My Teacher, My Superhero
"Sekarang hari apa, ya? Duh, lupa!" Aku menepuk jidat sambil berlari memasuki gerbang SMA Cakrawangsa.
Untungnya, jarum arloji Hello Kitty di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul 06.35. Masih ada waktu untuk mengerjakan PR. Semalam aku keasyikan menonton anime dan tokusatsu favoritku. Setiap malam pun begitu hingga aku selalu melupakan kewajiban sebagai siswi kelas XI Bahasa.
Ah, memang sulit menghilangkan kebiasaan buruk ini. Tapi, aku tidak pernah sekali pun lupa menjejalkan sebatang permen lollipop ke dalam mulutku. Bila cewek-cewek suka memakai lip gloss untuk melembapkan bibir mereka, aku cukup mengoleskan lollipop. Sangat multifungsi, kan?
Dua kepangan rambutku yang bergelombang melambai-lambai tertiup angin pagi. Poni pendekku hanya berjarak lima puluh meter dari pintu ruang kelas Railete. Tiba-tiba suara lembut memanggilku di ujung koridor.
"Susan, selamat pagi!" sapa Xia dari arah berlawanan. Ia hendak memasuki kelas.
"Pagi, Xia!" jawabku lantang kepada teman sebangku kesayanganku. Aku siap menyusulnya.
Mataku tidak memperhatikan papan penanda di samping. Sepatu hitamku telanjur menginjak lantai yang baru selesai dipel oleh petugas kebersihan sekolah. Ubin licin tidak terhindarkan lagi. Tubuhku hampir tergelincir bebas. Aku hanya bisa berteriak nyaring dan memejamkan mata. Lollipop-ku terjun dan mungkin sudah pecah berkeping-keping. Aku sangat khawatir kepalaku juga akan bernasib serupa.
Namun, sepasang tangan menangkapku. Aku merasa tubuh mungilku melayang di udara. Ada seseorang yang membopongku.
"Daijoubu desu ka?" tanya lelaki asing.
Aku mengintip sedikit dari sudut mata lalu mengangguk. Tampak wajah berkulit putih dengan mata ideal, tidak terlalu sipit, juga tidak lebar. Kacamata berbingkai hitam terpasang di hidung lancip bagaikan segitiga sama sisi. Alisnya melengkung rapi di atas kacamata. Poni kecokelatan menutupi dahinya.
Perlahan aku membuka mata. Sosok itu membuatku penasaran setengah mati. Tentu juga karena aku nyaris gegar otak akibat terpeleset. Kini, aku menangkap jelas pemandangan yang menyejukkan.
Lelaki jangkung menurunkan tubuh kecilku yang pastinya ringan. Dia tersenyum menampilkan deretan gigi yang rapi. Ada tahi lalat di pipi kirinya. Hampir sama denganku tapi tahi lalatku di pipi kanan. Syukurlah, cuma lalat yang buang kotoran sembarangan, bukan hewan yang lebih besar. Setitik noda hitam sama sekali tidak menghilangkan keindahan kulit mulus manusia. Justru menambah pesona seseorang.
"Arigatou gozaimasu," ucapku spontan dan membungkuk karena tadi dia pun berbicara dalam bahasa Jepang. Ikemen itu balas membungkuk.
Aku mendongak pada tubuh gagah yang memakai kemeja putih dengan dasi bermotif garis biru-merah serta celana panjang hitam. Mulutku menganga. Lelaki itu perpaduan sugoii, kakkoii, dan kawaii. Kali ini aku berharap tubuhku lebih tinggi agar tidak malu, supaya bisa seperti kakak-adik begitulah. Dengan postur bonsai sekarang, aku jadi seperti anak SD bersama om-nya. Waktu seolah berhenti berputar hingga seorang guru menghampiri kami.
"Ohayou gozaimasu, Honda Sensei," sapa Bu Anjani sopan. Beliau adalah guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelasku.
"Ohayou gozaimasu, Anjani Sensei. Selamat pagi."
Aku tercengang mendengar jawaban lelaki itu. Namanya seperti merek motor. Bu Anjani juga mengenalnya. Astaga, siapa dia?
"Susan, selamat pagi! Kamu ini selalu ceroboh, deh. Jadi merepotkan Honda Sensei. Lain kali hati-hati, ya!" nasihat Bu Anjani.
"Iya, Bu Anjani yang cantik, baik hati, dan tidak sombong. Maafkan Susan, ya," ujarku manja.
"Oke. Silakan masuk kelasmu. Bu Anjani juga nanti ke kelas Railete. Mari, Honda Sensei!"
Dua orang itu menuju ruang guru. Aku pun berjalan menenteng tas ke kelasku. Sampai di bangku, aku duduk terbengong-bengong. Ragaku mematung berbeda dengan hari-hari biasanya yang selalu menyapa seisi kelas dengan suara melengking. Pertanyaan Xia tentang PR Bahasa Indonesia juga tidak aku hiraukan. Lima menit kemudian, bel masuk berbunyi.
"Bu Anjani datang. Aku belum ngerjain PR!" gumamku panik.
"Tadi kan udah aku ingetin. Kamu malah bengong," ujar Xia sabar di sebelahku.
Namun, Bu Anjani tidak sendirian. Beliau datang bersama lelaki yang tadi menyelamatkan aku dari lantai jahanam.
"Selamat pagi, Anak-anak. Hari ini sangat spesial. Kita kedatangan tamu dari Negeri Sakura. Beliau menjadi guru native speaker di SMA Cakrawangsa, terutama kelas Bahasa, Railete. Senang sekali, ya." Ucapan Bu Anjani di depan kelas disambut riuh tepuk tangan para siswa. "Silakan memperkenalkan diri."
"Hajimemashite. Watashi wa Kyouka Honda-desu. Douzo yoroshiku onegaishimasu. Selamat pagi, Raileters. Sebenarnya, saya menguasai dua belas bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia."
Lelaki yang ternyata seorang poliglot itu berkata dengan fasih. Benar-benar menakjubkan. Aku teringat nilai pelajaran bahasa Jepang-ku. Tidak pernah lebih dari enam puluh. Masalah bertambah parah sebab ekspresi Diah Sensei, guru Nihongo di kelas Railete mirip ibu kos menagih uang bulanan. Entah ke mana beliau hari ini.
Setelah beberapa saat, Bu Anjani meninggalkan kelas. Ruangan ini menjelma surga ketika Honda Sensei menjadi pengajar. Tapi, itu tidak bertahan lama. Dia mengadakan tes Nihongo yang membuat kepalaku berputar tujuh ratus keliling. Aku memandangi kertas bertuliskan huruf hiragana dan katakana yang serupa benang kusut. Bisa ditebak, aku hanya mengembuskan napas panjang dan banyak berdoa.
Aku menopang dagu sambil menggigiti kuku. Mataku menatap sekeliling. Xia mengerjakan dengan tenang. Lalu, di deretan berikutnya ada Raka, murid baru yang apatis dan duduk sendirian. Terlihat pula Yafi yang duduknya berjarak dua bangku di sebelah kiriku. Dia juga duduk sendiri dan hobi mengulum lollipop.
Suatu hari nanti, aku ingin duduk sebangku dengan Yafi, bertukar lollipop, dan hal-hal seru lainnya. Tapi, dia sering terlihat dekat dengan Rena karena mereka sama-sama hobi menggambar. Ah, seandainya saja aku bisa menggambar tokoh-tokoh anime dan tokusatsu yang keren itu. Jangankan menggambar, menulis saja acak-acakan. Bukankah tulisan dokter juga jelek? Mestinya aku pun bisa sepandai dokter! Lalu, mengapa aku terus saja memperoleh ranking terbawah bersama Yafi?
Untuk apa aku hobi menonton anime tapi tidak bisa menggambar? Mengapa aku tergila-gila pada tokusatsu kalau mendapat nilai Nihongo jeblok? Aku sudah belajar sepanjang malam tapi keesokan harinya lupa lagi. Jadi, aku memilih menonton anime dan tokusatsu daripada pusing memikirkannya.
Ya, Tuhan. Aku melamun hingga lupa mengerjakan tes! Secepat kilat aku melirik dan menyalin jawaban Xia di sampingku. Sial, waktu sudah habis.
"Silakan, kumpulkan lembar jawaban kalian!" seru Honda Sensei.
Aku menunduk pasrah. Tapi, harus bangkit! Aku mengangkat kepala dan menatap guru asal Jepang itu. Dia tersenyum sambil membacakan satu per satu lembar jawaban kami. Jantungku berdebar-debar. Entah karena takut nilaiku jelek atau memandang bibirnya yang merekah pink alami.
Sayangnya, kepalaku bertambah pening karena Honda Sensei terus saja memakai Nihongo saat berbicara. Aku baru menyadari betapa pentingnya subtitle dalam hidupku. Tanpa alih bahasa, aku tidak dapat memahami informasi.
Honda Sensei menilai hasil tes siswa kelas Railete. Nilai Xia lumayan. Walaupun paling jago Bahasa Mandarin, dia mendapat 70 untuk tes Nihongo ini. Kecerdasannya biasa saja. Tapi, nilai Xia tidak sepertiku yang selalu di bawah rata-rata.
Ketika giliran namaku dipanggil, aku berjalan menghampiri Honda Sensei sambil tersenyum. Aku tetap saja berapi-api. Tertera angka 45 di kertasku.
"Merdeka! Semangat 45!" pekikku saat menerimanya.
Honda Sensei terbahak bersama seluruh siswa Railete. Dia berujar, "Anata wa totemo omoshiroidesu."
"Arigatou gozaimasu. Sumimasen. Boleh pakai bahasa Indonesia saja, Sensei?" pintaku sambil mengedipkan mata tanpa merasa bersalah.
"Gubrak!" Teman-teman sekelas berjatuhan dari kursinya.
"Ehm, baik. Kembalilah dulu ke bangkumu!" perintah Honda Sensei menjaga wibawa.
Aku duduk lagi. Honda Sensei menyampaikan beberapa kalimat—yang hanya masuk telinga kiri dan keluar dari telinga kananku—sebelum mengakhiri jam pelajaran. Mata pelajaran selanjutnya pun aku ikuti tanpa konsentrasi. Untuk mengobati rasa penasaran sekaligus memperbaiki nilai, aku harus menemui Honda Sensei nanti.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, tanpa menunggu lama aku langsung melesat keluar kelas.
"Dah, Xia! Sampai jumpa besok, ya." Aku berlari meninggalkan gadis berkulit putih itu.
Sampai di jendela ruang guru, aku mengintip para pengajar yang berkemas hendak pulang. Tampak sosok mirip aktor Ultraman Orb favoritku.
"Honda Sensei," ucapku menghadangnya di depan pintu.
"Susan, kau ingin meminta les privat? Maaf, saya tidak menerima."
Aku terperangah. Selain pandai berbahasa asing, Honda Sensei juga bisa membaca pikiranku. Sebelum aku bicara pun dia sudah menolak. Aku yakin, dia mempunyai indra keenam.
"Tapi, Sensei. Bagaimana Sensei bisa tahu? Ya, baguslah kalau tahu. Tolonglah. Bantu saya belajar Nihongo, Honda Sensei. Nilai saya selalu yang terburuk." Aku mengatupkan dua telapak tangan dan memasang tampang memelas senatural mungkin.
"Tidak bisa." Honda Sensei melangkah.
"Tunggu. Sensei tinggal di mana?" Aku berjalan di sampingnya hingga keluar dari halaman sekolah.
"Saya tinggal jauh dari sini."
"Jauh di Jepang? Maksud saya, selama di sini, di mana Sensei menetap?"
"Pulanglah. Jangan buat orang tuamu khawatir." Honda Sensei menepuk bahuku.
Tubuhku terpaku. Beberapa detik tidak dapat bergerak. Honda Sensei sudah berlalu. Tapi aku sadar. Aku harus mengikutinya. Kalau aku mendatangi tempat tinggalnya, dia tidak bisa lagi menolak untuk mengajariku.
Untunglah Honda Sensei berjalan kaki. Jaraknya masih terjangkau. Aku membuntutinya sambil kadang bersembunyi. Dia tidak boleh mengetahui kalau aku berada di belakangnya. Saat melewati taman kota, aku mulai kehilangan jejak Honda Sensei. Seorang siswa berseragam SMA Cakrawangsa jatuh dari sepeda kayuh. Dia berguling-guling tepat di sebelahku. Aku terkejut tapi berusaha membantunya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku pada cowok itu.
Tanganku meraih lengannya agar bisa berdiri. Dia memiringkan bibirnya seperti senyum licik. Aku tidak mengerti. Dengan gerakan cepat, dia membekap mulutku. Tawanya terdengar nyaring. Aku melawan dan mencoba berteriak. Tapi, pukulan di tengkukku menghilangkan kesadaranku.
Semuanya gelap. Apa yang terjadi? Kepalaku sakit. Lebih pusing daripada memikirkan pelajaran sekolah. Perlahan-lahan aku membuka mata. Tubuhku yang lemah terduduk di lantai dan bersandar di dinding. Tangan dan kakiku juga terlilit tali erat-erat. Mulutku tertutup sapu tangan yang terikat kencang di belakang kepala. Aku mengamati sekeliling. Tempat apa ini? Rumah gelap, kotor, pengap, dan sepertinya sudah lama tidak berpenghuni.
Tawa mengerikan itu terdengar lagi. Sosok berseragam SMA Cakrawangsa menghampiriku. Tapi wajahnya bukan manusia. Kepalanya lonjong seperti ikan berwarna abu-abu. Mulutnya lebar bergigi tajam. Tangan dan kakinya mirip tentakel pada gurita. Aku menggeleng ketakutan. Air mataku bercucuran.
"Dasar, manusia bodoh! Karena kau menolongku saat terjatuh, aku bisa menangkapmu. Anak bodoh sepertimu harus lenyap dari alam semesta. Bangsaku akan menggantikan kalian para manusia berdaya pikir rendah!"
Makhluk itu berkata di hadapanku dengan suara yang parau. Lalu, dia mengeluarkan sebilah pedang. Ya, Tuhan. Apakah dia akan membunuhku? Aku meronta-ronta tetapi tidak sanggup berdiri. Tawanya semakin menggema.
"Hei, alien kejam! Menolong sesama itu bukan suatu kebodohan tapi ketulusan."
Suara yang tidak asing terdengar. Dari pintu depan, muncul sosok Honda Sensei tanpa kacamata. Dia segera menyerang makhluk buruk rupa itu. Pukulan dan tendangannya sangat jitu. Bahkan, lebih bagus daripada aktor yang aku tonton di serial tokusatsu.
Honda Sensei mengeluarkan sebuah alat berbentuk lingkaran. Cahaya menyilaukan mata. Tidak berapa lama, sosok lelaki itu berubah menjadi pahlawan super. Topeng silver menutupi wajahnya. Kostumnya perpaduan warna biru dan merah. Semacam Kamen Rider tapi desainnya lebih sederhana.
Lalu, apakah Kyouka Honda adalah host Ultraman? Tidak. Ukuran tubuh Ultraman sangat besar, kan? Atau, dia sedang mengecilkan tubuhnya. Aku benar-benar tidak tahu. Untungnya, alien itu juga tidak memperbesar tubuh. Bisa hancur kota ini kalau ada dua raksasa bertarung. Padahal, baru saja pemerintah membangun infrastruktur. Astaga! Siapa Honda Sensei sebenarnya? Benarkah dia seorang superhero?
Pahlawan super itu mengeluarkan senjata pamungkasnya. Sebilah pedang besar. Dengan sekali ayunan, mata tajam pedang itu membelah badan alien menjadi dua. Cairan hijau berlendir mengalir dari potongan tubuh makhluk itu. Lalu, asap mengepul sampai jasadnya hilang tak bersisa.
Cahaya menyilaukan mataku lagi. Sosok pahlawan super yang entah apa namanya itu sudah tidak ada. Yang aku lihat kini Honda Sensei menghampiri serta melepaskan ikatan di mulut, tangan, dan kakiku. Secara refleks aku memeluknya. Hatiku sangat bahagia.
"Terima kasih, Honda Sensei. Anda telah menyelamatkan hidup saya. Alien itu sangat menakutkan, menjijikkan, dan menyebalkan. Dia bilang aku manusia bodoh! Dikira lagunya Ada Band apa?" ucapku menggerutu.
Honda Sensei tersenyum. "Jangan bicara terlalu formal di luar sekolah, Susan. Ayo, aku antar kau pulang!"
Lelaki itu menggandengku. Kami berjalan meninggalkan rumah kosong. Di perjalanan, aku bertanya lagi.
"Oke. Honda Sensei, jadi siapa kau sebenarnya? Kau tinggal di mana?"
"Aku adalah Kyouka Honda. Rumahku di Jepang."
Aku terdiam dan berpikir. "Kalau itu sih aku sudah tahu, tapi—"
"Ini untukmu." Honda Sensei menyodorkan sebatang permen lollipop pipih berwarna pelangi.
Mataku berbinar. "Sensei, aishiteru."
Honda Sensei tertawa sambil mengacak-acak rambutku.
"Kenapa kau sangat mudah mengatakannya? Bukankah kau suka pada siswa yang juga hobi makan lollipop itu?"
"Hah, Sensei kok bisa tahu?" Aku garuk-garuk kepala membuat rambutku semakin tidak karuan bentuknya.
"Kau sudah cukup umur untuk merasakan jatuh cinta, bukan?"
"Ya. Usiaku menjelang tujuh belas tahun. Tapi, entah kenapa aku tidak suka nonton drama romantis dan pacaran seperti teman-teman sebaya. Bagiku, hanya makan lollipop saja sudah membuatku senang. Aku ingin dekat dengan cowok yang juga hobi makan lollipop itu walaupun aku tidak tahu bagaimana caranya? Dia aneh. Padahal aku juga aneh." Aku menertawakan diriku sendiri.
"Kau tidak perlu melakukan apa yang tidak kau inginkan. Lakukan saja semua yang kau sukai, selama tidak merugikan siapa pun. Tetaplah berbuat baik. Kau pasti bisa berteman dengan Yafi. Kalian akan saling memahami," nasihat Honda Sensei.
"Tapi, aku belum pantas pacaran, kan? Cuma karena suka nonton anime dan tokusatsu. Banyak yang menganggap aku sepuluh tahun lebih muda alias kekanakan, belum dewasa dan ya, aku bodoh. Alien itu benar. Nilaiku selalu jelek." Aku cemberut.
"Dewasa itu bukan berdasarkan film yang ditonton tapi sikap yang ditunjukkan. Orang dewasa tidak selalu bisa melakukan apa saja. Namun bila kau merasa tidak pernah lelah untuk belajar, itulah tandanya kau telah dewasa. Satu lagi. Sesungguhnya, tidak ada orang yang bodoh. Yang ada hanya orang malas, Susan."
"Jadi, aku hanya perlu terus belajar?"
Honda Sensei mengangguk dan mengacungkan jempol.
"Sifatmu yang ceria, semangat, dan pantang menyerah itu sudah bagus. Pertahankan! Rajinlah belajar, hormati gurumu, sayangi teman. Itulah tandanya kau murid budiman, eh Bu Anjani."
"Aku akan lebih ceria dan semangat kalau Honda Sensei di sini selamanya." Senyumku mengembang.
"Tidak bisa. Aku harus pergi, Susan."
"Jangan pergi, Honda Sensei! Aku membutuhkanmu."
"Untuk apa? Belajarlah bersama teman-teman dan guru-gurumu. Aku harus kembali ke planetku."
Mataku berkaca-kaca. Secepat inikah Honda Sensei meninggalkanku? Bahkan lebih singkat daripada durasi satu episode anime dan tokusatsu. Tapi, ini berarti Honda Sensei bukan manusia. Dia juga alien yang harus pulang ke tempat asalnya.
"Sensei, aku mohon. Jangan terbang ke langit, entah ke mana. Tetaplah di sini, Honda Sensei. Aku janji akan giat belajar bahasa asing agar bisa sepertimu," rengekku sembari memegang tangannya.
Honda Sensei berdiri di balik punggungku. Aku tidak berani menoleh. Apakah dia akan memelukku dari belakang? Aduh, khayalan macam apa ini?
Ternyata, kedua tangan Honda Sensei menutup mataku dari belakang. Kemudian, dia berbisik, "Sayounara, Susan."
"Sensei! Sensei!" Mataku terbuka tapi tidak berhasil menemukannya. Honda Sensei sudah raib.
Aku menatap sekeliling. Tubuhku terbaring di ranjang berseprai putih. Di mana ini? Bukankah tadi aku berada di jalan menuju rumah?
"Susan, kamu udah sadar? Kamu nggak amnesia, kan?" Xia mendatangiku di sisi ranjang.
"Aku di mana? Apa yang terjadi?" tanyaku sambil memegangi kepala yang diperban.
"Di ruang UKS. Tadi kamu terpeleset di lantai koridor yang licin, dekat ruang kelas. Kepalamu terbentur dan kamu pingsan. Tapi, pingsannya seperti tidur pulas. Enak banget."
"Hah? Terus, siapa yang bawa aku ke sini?" Aku teringat Honda Sensei membopongku. Tapi, apakah semua itu hanya mimpi?
"Kamu pasti nggak percaya. Yafi bopong kamu ke sini. Lucu banget, sesama badan kecil bisa begitu." Xia mengikik geli.
"Yafi? Beneran? Ke kelas, yuk! Aku mau ngucapin makasih ke dia." Aku langsung bergegas bangun.
"Ciee. Siapin lollipop juga buat hadiah."
"Oh, iya." Aku merogoh saku seragam. Ada lollipop pipih berwarna pelangi. Benarkah pemberian dari Honda Sensei? Aku tidak punya lollipop seperti ini sebelumnya. Berarti, kejadian tadi itu mimpi atau nyata?
"Kenapa, Susan?" tanya Xia bingung melihatku.
"Ng-nggak." Aku dan Xia melangkah keluar dari ruang UKS.
Di ruang kelas Railete, ada sesuatu yang berbeda. Kepala Sekolah, Diah Sensei, dan Bu Anjani berada di depan kelas. Ada satu orang lagi yang sepertinya sudah aku kenali. Lelaki berkacamata dengan tahi lalat di pipi kiri dan poni kecokelatan menutupi dahi. Apakah aku mengalami dejavu?
"Selamat pagi, Anak-anak. Hari ini sangat spesial. Kita kedatangan tamu dari Negeri Sakura. Beliau menjadi guru native speaker di SMA Cakrawangsa, terutama kelas Bahasa, Railete. Senang sekali, ya." Ucapan Bu Anjani disambut riuh tepuk tangan para siswa. "Silakan memperkenalkan diri."
"Hajimemashite. Watashi wa Kyouka Honda-desu. Douzo yoroshiku onegaishimasu. Selamat pagi, Raileters. Sebenarnya, saya menguasai dua belas bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia."
Honda Sensei tersenyum padaku.
******
Written by DiannitaRiski
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro