The Best Ending
Namaku, Revan Avandra Arima. Mataku melihat apapun, telingaku mendengar segala hal, batinku terusik setiap detik pada aura manusia-manusia yang ada di sekitarku. Muak, benci, risih, dan masih banyak hal lagi yang tidak bisa ku gambarkan. Tapi, satu hal yang harus kalian tahu. Aku tidak membenci manusia. Yang aku benci adalah makhluk-makhluk yang berada di sekitar mereka.
Rupa mereka beraneka ragam. Dari wajahnya lengkap, tidak ada mata, sampai semuanya rata. Mereka sering terlihat di sekitar manusia-manusia yang seumur hidupnya terus merasa dirinya paling menderita di dunia ini. Jadi, apa kamu masih mau terus meratapi nasib dan tanpa kamu sadari banyak yang menemanimu? Pilihan ada padamu, manusia.
DUK
“Maaf, maaf.”
Ini yang tidak kusukai saat menaiki kereta. Dorongan anarkis yang berasal dari segala arah siap menghujam dadaku kapan saja. Untung gadis ini manis, aku tidak terlalu emosi. Meskipun aku khawatir dengan kadar gula darah setelah turun dari kereta ini.
Karena posisi gadis ini benar-benar ada tepat di hadapanku, aku jadi tidak bisa melanjutkan membaca komik. Terlalu awkward kalau aku sama sekali tidak mengajaknya bicara, mengingat seragam kita sama.
“Seragam kita sama. Kelas berapa?”
Tatapan bingungnya menatapku seakan jijik. Sudah biasa. Entah dari mana gosip tentang bagaimana menyeramkannya diriku tersebar luas seantero sekolah. Aku tidak yakin ada tukang gosip di kelasku, karena orang-orang aneh tidak bergosip. Jadi, mungkin ini ulah salah satu guru. Ibu Anjani mungkin. Karena dia guru Bahasa Indonesia, mengarang adalah kehebatannya.
Pemberhentian berikutnya, Stasiun …
Kereta perlahan mulai melambat, hingga akhirnya roda berhenti berputar. Pintu terbuka, kutarik tangan gadis ini untuk keluar dari kereta. Kasar memang, tapi aku tidak ada pilihan lain.
“Eh, apa sih lo tarik-tarik gue? Sakit tau!”
“Naik kereta lain.”
Wajahnya semakin terlihat bingung mendengar ucapanku. Dia berbalik badan, bermaksud untuk kembali ke kereta. Aku menahan tasnya, sampai dia benar-benar tidak bisa bergerak.
“Revan! Nama lo Revan kan? Lepas atau gue teriak,” ancamnya.
Takut …
Pintu kereta pun tertutup. Siap berangkat meninggalkan kami berdua.
“Tuh kan, udah berangkat lagi. Bercanda lo gak lucu tau! Gue bisa telat kalo gini.”
Bla, bla, bla. Aku tidak peduli teriakan dan ocehanmu, singa betina. Meninggalkannya adalah pilihan yang tepat.
“Eh Revan, mau ke mana lo? Tanggung jawab!”
Untuk apa? Masih banyak waktu sebelum bel masuk berbunyi. Belum mengerjakan PR? Mungkin.
BUMM!
“Astaghfirullah!”
“Itu tolongin penumpang di gerbong lain, cepet!”
“Astaghfirullahalazim, gusti Allah.”
Parade teriakan kepanikan orang-orang di stasiun pun dimulai. Gerbong kereta yang kunaiki tadi, ditabrak sebuah truk besar karena truk mengalami rem blong. Semua penumpang di gerbong itu tewas kecuali, aku dan gadis tadi. Itulah alasanku menarik tanganmu, singa betina. Untuk itu, aku ucapkan sama-sama.
***
Udara di sekitar masih tercium seperti dedaunan. Matahari sudah terbit tapi belum terlalu menunjukkan eksistensinya. Sekolah ini juga masih sepi layaknya taman hiburan di hari biasa. Dengan angkuh aku merasa sebagai murid teladan karena masuk paling pertama, tapi sirna begitu saja begitu melihat pojok kiri kelas.
Namanya, Aurelia. Dia murid, tenang saja. Bukan makhluk tak kasat mata. Tapi, kalau kalian ingin tahu, aku adalah makhluk kedelapan yang baru masuk kelas ini. Sementara Aurelia melamun, enam yang lainnya sedang menatap ke arahku. Kelas ini tersedia 30 kursi, di mana hanya 24 kursi yang diduduki. Enam kursi kosong tak berpenghuni, kata murid lain. Tapi, tidak bagiku.
Aku sudah terbiasa mengacuhkan mereka, dan mereka juga sudah bosan menggodaku karena aku sama sekali tidak terpengaruh. Jadi, marilah mulai pagi ini dengan asupan sayuran segar dan komik.
Aku adalah vegetarian. Aku terpaksa. Aku pernah datang langsung ke peternakan sapi dan aku sangat menyesal pernah menginjakkan kaki di sana. Sapi-sapi di sana mengutarakan perasaan mereka lewat intuisi yang mereka sampaikan padaku. Batinku merasakan hal yang sangat mengerikan saat itu. Perasaan di mana sebentar lagi akan menjadi santapan. Setiap kali aku makan daging, perasaan kala itu mencuat ke permukaan. Akhirnya aku memutuskan untuk jadi vegetarian sejak saat itu. Dari situ, kalian sudah tahu tempat apa yang tidak akan pernah aku kunjungi seumur hidupku. Iya, benar. Perkebunan dan pertanian.
Baru saja sebentar merasakan kenikmatan indahnya pagi hari dengan asupan komik, aura mengerikan semakin mendekat masuk ke kelas ini. Aku tahu persis siapa ini, merusak pagiku saja. Aca ‘Si Bendahara’. Jangan tertipu pada wajah cantiknya yang membuat para laki-laki terpesona. Setelah mengenalnya lebih dekat, kalian akan paham betapa mengerikannya dia jika sudah membawa senjatanya. Buku tulis “Sinar Dunia”. Lari lah atau berpura-pura mati kalau dia sudah datang menghampiri membawa senjatanya itu. Tapi, di sisi lain aku kagum padanya. Hubungannya dengan laki-laki yang bernama Andra, terasa menyejukkan buatku. Dua manusia yang saling mencintai, tak ada yang lebih indah dari itu.
Satu-persatu personil dari kelas ini mulai berdatangan dan duduk di posisinya masing-masing. Beberapa tokoh utama juga sudah mulai menunjukkan perannya di kelas ini. Aca menagih uang kas, Ica sibuk dengan buku absen dan Ken yang entah sedang melakukan apa di mejanya karena aku tidak bisa melihatnya dari posisiku ini.
BRUK!
Si antagonis datang.
“Gara-gara macet, gue hampir aja telat.”
Namanya, Calamara. Teman sebangkuku. Jangan tanya seberapa akrab kami. Aku meliriknya sedikit, dia langsung menatapku sinis. Jadi, kami berdua dekat sekali bukan?
Aku sengaja membicarakan hal-hal tabu hanya padanya bukan karena aku ingin dia mulai simpatik padaku. Tapi, tujuannya untuk membuat dia semakin menjauhiku. Semakin benci dia, semakin bagus buatku.
Tidak terasa sudah dua tahun lamanya bersama dengan mereka semua di kelas ini. Sebenarnya aku ingin sekali merasakan tahun ketiga dengan mereka, tapi sepertinya hal itu tidak bisa terwujud.
***
“Baiklah kalian udah pegang lembar formulirnya. Jadi, kegiatan ini berpengaruh terhadap nilai kalian. Kalau kalian nggak ikut, otomatis nilai Bahasa Indonesia kalian jadi nggak sempurna.”
Bu Anjani berdiri di depan kelas memegang kertas formulir di tangannya dan menggoda atau bisa dibilang mengancam secara halus kepada kami.
“Ngapain lo ngeliat kertas formulir sampe segitunya?”
Ketus sekali perempuan ini.
“Nggak, gak apa-apa. Lo ikut?”
“Ikutlah kalo udah menyangkut nilai gini. Bokap gue bisa marah kalo gue sampe dapet nilai kurang bagus.”
“Bokap baru lo?”
“Gak usah diperjelas.”
Kali ini bukan hanya perkataan saja yang ketus, tapi tatapan sinisnya juga tajam sekali menusuk pandangan kedua mataku.
***
“Apa nggak sayang, Ibu? Nanti Revan jadi tidak punya kesempatan untuk mengembangkan dirinya.”
“Mau bagaimana lagi ya, Bu Anjani. Soalnya saya sekeluarga sudah merencanakan sejak lama. Jadi, tidak bisa dibatalkan gitu aja. Kasian Revannya kalau dia gak bisa ngerasain kumpul keluarga.”
Ibu Anjani sedang berbincang dengan ibuku, membicarakan tentang diriku yang tidak bisa mengikuti kegiatan study tour yang dibuat olehnya.
Aku bisa melihat dengan jelas wajah kecewa yang tergambar di raut wajah Ibu Anjani. Bahkan aku bisa merasakan dengan jelas aura kesedihan yang saat ini kental terasa terpancar dari tubuhnya.
“Oke, kalau begitu Revan akan saya kasih tugas pribadi. Jadi, Revan tetap dapat nilai yang sama besarnya dengan teman-temannya yang lain.”
“Terima kasih, Ibu Anjani. Sudah mau mengerti.”
Senyuman ibuku tulus, sedangkan senyuman ibu Anjani tidak. Maafkan ibuku jika hal ini membuat anda bersedih, ibuku di sekolah.
Keluar dari ruang guru, ibuku pulang dan aku kembali ke kelas. Sekembalinya ke kelas, si Tampan sudah berdiri bersandar di depan pintu.
“Kau gak ikut study tour?”
“Nggak.”
Pembicaraan yang singkat. Tapi percaya atau tidak, hanya dia orang yang bisa aku panggil teman.
Baru satu langkah melangkahkan kakiku di kelas, aku merasakan sebuah perubahan terjadi dalam diri Maheswari Sifabella atau yang biasa dipanggil Abel. Si pendiam yang tidak pernah bersosialisasi. Sebelumnya ada sesuatu yang mengerikan di dalam kepalanya, aku ingin sekali membantunya. Tapi, syukurlah kalau dia bisa menghilangkannya sendiri.
Telat menyadarinya, aku sudah seperti seorang artis yang menjadi sorotan. Semua mata tertuju padaku, baik mata yang terlihat maupun yang tidak. Aku tidak mau menanggapinya lebih jauh, kembali saja ke kursiku dan jalani segalanya seakan tidak terjadi apa-apa.
Saat melewati meja Ken, tangannya yang cukup besar memegang pundakku.
“Lo yakin nggak apa-apa kalo gak ikut besok, Van?”
“Yakin.”
Rasa simpatimu kuberi nilai sempurna, mata empat. Tapi, sayangnya hal itu tidak akan merubah apapun.
Kadang aku merasa heran. Di saat seperti ini mereka merasa sedih dengan apa yang aku alami, tapi di hari lain mereka ketakutan padaku. Apa maunya orang-orang ini?
“Gue bawain oleh-oleh wortel ntar, tenang aja, Van.”
Sakit tapi tidak berdarah. Simpati dengan caranya sendiri, luar biasa Calamara.
Bel pulang sekolah pun berbunyi, di saat itulah aku merasakan kekompakan kelas ini. Bel pulang sekolah di hari Jumat, siapa yang tidak senang?
Satu-persatu dari mereka mulai meninggalkan kelas. Beberapa tetap berada di kelas, bersenda gurau sebelum pulang. Sementara aku, diam di kursiku menatap ke luar jendela. Melihat betapa indahnya langit.
***
Senin. Waktunya memulai rutinitas kembali. Kereta yang penuh dan berdesakan, bau badan yang tercampur dan masih banyak hal buruk lainnya.
Pemandanganku diperparah dengan semakin mendekatnya murid yang waktu itu sempat aku tolong. Dari gerak-gerik dan ekspresi wajahnya bisa kulihat kalau dia ingin mengenalku lebih dekat.
“Van.”
Panggilan pelannya jauh lebih enak didengar dibandingkan teriakannya.
“Kenapa?”
“Gue ucapin terima kasih soal kejadian waktu itu. Sorry, gue baru berani ngomong langsung sama lo sekarang karena gue sendiri semakin takut sama lo setelah kejadian itu. Tapi, sekarang gue udah gak takut kok.”
“Sama-sama.”
Permintaan maafnya tulus, tapi senyumannya tidak. Aku bisa dengan jelas melihat kalau kau masih takut kepadaku.
“Lo pasti kuat ngadepin semua itu.”
Itu baru senyuman yang tulus. Tapi, aku tidak butuh simpati semacam itu. Aku dekatkan kepalaku ke telinganya.
“Sesuatu selalu ngikutin lo selama ini, hati-hati.”
Wajahnya semakin ketakutan begitu mendengar peringatan dariku. Tanpa berbicara apa-apa lagi, dia pergi dari hadapanku, diam tanpa kata. Begitulah yang aku mau, pergi jauh sana.
Sampai di sekolah tidak sepagi biasanya, aku tidak yakin kalau aku datang paling awal. Alasanku datang lebih pagi setiap hari karena tidak mau menjadi sorotan seperti sekarang ini. Sepanjang perjalanan ke kelas semua ekspresi takut, cemas, dan masih banyak ekspresi lain, menjadi penghias pagiku.
Sampai di kelas. Sepi. Di sisi lain aku bangga jadi yang pertama, tapi di sisi lain tidak. Aku duduk di kursi kesayanganku di pojok kanan ruangan. Menikmati kekosongan kelas dengan seikat wortel.
“Revan.”
Dari depan pintu masuk kelas, Pak Gana, kepala sekolah sudah berdiri memanggilku dengan ekspresinya yang terlihat sedih. Karena aku bukan anak kurang ajar, aku hampiri dirinya meskipun sebenarnya aku tidak mau.
Dia langsung memelukku tanpa izin. Dari suara tarikan napasnya, aku tahu kalau dia sedang menangis saat ini. Kalau dia bersimpati kepadaku, lalu kenapa dia yang menangis?
Pelukannya dia lepas dariku, kedua tangannya mencengkram kuat kedua pundakku, tatapannya sayu dengan mata merah bergaris menghiasi bagian putih matanya.
“Kamu yang kuat, ya. Kalo kamu butuh tempat untuk berbagi, bapak siap kapan aja.”
“Saya turut berduka soal Gara.”
“Terima kasih.”
Dia terus mencengkram kuat pundakku seakan mengisyaratkan padaku betapa sedih yang dia rasakan saat ini. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, tersenyum padanya, menuruti perkataannya. Dia pun pergi setelah itu. Aku rasa, sudah waktunya aku pergi juga.
Aku kembali ke kelas, mengambil tasku. Melihat sekeliling kelas untuk terakhir kalinya. Aku tersenyum, mengingat bagaimana orang-orang di kelas ini memperlakukanku, aku tidak marah ataupun dendam. Jauh dalam lubuk hatiku, aku sangat menyayangi mereka semua.
Baru satu langkah keluar dari kelas, seseorang yang penuh dengan amarah mencengkram kerah bajuku dan mendorongku ke tembok.
“Lo tau kan kalo hal ini bakalan terjadi? Jawab!”
Ekspresi marah Andra tulus sekali, aku kagum.
“Jangan diem doang! Jawab, sialan!”
“Gue nggak paham apa yang lo maksud.”
BRUAKK!
Satu pukulan keras di pipi saat pagi hari, sarapan yang cukup menarik. Terima kasih, Andra.
“Lo harusnya tau betapa sayangnya gue ke dia. Kalo lo tau hal ini bakalan terjadi, kenapa lo nggak cegah dia buat ikut?”
Kami berdua menjadi tontonan. Ini pertama kalinya aku menjadi sorotan selain karena betapa menyeramkannya diriku.
Aku bangkit, menatap tajam mata Andra, berharap dia bisa memahami apa yang akan aku katakan ini.
“Selama Aca ada di hati lo, dia gak akan pernah pergi ke mana pun.”
Aku berbalik pergi, berniat untuk kembali meneruskan langkahku keluar dari sekolah ini.
“Mau kemana pun lo pergi, lo tetep akan di cap sebagai pembunuh, Revan. Lo udah ngebiarin temen-temen sekelas lo meninggal!”
Seketika emosiku mencuat mendengarkan perkataan Andra. Tapi, kalau aku lampiaskan, aku akan terlihat semakin buruk di mata orang lain. Karena kalau aku melayaninya, itu artinya aku memang bersalah.
Aku melirik ke belakang tanpa berbalik badan, mengepal kuat kedua tanganku dan terus berusaha menjaga emosiku dengan baik.
“Cuma itu yang bisa gue lakuin untuk mereka. Gue melakukan hal ini karena gue mencintai mereka semua layaknya seorang sahabat. Jadi, terserah lo mau bilang apa. Yang jelas, yang gue lakukan ini adalah akhir terbaik yang bisa gue berikan.”
Kembali melangkahkan kakiku pergi dari sekolah. Pandangan mata orang di sekelilingku masih tidak berubah. Kalau mereka ingin memukulku atau semacamnya, lakukan saja. Aku akan menerimanya dengan senang hati. Sesampainya di luar sekolah, waktunya kembali menjadi diriku.
Aku akan melakukan perkenalan ulang. Namaku, Avandra. Revan dan Arima hanyalah nama tambahan sebagai pendukung tugasku. Aku seorang Dewa Kematian. Aku diperintah kan oleh-’Nya’ menangani skenario kematian semua anak di kelas itu. Mari kuperlihatkan pada kalian kenapa aku membiarkan mereka meninggal dalam kecelakaan di Study Tour.
Aku ambil komik yang biasa kubawa setiap hari dari dalam tasku. Kalau kalian manusia, kalian akan melihatnya sebagai komik. Tapi, kalau kalian Dewa Kematian sepertiku, kalian akan melihatnya sebagai buku hitam tebal. Ini adalah catatan kematian. Siap melihatnya? Selamat menikmati.
Rena Riana. Gantung diri setelah kontraknya dengan penerbit habis, meninggal di usia 19 tahun.
Natasya Azalea Yasmin. Mengalami kecelakaan saat pergi menuju ke kampusnya, meninggal di usia 20 tahun.
Susan. Dibunuh rekan kerjanya karena masalah pekerjaan, meninggal di usia 24 tahun.
Maheswari Sifabella. Gantung diri setelah ibunya meninggal, meninggal di usia 18 tahun.
Saras Ambarani. Lompat dari sebuah apartemen setelah merasa bahwa dirinya menjadi penyebab kematian ibu tirinya, meninggal di usia 22 tahun.
Clarisa. Tubuhnya menyerah setelah terus berusaha sembuh dari kanker otak yang dialaminya, meninggal di usia 23 tahun.
Calamara. Ditemukan tewas terbunuh di sebuah gedung yang tidak terpakai, meninggal di usia 17 tahun.
Rakaevan Putra. Bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya setelah membunuh Calamara, meninggal di usia 17 tahun.
Himalaya Thealita. Gantung diri setelah mengalami pembullyan di sekolah barunya saat kelas 3 SMA, meninggal di usia 17 tahun.
Gatra Supraba. Terkena serangan jantung saat dalam permainan basket membela sekolahnya, meninggal di usia 17 tahun.
Alvi Syahputra. Lompat dari apartemennya setelah meninggalnya Clarisa, meninggal di usia 23 tahun.
Naresh Wisaka. Gantung diri di kamarnya setelah terus merasa bersalah atas kematian adiknya Sania, meninggal di usia 16 tahun.
Yafi. Menderita gangguan kejiwaan setelah imajinasi membawanya terlalu dalam, meninggal di usia 56 tahun setelah 40 tahun lamanya hidup dalam kesendirian.
Ken. Dibunuh oleh teman kampusnya karena perasaan iri atas apa yang dia dapatkan, meninggal di usia 19 tahun.
DEPP!
Cukup sampai di situ kalian melihatnya. Kalau lebih jauh lagi, aku khawatir air mata kalian akan mulai membasahi pipi.
“Masih suka membaca komik, Avandra. Sudah dua tahun kau terus melihatnya tanpa pernah bosan.”
Orang yang kutunggu akhirnya datang juga. Dia membawa kardus besar dengan kertas kecil di atasnya.
“Maaf saja. Aku tidak sepertimu yang tidak suka berlama-lama membaca buku ini, Clint.”
Clint adalah Dewa Kematian, sama sepertiku. Hanya saja kami memiliki perbedaan prinsip. Clint suka menyelidiki, sedangkan aku suka mengamati.
“Ini daftar barang yang kau minta. Buat apa semua barang itu?”
Setelah menerima kertas kecil yang dia berikan, aku tertawa kecil. Mau tahu apa isinya?
- 2 lollipop
- 1 pensil menggambar
- 1 buku tulis ‘Sinar Dunia’
- 1 buah alpukat
- 1 jam wekker
- 1 buku ‘Jurassic Park’
- 1 majalah ‘National Geographic’
- 1 bola basket
- 1 jaket merah muda
- 1 jaket putih
- 1 jaket hitam
- 1 PSP
- 1 bungkus kacang kulit
- 2 sapu tangan biru
“Barang-barang itu adalah persembahan terakhirku untuk mereka. Sebagai tanda terima kasih sudah mengisi dua tahunku ini dengan banyak sekali warna.”
Aku ambil alih kardus yang dibawa oleh Clint, lalu pergi meninggalkannya.
“Kau akan ke makam mereka satu-persatu?”
“Iya.”
“Aku akan menemanimu. Aku ingin melihat langsung bagaimana warna pelangi yang selalu kau ceritakan padaku.”
“Boleh.”
“Jangan lupa juga ucapkan terima kasih pada Kirlia karena sudah mau berpura-pura menjadi ibumu.”
“Iya, aku tidak akan lupa.”
Langkah kakiku keluar dari sekolah ini sebagai salam perpisahan. Tak ada lagi sosok Revan Avandra Arima, sosok itu akan hilang mulai hari ini. Sekarang hanya ada Avandra, Dewa Kematian yang terpaksa selalu memakan sayuran.
Terima kasih, kelas Railete. Kalian berhasil merubah pikiranku yang tetap membiarkan kalian berakhir seperti skenario yang seharusnya. Kini, kalian akan selalu bersama ‘di sana’.
Karena pelangi selalu muncul setiap kali hujan, di saat itulah aku bisa melihat kalian lagi. Warna indah yang selama dua tahun terakhir, mengisi kehampaan Dewa Kematian penyendiri ini. Dan inilah, akhir terbaik yang seharusnya kalian dapatkan. Terus bersama sampai akhir.
Selamat jalan, sahabat-sahabatku.
******
Written by Akumukairu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro