Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. S E D I A P A Y U N G

"Rain! Rain!"

"Oper bolanya!"

Vay berteriak dengan lantang, bola itu mengelinding ke arah Rain yang bersila manis duduk di pinggir lapangan.

Gadis itu tidak menyukai apapun sebagaian yang menguras tenaganya. Meski Rain diajarkan mandiri, tetapi gadis itu selalu bertaut dengan prinsip apa yang pantas untuk diperjuangkan. Selain itu, ia tak akan mengubrisnya kembali.

"Rain! Oper ke kita!" teriak Vay lagi berseru lebih lantang.

Mau tidak mau, Rain melemparkannya ke arah tim Vay. Tanpa disadari, karena lemparannya terpental jauh bola itu mengenai kandang siswa pria.

"Yah! Rain! Lo ngelempar terlalu jauh." Vay mendekat ke arah Rain menegurnya.

Salah satu siswa dari kelasnya yang tidak sengaja mengenai lemparan bola itu memasuki kandang siswi dengan tampang sok berani, seperti para bad boy penguasa sekolah.

"Siapa yang lempar ni bola?"

Itu adalah Nap dengan tampang sok bad boy, bagimana pun dengan ekspresi itu tidak membuat para siswi kelasnya takut, yang ada bergelitik menertawainya.

"Masih ada yang gak ngaku?" Nap mengulang pertanyaannya kembali diikuti oleh ketiga teman lainnya.

Vay berulang kali menyengol lengan Rain, agar setidaknya salah satu dari mereka berbicara terlebih dahulu.

"Najis banget, Nap. Kasihan tuh cewek gue ketakutan gara-gara lo." Samudera, salah satu dari mereka menjitak Nap dengan keras.

Sudah kena pantulan bola, ditambah jitakan Samudera. Lengkap pula penderitaan Nap kali ini. "Gue gak mau kepala gue bocor, ya?!"

"Ya kalau ban bocor, di tembel aja, kalik!" 

Rain yang sedaritadi ditatap oleh Nail, karena tidak sengaja posisi mereka berhadapan. Membuatnya sesegera ingin mengakhirinya.

"G-gue gak senagaja ... s-sorry."

Karena Rain, adalah teman Vay, gadis yang suka diggodanya, membuat sifat Samudera, yang suka memperkeruh suasana itu kali ini menghakimi di pihak tengah. "Dia udah ngaku, 'kan? Udah minta maaf pula."

Rain merasakan tubuhnya tiba-tiba mendadak dingin. Pepohonan disekitarnya pun tertiup angin kencang. Ia dapat menduga bahwa hujan akan turun dalam kisaran beberapa menit lagi.

Belum apa-apa mereka beranjak pergi, guyuran hujan membasahi tubuh para murid kelas XII-F. Sebagaian dari mereka berlarian mencari tempat berteduh, tidak jarang pula para lelaki melanjutkan bermain sepak bola di tengah lapangan.

"Lanjut atau sampai sini?" tegur Samudera kepada tiga temannya yang saat ini masih bersamanya.

Mereka berlarian ke salah satu tempat. Terkecuali, Nail. Lelaki itu menghentikan langkahnya, ketika gadis yang paling ia kenali sebagai penyuka hujan itu memeluk dirinya sendiri seolah merasa kedinginan.

Rasanya aneh, jika Rain dulu, ia akan melambaikan tangannya di tengah guyuran air hujan. Tidak berkutit dengan pemikiran itu, Neil segera menuntutnya ke ruang UKS.

"Rain ...."

Sekian beberapa detik tidak mendapat respon, gadis yang seraya dipangil oleh Nail itu pun mendongak.

Karena lawan bicaranya itu tidak kunjung membuka suara, Rain kembali memihak. "Kalau gak ada apa-apa lagi, gue balik. Thanks."

Setidaknya Rain mengucapkan terimakasih. Bukankah begitu?

"Gue minta maaf."

Sekian detik langkah Rain terhenti mendengar apa yang dilontarkan lelaki itu.

***

Bulan-bulan seperti rasanya hujan selalu datang tidak diundang, dan pergi seenaknya. Sama seperti doi, yang selalu mengharapkan ketidakpastian.

Neil masih berdiri diambang koridor kelas dua belas merintih tangannya ke rintikan hujan selagi memperhatikan beberapa gerumbulan anak-anak keluar dari desakan antrian kelas.

Sekilas kenangan masa kecilnya hilang begitu saja. Mengingat perkataan Rain yang membuat bibirnya mendadak keluh.

"Gue minta maaf."

Nail berteriak dengan lantang. Meski diperhatikan beberapa siswa maupun siswi dari teman satu kelas mereka.

"Maaf, buat apa?" Rain berbalik arah kembali mengarah ruangan UKS, dimana lelaki itu masih berada di posisinya.

"Maaf karena gue ngerasa bukan baik buat lo."

Hampir saja nafas Neil tercekat meratapi kesalahannya. Lebih tepatnya ia tak akan mengerti letak kesalahannya dimana, jika salah satu dari mereka tidak pernah membuka suara.

"Kita pernah 'teman'?" Gadis berkuncrit kuda itu menyipitkan mata ditambah dengan perkataanya menekan kata 'teman' sekilas membuat rulung hatinya seperti dicabik-cabik jarum jahit.

Sepertinya Nail harus menjahit hatinya kembali agar lebih tegar.

Rain menyerka airmatanya yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba. Mengapa disana suasana seperti ini, airmatanya tidak bisa diajak berkompromi?

"Lo kemana aja, saat gue butuh lo?"

"Lo itu brengsek, Neil! Datang dan pergi sesuka hati!"

Rain mencurahkan isi hatinya dengan sesak yang selama ini bedung. Airmatanya terus saja mengalir seperti hujan yang saat ini membasahi makhluk hidup di bumi.

Nail yang akan mengelap airmatanya, segera mendapatkan tingkisan dari gadis itu. Ia memilih membiarkan tangisannya kali ini berangsur menghilang dengan sendirinya, seperti luka yang masih mengores di relung hatinya.

Terkadang menangis dengan mengelurkan air mata adalah satu cara mengeluarkan berbagai ekspresi.

"Rain ... g-gue minta maaf."

Seketika beberapa detik hening, gadis itu menyerka airmata belahan bangkit. "Gue harap kita gak pernah jadi 'teman' lagi."

Lamunannya terhenti ketika nama gadis yang sedang dilamunkannya disebut oleh beberapa perempuan teman satu kelasnya.

"Rain! OMG! Luka lo harus diobati!"

Atensi itu muncul beralih mengarah ke dua gadis yang masih berada di ambang pintu menyangah berdirinya.

Neil sempat memperhatikan luka di gadis itu segera mendekat ke arahnya. "Biar gue anter ke UKS!"

Sebelum mendapat tolakan, Neil melajuhkan langkahnya. Selagi menyangah langkah kecil Rain. Vay pun merasa dihiraukan dengan kedua remaja itu berteriak, "Woi! Gue masih disini!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro