DEFINISI BAHAGIA
Seorang gadis berwajah datar melangkah memasuki kelasnya. Rambut pendeknya ia tutupi dengan penutup kepala dari hoodie hitam yang sering ia kenakan di mana pun ia berada. Matanya yang memerah tampak menghiasi wajah putihnya. Siapa pun yang melihat gadis itu pasti akan memalingkan wajah dan menggeleng kepala. Dengan kebingungan mereka akan bertanya, apakah dia benar-benar manusia? Atau mayat hidup?
Tidak usah menebak-nebak. Sini, kukenalkan dia pada kalian.
Namanya Himalaya Thealita, gadis misterius dengan sejuta rahasia yang tersembunyi di balik wajah cuek dan sikap tidak pedulinya. Dan dia … manusia.
Gadis itu terus memandang lurus ke depan, ke arah tempat duduknya yang terletak di urutan ke dua dari belakang. Ia sama sekali tidak peduli dengan senyum lebar dari Yafi yang tengah bersiap meluncurkan ucapan selamat pagi.
"Udah. Nggak bakal ditanggapin. Percaya sama gue." Aca bersuara. Ia menatap Yafi dengan tatapan iba.
"Sok tahu lo!" ucap Yafi.
"Gue emang tahu. Daripada nyapa si mayat hidup, mending bayar uang kas aja. Biar lo ada gunanya." Aca mengulurkan telapak tangannya yang terbuka lebar ke depan wajah Yafi. Namun lagi-lagi diabaikan oleh cowok itu.
Yafi memilih mengulum lolipopnya kemudian memandang ke arah Himalaya, hendak mengucapkan ucapan selamat pagi yang sempat tertunda. Melihat Himalaya yang sudah menenggelamkan wajahnya di atas meja, Yafi hanya bisa menarik napas kecewa. Terpaksa ia harus menelan bulat-bulat ucapan selamat paginya untuk ke sekian kali.
"Sekecewa itukah lo saat nggak bisa nyapa Himalaya? Lihat gue, ya. Bakal gue tunjukin caranya biar ditanggepin Hima." Aca memasang tampang percaya diri lalu melangkah menghampiri meja Himalaya. Cukup lama ia berdiri di situ. Pikirannya sibuk memunculkan topik-topik yang bisa digunakan sebagai bahan pembicaraan.
Sebuah lampu menyala di atas kepala Aca, membuat adis itu tersenyum semringah. Ia melirik Yafi sekilas seolah memberi kode bahwa ia akan berhasil. Setelah menarik napas sejenak, akhirnya Aca memberanikan diri membuka suara. "Him, boleh ngomong sebentar?"
Himalaya mendongak. Mata merahnya menatap Aca dengan tatapan tidak suka. "Apa?"
"Lo kenal Yafi, kan? Jadi gini. Dari tadi dia nangis-nangis pengin lolipop. Lo mau kasih sum .…"
Tawa Yafi langsung meledak ketika melihat bagaimana ekspresi Aca saat ditatap dengan tatapan datar oleh Himalaya. Tanpa memedulikan ocehan Aca yang belum selesai, Himalaya kembali bertelungkup di atas meja. Ia sama sekali tidak peduli akan senyuman Aca yang menurutnya terkesan dibuat-buat dan memiliki maksud tertentu. Apa lagi jika bukan menagih uang kas?
Dengan perasaan malu dan tampang sok tegar, Aca melangkah mendekati Yafi. Ia hanya bisa pasrah ketika diledek habis-habisan oleh cowok itu.
"Eh, Mbak jualan kacang, ya? Beli, dong."
"Ngapain beli kacang? Biar bisa tinggi?" balas Aca tak mau mengalah.
Yafi hendak membalas ucapan pedas Aca, namun urung ketika melihat Anjani telah memasuki ruang kelas. Seluruh warga kelas segera duduk di tempat masing-masing untuk menunggu hal-hal yang akan disampaikan wali kelas sekaligus guru bahasa indonesia itu. Tak terkecuali Himalaya. Ia terlihat menaruh perhatian ke depan kelas meskipun sebenarnya ia enggan.
"Jadi begini. Berhubung ujian kenaikan kelas sudah dekat, kalian akan ibu beri tugas akhir."
Mendengah hal itu, seluruh murid langsung berbisik-bisik. Ada rona bahagia di wajah mereka karena sebentar lagi akan menjadi kelas duabelas. Ada pula yang sedih karena kemungkinan tidak akan sekelas lagi. Di antara dua jenis ekspresi itu, hanya Himalaya yang tampak santai dan tidak peduli. Baginya, akan sangat menyenangkan jika ia sudah kelas duabelas. Itu artinya ia akan segera meninggalkan sekolah membosankan ini.
"Tugasnya apa, Bu?" tanya Ken selaku ketua kelas.
"Nggak sulit, kok. Saya kasih kalian tugas untuk menulis definisi bahagia menurut kalian. Tugas itu akan dikumpul saat ujian kenaikan kelas nanti," kata Anjani sambil memandang wajah seluruh murid-muridnya yang tampak kebingungan.
"Kami, kan udah SMA. Kenapa dikasih tugas kayak gitu, Bu?" protes Susan.
"Saya sengaja kasih tugas seperti itu. Definisi setiap orang, kan beda-beda. Lagipula, harusnya kalian bersyukur dikasih tugas mudah. Atau kalian mau yang sulit?" tanya Anjani.
"Nggak, Bu." Seluruh murid berteriak serempak.
Anjani tersenyum. "Oke. Kalau begitu ibu pamit. Selamat mengerjakan."
Selepas kepergian Anjani, ruang kelas yang tadinya sepi berubah menjadi berisik layaknya jalanan yang macet. Semuanya sibuk mengeluarkan protes atas tugas yang diberikan oleh wanita itu.
"Jangan-jangan bu Anjani lupa kalau kita udah kelas sebelas." Yafi memasang tampang ngeri.
Himalaya mendengkus kesal. Kenapa mereka sangat heboh? Tidak bisakah mereka diam dan membiarkan suasana kelas ini tenang walau hanya sehari? Himalaya benci berisik. Ia menyumpal telinganya dengan earphone sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali tidur.
***
Bunyi piring keramik saling beradu dengan sendok dan garpu, menghasilkan suara yang membuat ruang makan itu terasa lebih hidup. Sementara dua orang yang tengah duduk di situ terlihat sibuk dengan urusan masih-masing. Atmosfer di tempat itu terasa aneh. Namun, bagi Himalaya yang sudah terbiasa, ia sama sekali tidak peduli dan malah memilih berinteraksi dengan ponsel.
"Gimana sekolah kamu hari ini?" tanya wanita setengah baya yang duduk di depan Himalaya.
"Biasa aja," jawab Himalaya sekadarnya.
"Teman-teman barumu seru, nggak?"
"Biasa aja."
Tricia, wanita setengah baya yang notabene-nya adalah ibu Himalaya itu menarik napas panjang. Ia melepaskan alat makan yang ada di genggamannya, lantas menatap Himalaya dengan tatapan serius.
Gadis remaja tujuhbelas tahun tersebut tampak sibuk menggeser-geser layar ponsel seolah tidak peduli akan keberadaan ibunya.
"Himalaya."
"Apa?"
"Kamu masih kesal sama mama?"
Himalaya diam. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang jawabannya sudah bisa ditebak itu. Lagipula siapa yang tidak kesal jika setiap tahunnya harus pindah sekolah karena pekerjaan orangtua? Bukan hanya kehilangan teman, ia bahkan harus kehilangan segalanya.
"Jangan gitu, dong. Mama yakin, kamu bisa, kok dapetin teman dekat seperti di sekolah lamamu. Percaya sama mama." Tricia tersenyum, berusaha menenangkan anak gadis satu-satunya itu.
"Terus? Kalau Himalaya udah dapet teman, mama bakal pindah ke luar kota lagi?" tanya Himalaya sarkatis.
"Him …."
"Mama pikir, untuk membangun sebuah hubungan pertemanan itu mudah?"
"Kok kamu ngomong gitu, sih?"
"Harusnya mama nggak usah cerai dari papa kalau ujung-ujungnya hidup kita bakal susah kayak gini," ucap Himalaya dengan mata mulai berkaca-kaca. Ia melepaskan sendok yang berada di genggamannya dengan kasar kemudian berdiri, meninggalkan Tricia yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Himalaya menutup pintu kamarnya dengan keras. Rasanya ia ingin menangis. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia tidak butuh uang banyak. Ia hanya butuh dimengerti.
Terkadang, Himalaya merasa ingin berteriak sekeras mungkin agar bisa melampiaskan emosinya. Namun, entah kenapa suaranya tidak bisa keluar, seolah ada yang menahannya. Akhirnya ia hanya bisa meringkuk di sudut kamar kemudian menangis di sana.
***
Anjani, wali kelas sekaligus guru bahasa Indonesia itu sibuk berkeliling kelas, mengamati satu per satu muridnya dengan teliti. Mereka semua terlihat begitu berkonsentrasi mengisi soal ulangan harian yang ia berikan. Beberapa dari mereka tampak mengetuk-ngetuk kepala dengan ujung pulpen ketika tidak kunjung menemukan jawaban. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 8.50. Itu berarti sepuluh menit menuju waktu istirahat pertama.
Menjelang ujian kenaikan kelas, ada beberapa guru yang memberikan ulangan harian, termasuk Anjani.
Saat sampai di meja Yafi, wanita berumur tigapuluh satu tahun itu berdecak kagum melihat banyaknya permen lolipop yang terletak di atas meja, bahkan sampai menutupi lembar jawaban. Wanita itu melipat tangan di depan dada, lantas menatap Yafi dengan tatapan tajam. "Kamu mau jualan atau sekolah?" tanyanya.
Yafi mengangkat kepala lalu memasang senyum lebar. "Sebenarnya enggak jualan, Bu. Tapi kalau Ibu pengin, boleh deh. Satu lolipop seribu."
Sontak saja, seluruh warga kelas kompak menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan tawa yang hendak meledak.
Anjani hanya geleng-geleng kepala, kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat duduk yang terletak di pojok kanan kelas tepatnya di urutan kedua dari belakang. Matanya tidak lepas dari sang pemilik tempat duduk itu. Menurut Anjani, gadis dengan nametag Himalaya Thealita tersebut sangat misterius. Ia kadang ingin bertanya apa alasan gadis itu sering memakai hoodie hitam di mana pun ia berada. Kepribadiannya yang tertutup membuat Anjani semakin ingin mendekatinya. Namun sayang, gadis itu selalu menghindar.
"Kalau lagi kesal, sebaiknya kamu ke rooftop, keluarkan semua kekesalan kamu dengan teriakan. Kasihan, kan kertas itu dicoret-coret."
Himalaya menghentikan gerakan pulpennya. Ia menatap guru bahasa Indonesia tersebut sekilas sebelum akhirnya beralih fokus pada lembar jawaban yang baru terisi setengah. "Saya baik-baik aja, Bu," jawab Himalaya.
"Oh, ya? Baru kali ini ibu lihat orang baik-baik aja tapi wajahnya kusut begitu."
Tidak ada tanggapan dari Himalaya. Gadis itu terlihat sibuk mengerjakan soal. Namun beberapa detik kemudian tangan kanannya mulai bergerak kasar, mencoret-coret lembar jawaban yang terletak di depannya dengan sekuat tenaga hingga membuat lembar jawaban itu sobek. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia membanting pulpennya di atas meja lalu berlari ke luar kelas, meninggalkan tatapan khawatir dari teman sekelasnya.
Kakinya bergerak cepat menaiki tangga. Tujuannya saat ini hanya satu: rooftop. Sesampainya di situ, Himalaya langsung terduduk sembari memeluk lututnya erat. Ia terisak hingga membuat punggungnya bergetar hebat.
Jika tangisan mampu membuat seseorang merasa lebih baik, maka Himalaya berharap itu akan terjadi pula padanya.
***
Lingkungan sekolah mulai tampak sepi. Sebagian besar murid sudah kembali ke rumah masing-masing setelah mendengar bel pulang berbunyi sekitar tigapuluh menit yang lalu. Seluruh pintu kelas telah terkunci rapat, kecuali kelas Himalaya.
Pintunya terbuka lebar, memperlihatkan deretan kursi kosong yang tampak berantakan. Namun, jika dilihat dengan lebih seksama, di dalam kelas itu ada Himalaya dengan hoodie hitamnya yang sedang bertelungkup di atas meja.
Baru setelah satu jam, Himalaya mengangkat kepalanya, memperlihatkan mata sembab akibat tangisannya di rooftop. Ia berdiri, menyambar tas yang terletak di atas meja kemudian melangkah ke luar kelas.
Setelah mata pelajaran bahasa indonesia tadi, Himalaya memutuskan untuk tetap berada di rooftop daripada memasuki kelas yang dipenuhi keributan. Ia membolos di dua mata pelajaran. Sepertinya besok pagi ia akan menerima hukuman. Himalaya tidak peduli. Setidaknya ia sudah merasa lebih baik sekarang.
"Mau berapa kali saya bilang, Pak? Saya nggak suka dijemput." Suara bernada tegas keluar dari mulut gadis itu ketika melihat sang supir tengah berdiri di samping pintu mobil yang terbuka lebar.
"Maaf, Non. Tapi ini perintah ibu," kata supir berwajah sendu itu.
"Bilang sama mama, kalau masih ingin melihat saya sekolah di sini, berhenti jemput saya." Gadis itu berbalik, kembali memasuki gerbang sekolah dengan wajah kesal. Ia menyumpal telinganya dengan earphone supaya tidak bisa mendengar teriakan pak Arya, supir ibunya.
Sementara sang supir hanya menarik napas panjang melihat punggung anak majikannya yang sudah semakin menjauh. Ia masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesinnya kemudian melesat pergi meninggalkan SMA Cakrawangsa.
"Mau ke mana lo? Kelas udah gue kunci."
Himalaya melirik Ken sekilas lalu menjawab, "bukan urusan kamu." Dengan perasaan kesal, ia terus melangkah menyusuri koridor yang tampak sepi. Seperti biasa, tujuannya adalah atap sekolah, tempat di mana ia bisa bersantai sepuasnya sembari menikmati semburat merah di langit yang penuh akan polusi.
"Perlu gue temani?" Ken bertanya. Senyum lebar yang terlukis di wajahnya tidak luntur sedikit pun walau Himalaya tidak memedulikan dirinya sama sekali. Melihat Himalaya terus melangkah, ia bergegas mengejar gadis itu, berusaha menyamai langkahnya dengan langkah Himalaya. "Diam berarti iya."
Himalaya masih tidak memedulikan keberadaan Ken bahkan setelah ia tiba di atap. Seharusnya Ken sudah pulang sejak tadi. Namun, sebagai ketua kelas yang bertanggung jawab, ia harus menunggu seluruh anggota kelasnya pulang supaya ia bisa memastikan jika kelasnya kosong dan sudah bisa dikunci.
Melihat keberadaan Himalaya, cowok itu terpaksa harus menunggu. Ia terus mengawasi gerak-gerik gadis misterius itu, berharap ada jawaban mengenai sejuta pertanyaan yang muncul dalam benaknya selama ini. Namun, tidak ada satu pun jawaban yang ia temukan karena yang Himalaya lakukan hanyalah tidur. Setelah beberapa lama kemudian gadis itu terbangun lalu melangkah keluar dari kelas.
Ken kembali memutuskan untuk tetap tinggal saat melihat Himalaya kembali memasuki gerbang dengan wajah kesal. Meskipun awalnya merasa canggung, akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri gadis itu walau kemungkinan diacuhkan adalah sembilanpuluh sembilan persen.
Setelah mengambil tempat yang nyaman, Himalaya segera mengeluarkan sebatang cokelat dari saku hoodie hitam yang ia kenakan kemudian memakannya.
Ia merindukan teman-teman di sekolah lamanya. Ia juga merindukan sosok ayah yang tidak pernah sekali pun memberi kabar padanya. Andai Tricia tidak dipindahtugaskan, mungkin ia tidak akan pernah mau bersekolah di sekolah asing ini. Bahkan ia tidak rela menghabiskan masa SMA-nya untuk masuk di kelas membosankan yang dipenuhi remaja-remaja labil seperti mereka. Mengesalkan sekali.
"Lo yakin nggak mau berbagi sama gue?"
Himalaya menatap Ken dengan tatapan yang jauh dari kesan ramah. Cowok berkacamata itu adalah bagian dari anggota kelas barunya yang menjabat sebagai ketua kelas. Kalau saja Himalaya tahu akan bertemu Ken, ia pasti sudah memilih pulang bersama supirnya tadi.
"Lo yakin nggak mau ajak gue ngomong? Ya udah, deh. Kalau gitu gue pamit."
"Gue pengin bahagia."
Hampir saja Ken tersedak akibat menelan salivanya sendiri. Ia terkejut mendengar suara Himalaya yang menurutnya sangat langka. Cowok itu menatap Himalaya dengan tatapan takjub. Sedetik kemudian ia tersenyum lebar.
"Gampang. Lo tinggal senyum, maka lo akan bahagia."
Himalaya menatap langit yang mulai menampakkan semburat merahnya. Ia menggeleng pelan. "Lo tahu, di dunia ini ada dua alasan kenapa manusia tersenyum. Senyum karena bahagia, dan senyum karena pengin terlihat bahagia. Dua-duanya nggak cocok untuk gue jadikan alasan."
Lagi-lagi Ken dibuat takjub oleh Himalaya. Baru kali ini gadis itu berbicara dengan kalimat panjang. Biasanya, untuk berkata 'iya' saja ia enggan.
"Kayaknya gue emang nggak bisa bahagia."
"Tahu dari mana?" tanya Ken.
Himalaya tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia memilih bungkam sambil menikmati pemandangan menenangkan yang terpampang di hadapannya.
"Dengar, Him. Lo pasti bisa bahagia. Gue yakin banget. Hanya saja, mungkin lo butuh kehadiran seseorang untuk meraih kebahagiaan itu," ucap Ken sembari membenarkan letak kacamatanya. Rambutnya yang biasanya rapih mulai terlihat berantakan karena ditiup angin yang sedikit kencang.
Himalaya mengambil ponsel dari saku hoodie-nya. Ia mengeraskan volume musik supaya bisa terhindar dari omongan Ken. Namun, menyadari cowok itu terus menatapnya, ia mencabut earphone dari telinga dengan kasar, lantas menatap Ken dengan tatapan tidak suka.
"Lo boleh pergi. Gue pengin sendiri."
Ken membulatkan matanya. Baru beberapa detik yang lalu Himalaya mengajaknya bicara, kini gadis itu mengusirnya dengan nada bicara seperti itu. Mengesalkan sekali. "Lo berkepribadian ganda, ya?" tanya Ken.
Himalaya tidak menjawab.
Ken menarik napas panjang. Ia melangkah mendekati Himalaya yang tengah duduk di sofa tua yang sudah tampak usang kemudian duduk di situ. Matanya tak lepas dari wajah pucat gadis itu. "Gue nggak tahu apa alasan lo bersikap kayak gini. Satu hal yang gue tahu, lo itu menyedihkan, Him."
"Maksud lo apa?" Himalaya menatap Ken tidak suka. Tidak peduli seberapa kuat volume musik yang ia dengar, suara cowok itu tetap bisa memasuki telinganya.
"Lo nggak tahu berapa banyak teman sekelas yang pengin jadi teman lo tapi memutuskan untuk menjauh setelah melihat sifat egois dalam diri lo. Kalau nggak mau sekolah di sini, silakan pindah. Jangan merusak kebahagiaan di kelas gue."
"Hak lo apa ngomong kayak gitu?" tanya Himalaya. Dari nada bicaranya, Ken dapat menebak jika gadis itu marah.
"Gue nggak ada hak, Him. Tapi sebagai teman sekelas, gue berhak kasih tahu soal ini. Lo memang pemeran utama di dunia lo. Tapi, tanpa pemeran pembantu, pemeran utama nggak akan berarti apa-apa."
Himalaya terdiam di tempat duduknya. Ia bahkan tidak ingat kapan Ken pergi. Gadis itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.16. Perkataan Ken membuat ia kembali melamun. Entah sudah berapa kali perkataan cowok itu berputar-putar di kepalanya.
Ia berdiri lalu membuka penutup kepala yang menutupi rambut hitam legamnya yang sudah lepek. Tiupan angin sepoi-sepoi mampir di wajahnya, menikmati inchi demi inchi wajah pucat gadis berumur tujuhbelas tahun itu. Matanya ia pejamkan rapat-rapat. Satu pertanyaan muncul dalam benaknya. Apakah selama ini ia salah?
***
"Himalaya, mama harus bicara."
Sebuah suara bernada tegas menyambut kedatangan Himalaya. Gadis itu menengok, mendapati sang ibu tengah duduk di sofa yang terletak di ruang keluarga. Melihat pakaian wanita itu, Himalaya menduga jika ibunya baru saja kembali dari kantor.
Himalaya mendekati ibunya dengan langkah malas-malasan. "Ada apa?"
"Kenapa menolak dijemput pak Arya?" tanya wanita tersebut.
"Pak Arya belum ngomong sama mama? Himalaya malas ngomong dua kali."
Tricia, ibu Himalaya menarik napas panjang. Ia tahu ini salahnya karena sering pindah-pindah. Selain itu, perceraiannya dengan Davi membuat Himalaya kian menjadi. Sikap judes, malas bergaul, pendiam, dan tidak peduli adalah gambaran jelas mengenai diri Himalaya yang sekarang. Ia benar-benar berubah menjadi gadis remaja antisosial. Meskipun begitu, Tricia bersyukur karena Himalaya tidak menjerumuskan dirinya ke dalam kenakalan remaja yang lebih parah.
Namun, ia tidak bisa untuk tidak peduli dengan sifat buruk yang bisa merugikan gadis itu.
"Kalau mama udah selesai ngomong, Himalaya pamit, mau mandi." Himalaya berbalik, hendak menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Namun, ucapan yang keluar dari mulut Tricia membuat gadis itu mengurungkan niatnya.
"Maafin mama."
Himalaya kembali membalikkan tubuh, menatap sang ibu.
"Harusnya mama lebih mengerti kamu. Mama pikir, dengan bercerai dari papa bisa buat kamu bahagia. Maafin mama, Nak. Mama nggak bisa jadi orangtua yang baik."
Bola mata Himalaya bergetar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri di tempatnya, namun hatinya menginginkan hal lain. Ia menghambur ke dalam pelukan Tricia. Gadis itu terisak. Punggungnya terguncang hebat. Sementara kepalanya ia tenggelamkan di pundak wanita tersebut. Kalimat yang ia tunggu selama bertahun-tahun itu akhirnya bisa terdengar di telinganya.
"Harusnya mama ngomongin ini dari awal," ucap Himalaya di sela-sela tangisnya.
Tangan kanan Tricia terangkat, mengelus lembut rambut Himalaya yang ditutupi dengen penutup kepala. "Kamu harus tahu, di dunia ini ada hal yang nggak harus kamu miliki. Bukan karena nggak berhak. Hanya saja, hal itu hanya akan menghambat kebahagiaan kamu. Termasuk papa."
Himalaya semakin mempererat pelukannya. Ia tidak membutuhkan apa pun selain permintaan maaf dari Tricia. Kini ia lega karena bisa mendengarnya meskipun butuh waktu lama.
***
Awalnya, suasana kelas berjalan biasa-biasa saja. Semuanya tampak berisik. Ada yang sibuk bercerita tentang game online, jajanan kantin yang sedang laku, bahkan ibu Anjani, si wali kelas sekaligus guru bahasa Indonesia yang sering menceritakan cerita remaja setiap pelajaran. Namun, saat sosok Himalaya muncul dari balik pintu, semuanya langsung terdiam.
Ken yang sudah stay di tempat duduknya langsung menatap gadis itu. Ia teringat akan peristiwa di atap sekolah, di mana ia merasa begitu beruntung karena bisa mendengar Himalaya berbicara panjang untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan menjadi siswa SMA Cakrawangsa.
"Wow, selamat pagi, Himalaya," sapa Yafi ramah. Cowok penyuka permen lolipop itu tersenyum lebar, memperlihatkan barisan giginya yang tersusun rapih. Kadang beberapa teman sekelas bertanya-tanya mengapa Yafi memiliki gigi yang sehat padahal ia sering mengulum lolipop.
Tidak seperti biasanya, kini Himalaya merespon sapaan itu dengan sebuah senyum. Senyuman tipis yang membuat seluruh warga kelas membelalakkan matanya karena terkejut. Beberapa dari mereka bahkan mendekat ke arah Himalaya, hendak menyelidiki keaslian senyum gadis cuek itu.
"Lo … lo barusan senyum? Gue nggak salah lihat, kan?" tanya Aca heboh. Ia mengucek matanya beberapa kali, masih belum percaya akan apa yang terlihat di matanya.
"Oh my god! Himalaya senyum? Nggak salah?" teriak Clarisa tidak kalah heboh.
Sementara Ken yang sejak tadi menjadi penonton langsung mengangkat dua jempol begitu Himalaya menatapnya.
"Jadi, Him. Karena sekarang lo udah senyum, gue boleh minta satu hal, nggak?" tanya Aca dengan wajah serius.
Himalaya menatapnya penasaran. "Apa?"
"Bayar uang kas sekarang."
Tatapan tajam langsung dilayangkan oleh Himalaya saat mendengar ucapan gadis itu. Aca langsung membuat gerakan seolah sedang menutup ritsleting di bibirnya sebelum akhirnya melangkah mundur untuk mencari mangsa selanjutnya.
"Hari ini lo nggak salah minum obat, kan?" tanya Ken sok polos.
Himalaya angkat bahu. "Enggak. Gue hanya mencoba buat senyum. Nggak nyangka bisa seheboh ini."
"Percaya sama gue. Lo ambil pilihan yang tepat," kata Ken penuh semangat.
"Jangan sok tahu!" Himalaya menanggapi ucapan Ken dengan nada jutek, membuat cowok itu reflek menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
"Lo beneran udah mau berubah, kan?" tanyanya memastikan.
"Lo boleh nggak percaya, kok."
"Ya udah, gue percaya."
Himalaya tersenyum tipis. Meskipun sedikit kaku, senyum itu mampu membuat Alvaro yang berada di situ menatapnya tanpa berkedip.
"Wow."
"Apa?" tanya Himalaya.
Alvaro menggeleng-gelengkan kepala seolah takjub dengan apa yang terlihat di depan mata. Tangan kanannya terangkat menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Kalau lo kayak gini sejak awal, pasti lo nggak bakal jadi jones kayak sekarang. Gue berani jamin."
Himalaya memutar bola matanya, lantas meninggalkan Alvaro dan Ken dengan langkah besar-besar. Tanpa sadar, sebuah senyum berhasil lolos dari bibir mungil gadis itu, senyum yang akan merubah dunia abu-abunya dipenuhi warna-warni masa SMA.
***
Ujian semester kenaikan kelas telah tiba. Anjani memasuki kelas dengan senyum lebar seolah senang akan penderitaan yang sebentar lagi akan menghampiri para muridnya. Apa lagi jika bukan sakit kepala karena memikirkan jawaban?
"Kalian ingat tugas yang ibu berikan beberapa minggu lalu, kan? Sekarang akan dikumpulkan."
Seluruh siswa mendadak heboh. Ada yang sibuk memukul kepalanya karena lupa mengerjakan, ada yang sibuk bertanya karena lupa jika ada tugas, ada juga yang sibuk mencuri waktu untuk mengerjakan tugas tersebut.
"Definisi bahagia menurut gue?" Yafi memukul-mukul kepalanya dengan ujung pulpen, berusaha mencari jawaban. Beberapa detik kemudian dia tersenyum lebar. "Definisi bahagia menurut gue adalah ketika gue punya permen lolipop abadi yang kalo dimakan nggak akan pernah habis. Mantep, Yaf!"
"Definisi bahagia menurut gue apa, ya? Aha! Ketika semua orang nggak nolak saat gue nagih uang kas nanti. Oke, selesai!" Aca menarik napas lega karena tugasnya bisa ia selesaikan dengan mudah.
Sementara itu, Himalaya yang tengah duduk di tempatnya memperlihatkan sebuah senyuman tipis atas pemandangan konyol yang terpampang di depan matanya. Ia kemudian fokus menatap kertas kosong yang terbuka lebar di hadapannya. Ia menarik napas sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengerjakan tugas yang diberikan bu Anjani. Perlahan, tangan kanannya mulai bergerak, menulis kata demi kata hingga menghasilkan sebuah kalimat sederhana.
"Definisi bahagia bukan tentang memiliki segalanya, tapi mensyukuri apa yang sudah dimiliki."
***
Written by vimnda_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro