9: Tumbang
Meta Bukan Metal
Anaknya introvert kali, Ra.
Upilnya DO Oppa
Lo bukan cup of tea dia mungkin.
Kalau Bulan Bisa Ngomong
Kurang mepet, Ra. Kalau belum akrab bakal banyak bolongnya.
Benadit Luka
Gebet aja, Ra. Kalau jadi pacar pasti longgar.
Gadis itu berjalan sembari menatap ponsel. Ia terus menjaga jarak, sesekali berbalik badan atau bersembunyi di balik kursi trotoar. Kakinya setia berjinjit-jinjit menapaki jejak milik Kahvi. Orang yang berlalu lalang mulai berbisik dan memandang aneh.
Dahi Rara berkerut berkat silau yang menghalangi matanya kala memindai komentar. Kesal, ia berdecak lalu memasukkan benda tersebut ke dalam tas. Fokusnya kembali tertuju pada laki-laki yang berjalan tertatih-tatih.
Kata 'kenapa' kembali tergumam. Terlalu banyak pertanyaan yang melintasi alam pikir Rara. Laki-laki itu terlalu misterius baginya. Kahvi benar-benar ingin bermain dengan segudang teka-teki. Sayangnya, tidak ada tawaran yang jelas hingga permainan tak segera dimulai.
Sosok yang sudah lima menit keluar dari toko buku itu kerap limbung. Tangan kirinya berusaha menggapai apa saja yang bisa dijadikan tumpuan. Mulai dari kursi trotoar, pohon peneduh jalan, hingga tiang listrik.
Terus gemetaran, Kahvi pun menghentikan langkah. Tubuhnya membungkuk bertumpu lutut. Napasnya tersengal dengan tangan mengurut dada.
Rara menelan ludah. Kedua tangannya kuat memegang tali sling bag. Gadis yang turut berhenti itu terpaku di tempatnya. Hasrat hati ingin berlari, memapah, dan bertanya 'ada apa', tetapi nyalinya hanya seujung kuku.
Maju, diam, maju, diam ....
Rara memilah pilihan dengan menyusuri ruas jari. Mulutnya komat-kamit tanpa memindahkan fokus pada orang yang sama. Perlahan, ia kembali melangkah tanpa berjinjit seperti sebelumnya.
"Ka---"
Belum sempurna, sosok itu luruh menghantam aspal trotoar dengan mata terpejam.
"Kahvi!!"
||
"Saya sudah jelaskan tadi, Pak. Pasokan dari Jember telat berhari-hari. Kondisi bahan sudah tidak fresh. Sudah tertera dalam ketentuan bahwa ini risiko pemasok."
Andin menggebrak mejanya kesal. Seharian ini kerjaan di kantor tidak ada yang beres. Mood yang dari pagi sudah dihancurkan oleh bawahannya kini semakin menjadi. Berusaha tenang, ia meminum segelas air yang selalu ada di atas meja.
"Santai, Ndin. Kalau memang pihak sana susah diajak kerja sama, putus kontrak saja. Masih banyak pemasok yang bener toh?"
"Ck, ngomong gampang, Had. Putus kontrak kan juga ada denda ruginya nanti."
Hadi mendekati wanita yang sudah setahun mengisi hatinya tersebut. Ia mengambil alih laptop di hadapan Andin dan melihat laporan bulanan yang terpampang. Sebagai HRD kantor lain, Hadi sudah berulang kali mengajak sang pujaan 'tuk pindah kantor, tetapi perempuan itu memilih stay dengan alasan cinta pekerjaan.
Konsentrasi Andin pun terpecah akibat dering ponsel. Seakan tuli, ia biarkan bising ponsel mengisi ruangan. Nama kontak yang tertera membuat Hadi mengangkat ponsel tersebut tanpa izin pemiliknya.
"Halo, Han?"
"Mas Hadi? Oh, lagi sama Mbak Andin?" Wanita bernama Hana yang tidak lain adalah adik kandung Hadi itu cukup terkejut, meskipun hal seperti ini sudah biasa ia temui.
"He'em. Kenapa? Kok jam segini telpon? Kamu gak kerja?" tanya Hadi bertubi-tubi.
"A-anu … itu … tadi Hana liat ada anak Mbak Andin di IGD."
Mata Hadi sontak terbelalak setelah mendengar kalimat tersebut. Ia lekas menoleh dan mendapati sang kekasih masih sibuk dengan rentetan data customer. Tampaknya Andin tidak mendengar ucapan adiknya.
Hadi menelan ludah sebelum bertanya, "Sama siapa?"
"Temennya mungkin. Ayahnya gak ada, makanya Hana telpon Mbak Andin. Tolong sampaikan ya, Mas. Aku mau visit lagi."
"Ok, ok, makasih, ya."
Hadi spontan mematikan panggilan tanpa mengucap salam. Ia meletakkan ponsel tersebut ke depan sang empunya secara hati-hati. Teduh tatapannya tak beralih, berharap terbalas dan keduanya bisa berbicara.
Namun, Andin masih saja menyibukkan jari-jarinya di papan ketik. Iris pekatnya enggan meninggalkan layar yang penuh dengan angka. Kesal, Hadi menghadapkan kursi wanita di awal 40 tersebut ke arahnya.
"Apa, sih, Mas?" kesal Andin seraya melepas kacamatanya.
Hadi menelan ludah. "Hana yang telpon."
"Terus?" ketus wanita dengan balutan hitam dari atas hingga bawah.
"Dia liat Kahvi di IGD sama temennya. Si Bayu gak ada."
Tanpa menjawab, Andin meraih ponsel dan mencari kontak sang putra. Rautnya merah padam dengan alis yang bertaut. Tangannya mengepal kuat berkat amarah yang berkumpul di ubun-ubun.
Hadi memijat tengkuk Andin dengan lembut. Suasana berubah hening sebab ia tak lagi berkata apa-apa. Sedikit saja berbicara, wanitanya tersebut pasti melempar tatapan sinis.
Pundak Andin menegang kala panggilannya dijawab seseorang. "Ha-halo?"
||
Bau obat-obatan kian menyengat hidung. Brankar pasien tak hentinya keluar masuk ruang IGD. Rara menyulap rambut keritingnya menjadi masker. Ia menutup area mulut sambil mengamati tetesan infus.
Bola mata Rara berputar malas. Gadis itu menopang dagu lalu mengalihkan pandangan pada jarum yang menancap di lengan kanan Kahvi. Ia mendengkus dan bergidik. Raganya lelah menunggu sosok yang tak kunjung membuka mata.
"Hah ...."
Lima belas menit berlalu dan ia masih setia duduk di tempat yang sama. Tubuhnya kerap limbung dan terkantuk-kantuk. Mata minimalisnya semakin menyipit dan memerah. Rara benar-benar merindukan kasur indekosnya.
Gadis itu kembali menatap ponsel yang ada di atas nakas. Sejak tiba di IGD, besar inginnya untuk segera menghubungi keluarga Kahvi. Namun, hasratnya dipukul mundur karena benda pipih itu diberi sandi yang jelas tidak Rara ketahui.
Beruntung, Tuhan selalu mempermudah niat baik hamba-Nya. Sebuah panggilan tanpa nama yang mengaku sebagai ibu Kahvi masuk dan menjawab kegelisahan Rara. Setidaknya, ia tak perlu mengeluarkan uang saku untuk menebus perawatan laki-laki di hadapannya tersebut.
"Engh ...."
Erangan lirih cukup 'tuk membuat Rara terperanjat. Gadis itu lekas melebarkan matanya dan mendekatkan diri ke wajah Kahvi. Ia memamerkan kawat giginya dengan wajah yang seketika berseri.
"Astaga!"
Rara terkikik kala mata yang baru saja terbuka itu kembali menutup. Kahvi terlihat panik berkat jarak mereka tak lebih dari sejengkal. Tangannya lekas terangkat mengurut dada yang berdegup cepat.
"Eh?" heran Kahvi.
Kedua matanya terkunci pada selang infus yang menancap pergelangan tangan. Ia lekas mengedarkan pandangan dari kiri ke kanan, meneliti setiap sudut yang tidak terlihat asing. Lagi-lagi berakhir di tempat ini, pikirnya.
"Gimana? Udah enakan? Pusing? Atau ...? Gue panggilin dokter aja deh, ya?" tawar Rara bertubi-tubi.
Sebelum beranjak, dengan cepat Kahvi menahan tangan gadis berambut tebal tersebut. Ia menggeleng tanpa senyum sedikit pun, "Gak usah."
"Tapi--"
Ucapan Rara menggantung begitu saja sebab orang yang ia ajak bicara terlihat kesusahan untuk bangkit. Tangannya spontan membantu, meski ditepis berkali-kali.
"Gak usah." Dua kata yang selalu Kahvi ucap saat tangan Rara hendak menyentuhnya.
"Lo mau ke mana?"
"Pulang," ketus Kahvi.
"Kata dokter, lo harus dirawat. Ibu lo udah otw ke sini."
Mendengar kata 'ibu', Kahvi lekas menoleh dengan tatapan sinis. "Lo nelpon nyokap?"
Rara menggeleng cepat. "Dia yang nelpon."
"Terus lo jujur?"
Gadis itu menelan ludah. Ia cukup sadar bahwa pilihannya kali ini tidaklah tepat. Raut kekesalan pada wajah Kahvi telah menjelaskan semuanya.
"Em … iya, Vi."
Kahvi mendengkus. Ia berdecak dan mencabut infusnya secara perlahan. Dahinya mengernyit kala darah mulai bermunculan dari bekas jarum tersebut.
"Eh, eh, lo apa-apaan?" kaget Rara.
"Gue udah bilang mau pulang."
Kahvi menyibak selimut dengan tangan yang masih bergetar. Ia turun dari ranjang tanpa mengindahkan larangan Rara sedikit pun. Gadis yang berdiri tiada arti itu menatapnya lekat, masih dengan mulut yang menganga.
"Lo ada masalah ya sama ortu?" tebak Rara percaya diri.
Kaki yang baru dua langkah menjauh itu lekas berhenti. Ia berbalik dan lagi-lagi beradu dengan netra cokelat milik Rara. "Gak usah sok tahu."
"Gue emang tahu, kok," potong gadis itu cepat. "Tadi lo berantem sama bokap, 'kan? Kontak nyokap juga gak di-save. Pasti ada yang gak beres."
Kahvi tertegun. Ia berjalan ke arah Rara dengan darah yang masih menetes. Tubuhnya berhenti tepat di depan gadis yang lekas menunduk sejak jaraknya terus menyempit.
"Ma-mau apa?" Rara menatap lantai yang memerah. Ia takut 'tuk mendongak.
"Gini!" Kahvi mengangkat dagu gadis yang belum berhenti mengikutinya tersebut. "Gak semua masalah bisa diceritakan. Lo kudu belajar buat gak kurang ajar."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro