meletakkan tasnya di bangku, Lula menyadari kehadirannya. Tiba-tiba Lula beranjak dari tempat duduknya sembari mengambil tas miliknya.
"Kenapa kau mengambil tasmu?" Tanya Syerin.
"Aku mau mau pindah."
"Kemana?"
"Aku akan pindah sementara di tempat duduk Ezra. Di sana lebih nyaman daripada harus duduk denganmu," ucap Lula sambil menatap tajam pada Syerin.
"Tapi ... kenapa?"
Lula mendengus, "Kau pikir aku tidak melihat saat kau mendorong dan menendang Teo tadi? Aku melihat semuanya dari ambang pintu kelas!"
"Lalu kenapa?"
"Kau masih tidak mengerti?" tanya Lula, "dengar ini Syerin, aku takut kau akan melakukan hal yang sama padaku. Jadi aku tidak mau mengambil risiko!"
Syerin hanya bergeming mendengarkan kata-kata Lula.
"Apa kau tahu Syerin? Setelah rumor kemarin, bahwa kau telah mencelakai Ezra. Kau terlihat menyeramkan di mataku, dan kini itu semua terbukti saat aku melihatmu mengganggu Teo." Lula membuang wajahnya dari Syerin dan pergi berlalu meninggalkannya.
Syerin masih bergeming, mencerna semua kata-kata teman sebangkunya itu. Namun kemudian bahunya mengendik tak acuh dan duduk dengan tenang di bangku miliknya.
"Terserah, aku sudah tidak peduli lagi."
Bersambung.
(Sabtu, 11 Januari 2017)
Author Note :
Alurnya kecepetan nggak ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro