Railway in Love - step 2
Duh, bosku tu emang baiknya minta ampun. Biasanya ni, kalau ada urusan dengan klien, para pengacara yang bekerja di kantornya harus mengurus transport sendiri. Nggak susah sih, secara hampir semua punya mobil. Ya, bukannya sombong, aku juga punya honda accord yang duduk manis di rumah *eh itu sombong ya*. Tapi papa, mama dan abangku nggak ngijinin aku bawa mobil lagi gara-gara aku pernah nabrak tukang bakso dan papa harus ganti rugi gerobak dan isi-isinya. Pernah sih di kasih supir, tapi genitnya naujubilah. Kerjaannya flirting mulu, atau ngegodain mbak Ayu, sampai mbak Ayu nangis-nangis minta pulang kampung.
Okay kembali ke topik, aku sekarang sedang duduk manis di mercedes hitam mengkilap punya pak Harsya dan di supiri oleh sopir pribadinya. Aku menghirup nafas dalam dan mencium aroma khas pak Harsya di mobilnya. Membayangkan betapa beruntungnya nih ya kalau suatu hari nanti cewek yang jadi pasangannya. Punya suami ganteng, kaya, baik, dan harumnya menggoda lagi. Yang jelas cewek itu harus pakai baju besi dan helm kemana-mana, guna menghindari amuk massa dari cewek-cewek yang sirik.
Meskipun sampai saat ini aku nggak pernah lihat dia bareng cewek, tapi desas desus yang aku denger dari Cilla si biang gosip kantor, pak Harsya pernah tunangan, eh terus tunangannya ninggalin gitu aja, malah nerusin sekolahnya ke Jepang. Ckckck..nggak normal tu cewek. Ibaratnya ni lagi mancing , udah dapet ikan gede terus di lepas lagi.
Aku memandang keluar jendela. Jalanan Jakarta terlihat padat siang ini, nggak heran sih, Jakarta sekarang bener-bener bisa bikin tua di jalan. Untungnya tadi aku prepare berangkat sejam sebelumnya. Mobil yang kutumpangi masuk ke kawasan gedung perkantoran mewah dan berhenti di depan lobby gedung yang bangunannya unik. Nuansa warna bangunannya hitam dan abu-abu. Dan saat aku melangkah masuk ke dalamnya, aku ternganga karena kagum. Furniture yang ada di dalamnya terlihat mewah dan minimalis, selain itu kantor ini adalah kantor terbersih yang pernah aku datangi, selain kantorku sendiri tentunya.
Kakiku melangkah menuju meja besar resepsionis. Wanita dengan penampilan rapih dan wajah manis berdiri menyambutku.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Ujarnya ramah.
"Saya Andara Rasyid dari Harsya Bramanta Law Firm, ingin bertemu dengan bapak Ribeldi Bimantara. Saya sudah buat janji dengan sekretarisnya."
"Baik..Anda pakai lift yang tengah menuju lantai 15, sekretarisnya menunggu anda disana.."
Aku mengucapkan terima kasih kemudian bergegas naik ke lift dan memencet tombol 15. Ini bukan pertama kalinya aku menemui dan berurusan dengan klien. Meskipun aku baru 6 bulan bekerja di law firm tetapi pak Harsya dengan senang hati mengajakku ikut dalam kasus-kasus besar. Ya kecuali kasus ini. Penasaran sekali aku pengen ketemu sama sahabatnya Pak Harsya yang punya kasus ala selebriti ini.
Ting!
Lift berhenti di angka 15 dan aku turun. Wow! Aku bersiul pelan. Kalau aku tadi memuja-muja bagian lobby kantor. Maka itu hanya setengahnya dari lantai CEO di lantai 15 ini. Furniturenya di dominasi warna hitam, putih dan cream. Sebuah sofa panjang terlihat di sudut ruangan, ada meja sekretaris dan di sampingnya ada pintu ganda berukuran besar.
Aku celingukan mencari sekretaris yang seharusnya sih sedang duduk manis di meja itu. Ruangan ini benar-benar sunyi senyap, dan aku tambah bingung sekarang harus bertanya pada siapa. Aku putuskan mendekati pintu ganda itu dan mencoba mengetuknya. Ini pasti ruangannya kan, papan nama di pintu sih tertulis
RIBELDI BIMANTARA
CEO Bimantara Group
Tanganku sudah dalam posisi siap mengetuk pintu ketika sayup-sayup aku dengar suara orang bicara. Eh ralat, bukan bicara tapi mendesah!
Aah..ibel..C'mon Baby..
Aku merinding mendengarnya, apa itu? siang-siang? Di kantor? Make out? Waa orang ini pasti sudah gila..
Bukannya melangkah mundur, aku malah kepo dan menempelkan kupingku di pintu berwarna cokelat tua itu.
Suara desahan itu makin lama makin kuat.
Jujur aja, meskipun jijik tapi aku penasaran banget. Makhluk macam apa yang berada di dalam sana.
Sialnya..pintu itu berayun dan aku terdorong masuk ke dalam lengkap dengan ekspresi terkejut. Beruntung aku tidak jatuh.
Tapi pemandangan di depanku niscaya lebih membuatku terkejut dan melongo. Seorang cewek yang memakai dress putih mini yang kondisinya sudah acak-acakan, sedang duduk di pangkuan seorang cowok yang mukanya datar dan matanya sedang menatapku tajam seperti elang, kelihatan aura membunuh darinya karena aku sudah mengganggu "apapun" yang sedang dia lakukan.
Hih! Dasar nggak tahu malu! Mimpi apa aku punya klien macam dia..
Aku berdehem, inget profesionalitas, Andara..
"Selamat siang..Bapak Ribeldi Bimantara, maaf mengganggu. Saya Andara Riana Rasyid dari Harsya Bramanta Law Firm."
Dia mengangkat alis kemudian menurunkan wanita yang berwajah mesum itu lalu kemudian memberikan kode padanya untuk keluar. Meskipun dengan muka kesal, tapi dia melangkahkan kakinya keluar. Ketika di sampingku dia melemparkan tatapan sinis yang langsung kupelototi.
Heh..memangnya dia siapa, siang-siang ke kantor orang kerjaannya cuma ah-eh-oh doang. Malu-maluin kaumnya aja.
Sementara si cowok itu merapikan bajunya dan berdiri kemudian berjalan di depanku dengan santai.
Astaga! Ini makhluk dari planet mana sih. Nggak ada cowok yang harus seganteng dia. Kalo pak Harsya nilainya 9, maka sahabatnya ini 9,85. Hampir sempurna. Belum lagi saat dia menjalan mendekat tercium aroma parfume Bvlgari yang bisa membuat cewek manapun telanjang dengan ikhlasnya.
Dia berdiri sekitar satu meter dariku. Matanya yang tajam berbinar geli saat menatap dan menyelidiki aku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuatku risih.
Dasar nggak sopan! Ganteng sih, tapi kalo cabul sama aja bohong!
Kemudian suara dalam miliknya akhirnya terdengar, "Jadi, kamu yang dikirim Harsya kemari?"
Shit! Suaranya itu lho..bikin merinding bulu-bulu kuduk..
Aku berdehem dan menunjukkan senyum profesionalku, "Iya pak.."
Lalu dia tanpa repot-repot menyuruhku duduk, apalagi menawarkan minum, mengeluarkan iPhone dari saku celana dan menghubungi seseorang. Matanya masih menatap ke arahku.
"Harsya, lo gila kali ya! Gue bayar mahal jasa lo, kenapa lo malah ngirim anak kecil ke kantor gue?"
Dia berkata-kata datar, tanpa ekspresi. Dan aku baru menyadari dia menelepon sahabatnya yang juga bosku.
Dia tadi bilang apa? Anak kecil?
Kutarik semua perkataanku tentang nilai kegantengannya, dan harum tubuhnya. Manusia di depanku ini selain cabul, rupanya juga angkuh, dan menyebalkan luar biasa. Benar-benar sial!
***
Aku mengetuk-ngetukkan sepatuku di lantai. Saat ini Ribeldi yang kurang ajar itu masih berada dalam sambungan telepon dengan bosku. Dan entah apa yang mereka bicarakan karena dia itu tidak lagi berdiri berhadap-hadapan sambil menatapku. Dia berjalan menuju jendela besar di belakang mejanya. Aku menahan keinginan untuk mendorongnya melalui jendela besar itu. Pasti akan jadi topik hangat di koran-koran besok pagi, "Seorang pengacara cantik mendorong kliennya yaitu pengusaha muda dari lantai 15 karena tidak tahan dengan gaya kliennya yang belagu"
Pikiran itu membuatku terkekeh.
"Saya membayar anda bukan untuk cengengesan di kantor saya!"
Suaranya membuatku terlonjak.
Nyantai aja kali, pak. Nggak usah pake toa' gitu.
Kali ini aku berani menatap matanya, berusaha menantangnya.
"Seingat saya, saya tidak cengengesan. Saya tertawa kecil karena satu dan lain hal dalam pikiran saya, dan perlu di ingat, saya melakukannya saat anda sedang menelepon bukan saat kita sedang berbicara. Jadi seharusnya tidak ada masalah."
Dia mengangkat alis, kaget sepertinya.
Eat that, man! Gue nggak takut ama lo!
"Dan satu hal lagi Bapak Ribeldi.." Mumpung lagi di atas angin, "Saya bukan anak kecil. Saya wanita 23 tahun. Harap anda pahami itu."
Lalu dengan berusaha seanggun mungkin aku berbalik dan menuju pintu keluar. Ekspresinya terakhir saat kulihat, dia cukup kaget.
Syukurin!
Aku melewati meja sekretarisnya, dan seorang wanita yang duduk disana hanya terbengong melihatku. Kemana aja sih mbak? Gara-gara anda saya harus menyaksikan adegan 18+ live. Aku bergegas menuju lift dan turun ke bawah. Rasanya lega sekali bisa berada jauh dari cowok jelmaan iblis itu.
Setelah sampai lobby mewah itu barulah aku sadar. Kenapa aku pergi? Harusnya kan aku tetap berada di atas, dan mengambil keterangan tentang permasalahannya. Trus kenapa aku harus marah-marah dan pulang tanpa membawa hasil?
Ck..Matilah aku..
*To Be Continue*
--------------------☆☆☆-----------------
Hai,
trimakasi buat yang udah baca, vote dan komen.. i really appreciate it :))
jangan lupa vote dan komen lagi ya :D
Love,
Vy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro