Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Our Cups of Tea

"Senna, kamu sudah baca yang mana?"

"Hah? Iya?"

"Melamun lagi?"

Aku gelagapan karena ketahuan melamun. Aroma teh hitam menguar dari teko porselen yang dibawakan Zen. Sendok teh berdenting pelan saat ia meletakkan satu sendok di atas nampan. Ia lalu mengambil tiga gula batu dan memasukkan gula berbentuk kubus itu ke dalam cangkirku. Aku menatap cangkir teh, uapnya menari-nari di atas cangkir, penanda tehnya masih panas. Aku menahan diri untuk tidak meminumnya.

Setelah meletakkan teko dan cangkir di atas meja, Zen kembali menekuri bacaannya. Diam-diam kuperhatikan gerakan tangannya yang dengan cepat membalik halaman demi halaman majalah National Geographic yang baru saja kami borong dari pasar loak di dekat sekolah. Aku bahkan belum berganti baju, masih memakai kebaya ala wanita tahun 1900an. Biasanya, seseorang yang baru pulang dari perjalanan akan istirahat, tetapi Zen malah membawaku ke pasar loak untuk membeli majalah sejarah.

Pekerjaan masih banyak, katanya. Namun, ia juga yang menemaniku membaca dan membuatkan teh hitam kesukaanku. Ia selalu begitu.

Aku bersandar di sofa, memeluk satu majalah dan menatap cangkir teh. Kenangan mengenai Societeit Concordia kembali mengisi hatiku setiap kali melihat cangkir teh. Rasanya ada sesuatu tentang teh yang kulupakan.

"Zen, kita pernah ke Bandung nggak sih? Kok aku merasa pernah ketemu seseorang di tempat yang sekarang namanya Braga?"tanyaku.

"Nggak. Lagian kamu ke Braga sama siapa?"

"Kamu, siapa lagi memangnya?"

"Nggak, kita nggak pernah ke Bandung,"tukasnya sembari mengalihkan pandangan dariku, menghindari tatapanku. Aku terus bertanya.

"Tapi aku nggak pernah lupa. Harusnya yang ini juga kuingat detail. Kenapa yang ini hanya sebagian?"

Zen mengabaikan pertanyaanku, memilih untuk menunduk dan melanjutkan bacaannya, lalu menceramahiku lagi. "Bunda Laras bilang, kau butuh referensi sejarah Societeit De Harmonie di Malang. Aku harus memastikan kau memahami suasana dan lingkungannya secara keseluruhan. Kenapa kau berhenti membaca? Pelintas nggak boleh salah memahami destinasinya. Kamu tahu itu."

Pelintas adalah sebutan kami untuk orang-orang yang memiliki kemampuan melintasi ruang atau waktu. Kami menyebut diri kami sebagai pelintas agar mudah dipahami dan tidak terdengar aneh. Menggunakan istilah aneh hanya akan mengundang kecurigaan orang biasa.

Aku adalah salah satu pelintas waktu. Para pelintas waktu boleh mengunjungi masa lalu. Namun, tidak boleh kembali ke hari kemarin untuk mengubah keputusan apa pun. Pelintas hanya boleh mengunjungi dan tidak diperbolehkan mengubah apa pun yang telah terjadi. Lagi pula, siapa juga yang ingin mengubah masa lalu jika konsekuensinya bisa saja membatalkan kelahiran sendiri?

Lalu, Zen adalah salah satu pelintas ruang. Zen dan aku menjadi rekan sejak tiga tahun lalu, saat usiaku dua belas tahun dan Zen berusia lima belas tahun. Kami bekerjasama mengunjungi tempat dan waktu tertentu, lalu membuat laporan sejarah untuk dirapikan. Begitulah tugas pelintas yang kudapat selama ini.

"Jangan hanya menatapku, lebih baik kamu baca satu halaman dan ingat detailnya daripada mengingat detail wajahku."

"Iya iya, dasar bawel,"tukasku seraya mengambil satu majalah bertanggal 1 Agustus 2008.

Aku membolak-balik halamannya beberapa kali, membacanya sekilas lalu dan menghempaskannya ke meja kaca di depanku.

"Lama! Aku mau googling saja!"

Ia merebut ponselku dan menyimpannya di dalam saku celananya. Tatapannya yang garang biasanya akan membuat orang takut, tetapi aku tidak. Ia malah membuatku semakin kesal.

"Dasar gadis micin, baca aja males!"
"Lama, Zen... Tanganku capek harus bolak-balik kertas. Mendingan dipakai ngetik dan infonya langsung ketemu, kan?"rengekku sambil bertopang dagu di meja.

"Lama apanya? Kamu tinggal bolak-balik sebentar dan sudah ingat. Dasar gadis micin, sukanya instan. Kamu ingin seberapa cepat?"

Kali kedua Zen menyebutku sebagai gadis micin dalam lima menit terakhir. Memang sih, aku suka makan makanan yang mengandung micin. Namun, itu nggak berarti aku punya sifat-sifat seperti yang dikatakannya.

Kali ketiga ia mengataiku gadis micin, akan kutimpuk kepalanya dengan majalah ini.

"Kalau baca, kamu bisa mendapatkan informasi lain yang juga penting. Memahami sejarah itu nggak bisa dari satu cerita saja."

"Iya..."

Zen melanjutkan tugas bacanya. Ia tak lagi menyentil dahiku karena aku sendiri sudah tampak fokus membaca. Diam-diam, kuperhatikan kacamata besarnya yang semakin tebal. Minusnya pasti sudah bertambah lagi.

"Zen, minus matamu sekarang berapa?"

"Enam setengah,"balasnya sambil membetulkan letak kacamatanya yang agak merosot.

"Pasti karena kebanyakan baca,"tuduhku.

"Bukan, karena keseringan membalas pesanmu di Line. Membaca buku nggak bikin mataku minus."

"Ih,"geramku, sebal. "Kenapa sih selalu menyalahkanku?"

"Karena kau memang salah,"jawabnya singkat. Aku melemparnya dengan bantal di sofa. Ia berhasil menghindar, lalu menangkap bantal itu dan melemparkannya balik.

"Dan juga, kesalahanmu yang lain. Jangan sampai ketahuan lagi, kamu memanggilku Zen di sekolah. Itu nggak sopan. Siswa lain bisa saja protes."

"Iya, Pak Zen..."

Di sekolahku, SMA Cakrawangsa, Zen menjadi guru sejarah. Ia adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan sejarah di kampus terkenal di kota ini. Semester lalu, ia melamar sebagai guru magang, bersamaan dengan kepindahanku ke sekolah itu. Zen sebenarnya hanya tiga tahun lebih tua dariku, tetapi ia selalu mengambil kelas akselerasi sehingga lulus lebih cepat daripada teman seusianya. Di sekolah, setiap kali ada temanku yang menunjukkan tanda-tanda sukanya pada Zen, aku selalu bilang Zen sebenarnya sudah tua karena ia kadang-kadang tercium seperti aroma buku lama yang menguning.

Pasti efek keseringan baca buku lama!

Aku memilih SMA Cakrawangsa karena dekat dengan salah satu gedung tua yang memiliki arsitektur khas. Gedung itu adalah gedung perpustakaan, tetapi bentuknya mirip jamur. Zen ikut karena ia adalah rekan pelintas yang masih terikat perjanjian untuk selalu menemaniku.

"Sudah beres?"tanyanya.

Aku mengangguk seraya merapikan beberapa majalah di atas meja.

"Zen, malam ini sibuk, nggak?"

"Kenapa?"

"Malam ini kita ke Societeit Concordia di Bragaweg,"usulku sembari menunjuk gambar gedung Societeit Concordia di halaman majalah. "Bantu aku menemukan ingatanku yang hilang."

Zen menatapku dengan garang, lalu menimpuk kepalaku dengan majalah yang dipegangnya. "Gadis micin, besok kau ada ulangan harian sejarah. Jadi, aku nggak mau menemanimu ke Bragaweg. Awas, jangan bolos di kelasku."

Ih!

Kesal, aku balas melemparkan majalah di tanganku ke arah Zen. Ia menghindar dengan cepat, lalu berdiri.

"Besok materi ulangan ada di majalah ini,"tunjuknya pada gambar Sir Stamford Raffles yang fotonya melirik ke atas, mirip selebgram yang mengambil foto candid seolah-olah sedang menatap langit cerah.

"Eh, kau mau ke mana?"

"Pulang, menyiapkan soal ulangan,"jawabnya ketus. Sedetik kemudian, ia langsung menghilang dari pandanganku, terhindar dari bantal yang baru saja kulempar. Kesal, mentang-mentang bisa teleportasi, dia kabur seenaknya.

Lihat saja, meskipun tanpanya, aku akan temukan cara untuk mendatangi Bragaweg.

--
"Entah mengapa, aku merasa kita selalu bertemu..."

"Mungkin takdir salah satu dari kita mengikuti takdir yang lain?"lirihku seraya menatap mata birunya yang secerah langit pagi hari.

"Mungkin... Dan jika benar begitu, bersediakah takdirmu mengikuti takdirku ke kebun teh milik Meneer Bosscha besok pagi?"tanyanya sembari memamerkan deretan gigi rapi dan lesung pipit sehingga membuatku tak kuasa menolak.

Ia lalu menggenggam tanganku saat aku mengangguk malu-malu. Pipiku bersemu merah di bawah lampu yang memancarkan cahaya oranye keemasan, menghangat lantaran genggaman tangannya yang membawaku berdansa dalam alunan biola yang menggelitiki telinga dengan lagu romansa. Ujung gaunku menyapu lantai dansa Societeit Concordia ketika kami melangkah dalam untaian gerakan dansa yang luwes.

Aku menunduk lagi, menyembunyikan senyum lebar dan pipi yang merona karena sikap manisnya.

--
"Pagi, Aca,"sapaku sambil menepuk pundaknya. Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum senang. Aca selalu senang pada orang-orang yang tidak merepotkannya dengan terus-menerus menagih uang.

"Senna! Akhirnya masuk! Kukira kamu mau ngutang, hahaha! Sekarang udah tanggal satu, mau bayar uang kas, ya? Sini sini..."

Aku mengeluarkan selembar uang dari dalam saku. Lembaran biru, lumayan untuk membayar uang kas sampai beberapa minggu ke depan.

"Nih. Aman 'kan?"

"Aman, dong. Thanks,"jawabnya seraya tersenyum lebar. Ia lalu beranjak ke meja lain, kembali menagih uang kas agar uang jajannya sendiri tidak habis karena membayarkan uang kas siswa sekelas.

Yah, uang jajannya juga nggak akan habis semudah itu, sih.

Aku baru akan duduk di bangkuku saat Ica membuka buku presensi tepat di depanku dan memperlihatkan tanda silang merah yang menghiasi kotak-kotak di samping namaku.

"Duh, pulpen merahku kayaknya bakalan habis kalau kamu absen lagi,"ujarnya sambil menunjukku dengan pulpen merah di tangannya.

"Yah, mau kubeliin yang baru gak, Ca? Hehe..."

Aku meringis melihat presensiku yang menyedihkan. Warnanya memang bagus, kombinasi antara warna merah dan hitam, tetapi alangkah lebih baik kalau semuanya hitam.

"Kemarin, Bu Anjani bilang, temui beliau di perpustakaan saat kamu sudah masuk. Jam istirahat nanti, ya."

"Eh... Bentar, bentar. Aku punya surat sakit!"

Aku mengeluarkan senjata andalanku, belasan surat sakit beramplop resmi dari rumah sakit besar. Ica menerimanya, lalu membacanya sekilas. Ia lalu menatapku dari kepala sampai kaki, lalu menghela napas.

"Sebenarnya kamu sakit apa, sih? Kamu nggak kelihatan kayak orang sakit, tapi kamu sering banget masuk rumah sakit. Kalau kamu punya penyakit mental karena kesepian atau apapun itu, kamu bisa cerita ke aku. Kita 'kan teman sekelas. Sebangku malah. Atau, ke Bu Anjani. Jangan malah kabur-kaburan dan nggak mau ke sekolah."

Aku hanya membalasnya dengan cengiran lebar. Dalam hati, aku mengutuk para Kronologia, orang-orang yang memberiku tugas laporan sejarah. Gara-gara mereka, aku nggak bisa menikmati masa sekolahku. Padahal, kata Chrisye, masa-masa paling indah, kisah kasih di sekolah... Kisah kasih di sekolah apaan?! Ketidakhadiranku lebih banyak daripada hadirnya! Aku juga nggak yakin mereka mengingat eksistensiku yang sangat jarang. Aku saja sudah bersyukur Ica masih mengingatku. Mungkin karena saban hari harus menandai silang merah di samping namaku di buku presensi.

Ica menyimpan surat-suratku ke dalam meja.

"Tetap ketemu Bu Anjani, ya. Beliau sepertinya khawatir. Ingat, beliau wali kelas kita."

"Yah... Oke deh."

Suara meja yang bergeser saat Ken, si ketua kelas, berdiri dari bangkunya dan mengucapkan salam pada Zen -maksudku Pak Zen yang baru masuk kelas. Di tangannya terdapat lembaran kertas ulangan sejarah.

"Selamat pagi. Sesuai dengan perjanjian kita tiga minggu lalu, hari ini kita akan mengadakan ulangan."

"Hah, masa sih?!"

"Duh, aku nggak ingat!"

"Bukannya mingdep, Pak?"

Beberapa orang protes. Hampir seisi kelas ribut dan tidak terima.

"Hari ini ulangan 'kan, Senna?"

Iya, hari ini ulangan sejarah, tapi aku juga merasa ini ulangan photographic memory karena Zen selalu sengaja mengujiku dengan pertanyaan mengenai kejadian berminggu-minggu lalu.

"Iya, Pak Zen bilang akan ada ulangan tanggal satu..."

"Dan saya mengucapkannya saat..."

"Saat membagikan card game berkarakter penjajah..."

... yang namanya Sir Stamford Raffles, J.P Coen, Lord Minto, sampai A.H.J Lovink. Hari itu, Zen memakai kemeja biru muda, membawa kotak Uno Stacko yang kami kira kotak Uno Stacko beneran padahal isinya card game berkarakter penjajah dan pahlawan. Siswa-siswa yang tadinya tiduran setidaknya mengangkat kepala saat Zen bicara. Saat itu, Zen sangat bangga dengan inovasinya.

"Yak, benar sekali,"pujinya sembari tersenyum.

Yak, sebenarnya Zen menguji ingatanku.

--
Aku menemui Bu Anjani dan menerima petuah mengenai cara menjaga kesehatan agar bisa menikmati hidup sebagaimana mestinya. Selama setengah jam, beliau menceritakan dongeng mengenai putri raja yang penyakitan dan tidak ingin aku seperti putri raja itu. Aku hampir telat masuk jika tidak tega menyelanya dan membiarkannya bercerita lebih lama.

Saat kembali ke kelas, bel masuk sudah berbunyi. Ken membagikan kertas ulangan sejarah yang tadi dan menatapku tajam saat melihat nilai 100 di kertasku. Nilainya sendiri 95.

"Kalau kamu rajin masuk, aku yakin kamu bahkan bisa ngalahin Ken,"komentar Ica saat melihat kertas ulanganku. "Sayang, kamu sering absen,"lanjutnya.

Sesaat kemudian, Pak Junaedi, guru matematikaku masuk. Tanpa basa-basi, beliau menuliskan angka-angka di papan tulis.

"Anak-anak, hari ini kita akan belajar mengenai peluang..."

Aku memperhatikan angka-angka tersebut sambil melamun memikirkan peluang yang lain. Adakah peluang aku bisa mengingat sesuatu tentang Bragaweg jika aku mendatangi Bragaweg besok malam? Berapa hari perjalanannya?

--
"De kunst van het onthouden is de kunst van het belangstellen"
"(The art of remembering is the art of being interested in the matter)"

Kutipan itu terpajang dalam pigura emas di rumah Meneer de Graeff. Aku membacanya lamat-lamat. Kurenungi kata demi kata, tetapi aku masih belum memahami maknanya. Sebagai salah satu orang yang beruntung dengan photographic memory, masalah ingat-mengingat bukan hal sulit bagiku. Setiap kejadian masih terlukis rapi dalam memoriku secara detail.

Di beranda, Meneer Bosscha menyeruput teh hitamnya. Setelah mengunjungi rumah Meneer Bosscha kemarin, Adriaan juga mengundangku ke rumahnya.

Kini aku mengunjungi rumah Adriaan de Graeff.

Rumah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ya ampun! Aku bisa mati kalau Zen tahu. Tugasku sebenarnya hanya mengikuti Adriaan dan mencari celah untuk masuk ke dalam jadwal kegiatan ayahnya, tetapi aku malah masuk ke dalam kehidupan anaknya.

"Ah, nikmat sekali..." Meneer Bosscha menghirup aroma teh hitamnya yang terkenal.

"Sepi, ya? Ayahku selalu sibuk. Aku sebenarnya lebih sering mengunjungi kebun teh Meneer Bosscha di Malabar, daripada di sini."

Adriaan berdiri di sampingku, menatap lekat foto keluarganya yang juga dibingkai pigura emas, tepat di sebelah kanan kutipan yang kubaca.

"Kita akan terus mengingat satu sama lain di masa depan, kan?"

Aku mengangguk, menatap iris birunya yang memantulkan bayangan diriku.

"Mau ikut ke kebun teh?"tanya Meneer Bosscha sambil tersenyum lebar. Aku dan Adriaan mengangguk cepat.

--
Aku mengepak gaun-gaun, kebaya, dan mencari setiap gulden yang masih tersisa. Aku mungkin bodoh dan akan kekurangan uang di perjalanan, tetapi aku yakin aku akan menemukan sesuatu yang bisa menghilangkan sakit kepalaku. Belakangan ini, kenangan mengenai Societeit Concordia terus menghantuiku. Aku harus berangkat, sebelum gila karena dibayang-bayangi kenangan yang entah benar entah tidak. Aku harus memastikan.

"Senna!"

Zen mengetuk pintu kamarku dengan keras. Kami punya aturan, meskipun bisa teleportasi atau kembali ke masa lalu, kami tidak akan memasuki wilayah privasi masing-masing. Kamarku dan masa lalu Zen adalah kesepakatan kami untuk tidak masuk tanpa izin.

Zen berhenti mengetuk, tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Ia memegang tanganku, berupaya menghentikan rencanaku. Tidak perlu seorang pembaca pikiran untuk tahu ke mana tujuanku.

"Jangan. Kumohon! Bukan tanpa alasan kau melupakan itu. Jangan kembali ke sana! Aku ceritakan semuanya saat kau kuat menerimanya!"

Aku menyentak tangannya dengan kasar. Tanganku terlepas dari genggamannya. Dalam satu kali kedipan mata, aku sudah berdiri di depan pohon cemara di pinggir taman, tahun 1928.

Tujuan pertama: Stasiun. Stasiun manapun yang punya kereta untuk ke Bandung.

--
Udara segar memenuhi paru-paruku saat melintasi kebun teh di Gunung Malabar. Beberapa perempuan muda memanggul bakul berisi daun teh yang baru dipetik. Aku dan Adriaan berjalan beriringan, menyentuh pucuk-pucuk muda daun teh.

"Mau ikut memetik?"

Aku menggeleng. "Tidak. Aku takut tanganku membuat teh Malabar tidak nikmat lagi."

"Mana mungkin,"Adriaan tertawa mendengar ucapanku. "Tanganmu lembut. Tanganmu juga memilih yang terbaik karena sudah memilihku."

Aku memalingkan wajah karena malu. Dasar, laki-laki ini.

"Sudah bisa bahasa Belanda?"

"Belum. Aku baru belajar."

"Mau kuajari?"

"Boleh..."

"Baik. Ucapkan hal yang sama setelahku, ya."

"Baik. Aku siap."

Kami berpapasan dengan perempuan muda yang tadi memetik daun teh. Ia tersenyum menatapku, lalu membalas senyumnya dengan canggung.

"Ik hou van je..."bisik Adriaan setelah perempuan itu berlalu.

"Ik... h...h..."

Aku gelagapan. Adriaan tertawa kecil menatapku. Aku memang baru belajar bahasa Belanda dari Zen, tetapi aku tahu kalimat yang itu maknanya apa.

Adriaan masih menungguku dengan sabar.

"Ik hou van... Je..."bisikku sambil menangkupkan kedua tangan di muka. Aku tidak berani menatapnya. Mana mungkin! Ah, Zen akan bilang apa? Bunda akan bilang apa? Apakah aku kabur saja sekarang?

Ia terkekeh pelan tatkala melihatku malu.

Bunda, aku gagal dalam tugas laporanku! Apa aku menghancurkan sejarah dengan ini?

Pelan-pelan, suara tawa Adriaan memudar, bersamaan dengan munculnya Zen dan seorang pelintas waktu di hadapanku. Adriaan menghilang. Aku kembali ke kamarku, terduduk di atas kasur dengan mata berkaca-kaca.

--
"Dia meninggal beberapa saat setelah itu,"lirih Zen seraya menghapus air mataku. "Ditembak orang tak dikenal. Aku belum selesai mempelajari kasusnya saat itu, tetapi aku berhasil menyelamatkanmu."

"Kenapa kamu nggak menyelamatkan dia juga?"

"Takdirnya adalah meninggal di sana. Bagaimanapun kita berusaha menyelamatkannya, dia akan tetap meninggal di sana. Itu takdir Tuhan."

"Apa lagi yang kamu ketahui tentangnya?"

"Kamu pernah cerita tentang minum teh bersamanya, dan ada cangkir teh khusus yang diberikannya untukmu."

Aku melirik teko dan cangkir di atas nakas di samping kasur. Cangkir keramik bermotif sepasang kekasih, dibingkai bunga oranye. Pasangan dari cangkir teh yang biasa dibuatkan Zen.

--
"Teh adalah minuman yang menenangkan. Setiap cangkirnya adalah hadiah dari Tuhan akan kedamaian yang kita rasakan setiap menyesap aromanya. Dan, di antara semua teh yang pernah kuminum, minum teh bersamamu selalu yang paling menyenangkan."

Kini aku mengingat setiap kata yang diucapkan Adriaan. Setiap kali Zen membuatkan teh untukku dan menemaniku minum teh di beranda, aku teringat padanya. Adriaan memang sudah tidak ada, tetapi aku masih punya Bunda dan Zen.

"Kau tidak memakai pasangan cangkirnya?"tanyaku saat melihat Zen memakai cangkir putih susu, beda sendiri dari teko oranye dan cangkir oranye yang kupegang.

"Hah, memangnya kau mau?"

"Apa salahnya?"

"Yaa, itu kan cangkir couple."

"Jadi kamu nggak mau couple-an denganku?"

"Aa, nggak gitu. Iya, iya, aku pakai, nih..."

Zen melesat cepat, berlalu dari pandanganku. Dari sudut mataku, kulihat telinganya memerah. Padahal ia bisa teleportasi ke dapur, tetapi ia malah melewatiku sambil berpaling. Aku tertawa kecil.

"Ja-jangan lupa besok, Bu Anjani ingin kamu hadir di kelasnya."

'Sungguh aneh tapi nyata... Takkan terlupa...'

Samar-samar, suara Chrisye terdengar dari radio yang kunyalakan di ruang tengah.

"Siaaap,"jawabku santai.

Benar-benar santai, karena sampai aku lulus, aku semacam dibebastugaskan dari menulis laporan untuk Kronologia. Akhirnya mereka mempertimbangkan hakku untuk menikmati masa-masa paling indah, kisah kasih di sekolah...

"Ah, nikmat sekali..."

Semoga yang lain tidak tahu.

****

Written by AlishaNanta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro