Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mati Rasa

Laughing is the best medicine.

Daun telinga Naresh bergerak-gerak menangkap suara goresan pena dengan kertas. Tangannya sudah semutan meski tulisannya baru berupa coretan asal. Cowok berambut pendek ikal itu mengembuskan napas kesal. Ia tak menyangka di kelas 11 ini mendapatkan tugas menulis cerpen. Adalah Bu Anjani, guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelasnya yang mencetuskan tugas tersebut. Memang sih deadline-nya satu bulan, tapi tetap saja membuat dirinya mengeluh.

Naresh melirik teman sebangkunya yang hendak merobek kertas. Sebelum itu terjadi, tangan Naresh sudah menahannya.

"Apaan sih, Res! Nggak usah rese deh!" Aisyah melirik tajam.

Naresh terkekeh ringan, "Jangan disobek. Kertas itu terbuat dari pohon, jangan boros kalau masih mau hutan di Indonesia nggak gundul dan menyebabkan banyak bencana."

Aisyah berdecak, menarik buku dan malah merobek kertas di depan wajah Naresh. "Nggak terjadi bencana kan setelah aku sobek kertas ini?" tanyanya retoris.

"Kalo semua orang di dunia ini berpikiran sama kaya kamu, bukan enggak mungkin sepuluh tahun dari sekarang bumi ini kehilangan warna hijaunya." ujar Naresh melebarkan senyuman.

Aisyah merotasikan bola matanya, "Whatever! Kamu udah bilang kaya gitu ratusan kali selama semester ini. Bosen aku dengernya."

"Dibilangin juga." decak Naresh melirik cewek berkerudung di sampingnya. Matanya terhenti pada untaian tali di bagian belakang kerudung Aisyah. Menyeringai licik, tangan Naresh mengendap-endap dan memegang ujung tali untuk kemudian ia tarik sepenuh hati hingga kepala Aisyah juga ikut tertarik ke belakang.

Naresh tergelak meski kemudian Aisyah memukulinya dengan buku paket tebal bertubi-tubi. Sudah kebal.

"Naresh sehari aja jangan ketawa bisa nggak?" Kinayu–cewek yang duduk di baris sebelah bangku Naresh– menyela, "ini telinga tuh selalu berdengking setiap denger ketawamu." lanjutnya sambil menutup kedua telinga.

"Senyum itu sedekah, Kin. Kalo ketawa itu zakat fitrah! Hahaha." Jawaban Naresh sontak membuat riuh suasana dan berakhir dengan teguran Bu Anjani.

"Naresh Wisaka!"

Punggung Naresh menegak, "Dalem, Bu!" 

Seisi kelas tertawa dengan jawaban Naresh, bahkan Bu Anjani turut menarik kedua sudut bibirnya membuat Naresh meringis salah tingkah.

"Coba maju dan ceritakan kisah apa yang akan kamu tulis!" titah Bu Anjani.

Naresh melayangkan tatapan protes. "Loh, Bu? Ini kan tugas menulis cerpen bukan bercerita cerpen?"

"Sudah maju saja! Daripada ribut di belakang mending cerita di depan."

Skak mat! Naresh menelan ludah, semua mata kini tertuju padanya bahkan ada yang terang-terangan menyeringai jenaka. Detik berikutnya saat Naresh berdiri di depan dan bercerita, sisa jam pelajaran Bu Anjani dipenuhi gelak tawa.

Saat bel tanda istirahat pertama berbunyi, Naresh duduk di tempat Kinayu yang kebetulan kosong–ditinggal si empunya jajan, menyangga kepala dengan tangan kiri menghadap ke cowok di sebelah kanannya. "Kaf?"

Kafka hanya melirik, "Apa?" tanyanya datar.

Naresh buru-buru menatap ke arah lain dan tiba-tiba bersenandung. "Kaf Lam Mim Nun Wau Ha Lam alif Hamzah Ya."

Lagu ngaji upin-ipin tersebut sontak membuat Kafka menjitak kepala Naresh dengan pulpen, "Sontoloyo." dengus Kafka membuat Naresh tergelak.

"Kantin yok!" ajak Naresh di sisa tawanya.

"Males!" jawab Kafka ketus.

Bukan Naresh namanya kalau ia tak segera merangkul Kafka dan menyeretnya ke kantin diiringi makian khas Kafka sepanjang koridor.

Setelah kembali dari kantin, Naresh meletakkan sebuah pulpen di meja Shilla.

"La, ini pulpennya aku balikin. Tapi udah habis." cengirnya merasa tidak bersalah.

"Kebiasaan!" desis Shilla. "Ya udah kenapa masih di sini?"

Naresh menjulurkan pulpen lain yang masih utuh dan baru, "Makanya ini aku ganti yang baru."

Shilla tersenyum, "Nah, gitu dong!" ucapnya berterima kasih setelah mengambil pulpen tersebut.

Naresh yang belum beranjak membuat Shilla mengernyit, "Apa lagi?"

"Pinjem pulpen," jawab Naresh santai.

"Naresh!" ucap Shilla sebal dan lebih sebal lagi mendengar tawa Naresh.

Setelah urusan pulpen  selesai, Naresh berniat melangkah kembali ke kursinya namun tiba-tiba punggungnya mendingin. Menelan ludah, Naresh menoleh dan mendapati Abel yang juga sedang menoleh padanya. Meski Abel hanya diam tapi Naresh seolah merasakan bahwa gadis itu sedang menagih powerbank yang dipinjamnya dua hari lalu.

Naresh berdecak, entah mengapa dirinya seperti tertangkap basah kedapatan mencuri.

"Iya, iya, Bel. Aku kembaliin powerbank-nya, jangan sinis gitu, ah. Merinding, nih." Sejurus kemudian Naresh berjalan cepat menuju kursi paling belakang.

Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Bel pulang yang biasanya dinanti-nantikan semua siswa, nyatanya sangat dibencinya. Sekolah baginya adalah tempat pelarian paling sempurna atas semua masalahnya, di mana ia bisa tertawa tanpa harus merasa sakit dan mendengar suara tangis.

Naresh duduk di bangku panjang depan kelas sambil memakan kacang kulit yang telah dikupas ibunya. Ketika Naresh bertanya, jawaban ibunya mampu membuatnya geleng-geleng kepala takjub. Biar Naresh tidak buang kulit kacang sembarangan, katanya.

"Mau dong, kacangnya!"

Tiba-tiba seorang gadis datang dan merebut wadah berisi kacang yang berada di genggaman Naresh.

"Heh, pencuri! Balikin kacangku!" Naresh berusaha merebut kembali, tapi gadis itu malah lari. Membuat Naresh gemas dan mengejarnya.

"Kiara balikin! Itu stok terakhir!" teriak Naresh.

Gadis yang dipanggil Kiara itu hanya tertawa-tawa sambil melarikan sesajen sahabatnya. "Ambil sendiri kalo bisa!" balasnya ikut berteriak.

Naresh mendengus, memepercepat larinya dan hap. Ia berhasil menangkap Kiara. Digelitikinya gadis itu hingga tawa mereka menggema di penjuru koridor yang telah sepi.

"Udah udah stop! Aku nyerah!" ujar Kiara menyerahkan bungkus kacang.

Naresh menjitak kepala Kiara. "Dasar pencuri!"

"Yaelah bercanda doang! Lagian aku juga nggak suka kacang, bikin jerawatan. Tuh kaya kamu."

Naresh meraba wajahnya, benar saja ada satu jerawat di hidungnya. Ia terkekeh, "Jerawat rindu ini mah."

"Cie, rindu aku ya?" ujar Kiara menyikut lengan Naresh yang hanya dijawab kekehan.

Naresh melingkarkan tangan di bahu Kiara, mengajaknya pulang bersama. Selain kacang, Kiara adalah prioritas hidupnya.

"Pertanyaanku kok nggak dijawab?"

"Kapan sih aku nggak rindu kamu?"

Kiara tersenyum, senyum yang mampu membuat Naresh bisa bertahan selama ini. Betapa dirinya sangat memuja gadis itu, sejak dulu hingga sekarang. Meski perasaannya terhalang tameng bernama sahabat.

Setelah mengantar Kiara sampai di rumah dengan selamat, Naresh melajukan motornya menuju rumah. Saat itulah, topeng jenakanya hilang.

"Baru pulang? Dari mana aja kamu?!" Suara bariton itu menggelegar, menyambut kepulangan Naresh.

Naresh menghela napas, selalu saja begini setiap ia pulang selepas isya. "Ada ekskul bola, Yah." jawabnya terpaksa berbohong.

"Halah, bohong!" bentak ayahnya.

Kalau dulu punggung Naresh menegak jika dibentak, sekarang responnya biasa saja. Justru ia berani menentang tatapan tajam ayahnya.

"Anda yang mengajarinya."

Plak!

Satu tamparan mengenai pipi kanan Naresh, ia hanya tersenyum kecut.

"Kenapa cuma ditampar? Nggak dibunuh sekalian anaknya? Oh, saya baru inget nggak dianggap anak."

"Kurang ajar kamu ya!" Tangan Wijaya terangkat, hendak memukul. Tapi ditahan oleh istrinya yang kini menangis tersedu.

"Udah, Yah. Cukup." isak Dewi sambil memegangi tangan Wijaya.

"Nggak papa, Bu. Aku mati aja biar dia seneng."

Ucapan Naresh barusan membakar emosi Wijaya, kalau saja Dewi tidak menahannya, sudah pasti Naresh habis seperti malam-malam sebelumnya.

"Kamu itu anak laki-laki satu-satunya! Harusnya kamu bisa bikin kami bangga! Bukan malah jadi berandalan seperti ini! Mau jadi apa kamu hah?!"

Naresh berlalu menuju kamar menghiraukan segala ucapan Wijaya. Ia membanting pintu dengan keras. Tubuhnya meluruh di balik pintu. Ia sudah berusaha jadi anak yang baik, tapi tetap saja salah di mata ayahnya. Masih jelas di ingatan semua perlakuan Wijaya. Tamparan di pipi ini belum seberapa, bekas luka di punggung dan dadanya adalah bukti betapa keras hari-hari yang dijalaninya. Terlebih di dalam hatinya, luka itu masih lebar menganga dan setiap hari ditabur garam oleh orang yang mengaku sebagai ayahnya.

Ingatannya melayang pada lima tahun yang lalu, saat dirinya gagal menjaga Sania–adik perempuannya. Saat itu Sania berusia enam tahun, memaksa ikut bermain dengannya. Naresh yang tidak punya pilihan karena sudah ditunggu teman-teman, membawa serta Sania ke lapangan dekat jalan. Saat ia sedang sibuk bermain bola, Sania lepas dari pengawasan dan tertabrak mobil hingga kehilangan nyawa.

Kejadian itu adalah awal dari mimpi buruk Naresh, Wijaya menyalahkan dirinya. Kematian Sania membuat Naresh dihukum dengan siksaan. Yang paling membuat hancur adalah kata-kata Wijaya yang takkan pernah bisa dilupakan olehnya, bahwa dia adalah penyebab kematian Sania. Kenyataan yang selalu menghantui Naresh setiap menginjakkan kaki di rumah ini.

Naresh memeluk lutut, menenggelamkan kepalanya di sana. Pernah dengar pepatah 'orang yang paling sering tertawa sebenarnya paling sering menangis'? Itulah Naresh, di sekolah ia memang teramat sering tertawa. Tapi jika di rumah, terlebih di kamarnya sendiri, semua musnah tak bersisa. Tapi Naresh tidak menangis, air matanya telah lama habis dan hatinya kebas. Naresh menyebutnya, mati rasa.

*****

Written by Defaira

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro