Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6: Kenapa Lagi

Rara Si BK Andalan

See? Gak ada ikan yang nolak umpan. Ya memang sih, kadang mereka lari dari pancingan. Tapi jangan lupa, kata 'kadang' itu menyimpan keberhasilan. Halah, bentar lagi juga dapat kok. Tenang, tenang, Pemirsa.

Baru saja. Publik 
Suka. Tanggapi. Komentari. Berita Lengkap. Simpan. Lainnya

Rara lekas menyembunyikan ponselnya di balik rok. Sensasi panas yang menyengat paha ia abaikan sebisa mungkin. Dahinya mengernyit kala giginya menggigit bibir bagian dalam 'tuk menahan. Semua berkat Kak Teo--guru les--yang tiba-tiba menghadap ke arahnya.

"Coba kamu, Ra."

Mata gadis itu bergerak liar. Ia menatap angka yang berjajar di papan tulis dan spidol hitam yang disodorkan secara bergantian. Sial, umpatnya dalam hati. Mendengarkan saja belum tentu paham, apalagi beralih menyibukkan diri 'tuk membuat status.

Rara pun mendengkus pasrah. Matanya menatap depan kala mengambil ponsel. Secepat kilat ia meletakkan benda tersebut di bawah buku seraya berdiri.

Salah satu persamaan garis singgung lingkaran: x² + y² = 16 sejajar garis: 2x – y + 5 = 0 adalah ....

Rara mengusap wajahnya gusar. Ia menguap lebar saat jaraknya tak lagi jauh dari soal yang terpampang. Gadis itu menggaruk tengkuk dan mengacak rambut ikalnya.

"Hah ...."

Embusan napas kasar keluar dari mulutnya tanpa permisi. Gelengan pun turut mengiringi kala mata dan otak tak mau berkompromi. Kikuk, Rara menekuk lutut kanannya dan berjinjit-jinjit.

"Bisa, gak?" tanya Kak Teo sambil melipat tangan. Ia bersandar pada meja dan menatap Rara tanpa jeda.

Gadis itu lantas menoleh sambil tersenyum. Salah satu hobinya adalah memamerkan gigi yang dipenuhi kawat tersebut.

Ia lalu terkekeh sambil menggaruk pelipis, "Gak bisa, Kak."

Gelak pun sontak mengisi ruangan. Wajah Rara yang tertekuk membuat murid les lainnya tidak dapat menahan tawa. Mereka menggeleng, tak percaya akan kekonyolan yang dilihatnya.

Soal itu bertipe sama dengan contoh yang diberikan dan hanya berganti angka. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat menjawabnya dengan mudah. Tentu, Rara bukan termasuk dalam kategori tersebut.

"Kahvi mau nyoba?" tawar Kak Teo. "Rara boleh duduk, ya," ujarnya tak tega melihat gadis yang terpaku di tempat ia berdiri.

Anak yang disebut namanya itu lekas berdiri. Ia berjalan tanpa ragu, mengambil alih spidol yang masih Rara genggam dengan kasar. Gadis itu merelakan benda tersebut lalu kembali ke tempat duduk sambil mengentak-entak. Lubang hidungnya melebar kala Kahvi melempar seringai ke arahnya.

2x - y + 5 = 0
-y = -2x ; y = 2x
M1 = M2 = 2
r²= 16
r = 4
Pusat (0,0)
y = mx ± r akar (m² + 1)
y = 2x ± 4 akar (2² + 1)
y = 2x ± 4 akar 5

Kepala Kak Teo manggut-manggut. Laki-laki yang mengenakan kacamata serupa dengan Kahvi itu tersenyum puas. "Padat. Bagus. Kahvi, boleh duduk. Lanjut ke ...."

Mulut Rara belum menutup sempurna. Matanya masih terbuka lebar dengan alis yang bertaut. Ia refleks menggaruk kantung matanya yang terasa gatal. Hal tersebut kerap ia rasakan bila terlalu lama beradu dengan matematika.

Sebelum duduk, Kahvi sekilas melirik teman sebangku di sekolah barunya tersebut. Ia lekas menunduk saat menyadari gadis itu juga memandangnya tanpa berkedip.

Tangan dan kaki itu bergetar setelah berhasil duduk dengan tenang. Kahvi belum berani melirik ke belakang sebab mata yang menatapnya masih melakukan hal yang sama. Ia mencengkeram celana guna menetralkan degup jantung.

"Hari ini cukup sampai di sini. Kerjakan lembar kerja halaman 78 dan kumpulkan besok di ruang mentor."

"Hah?"

"Besok?"

"Kan gak ada matematika, Kak."

"Besok jadwalnya fisika, Kak."

Protes murid-murid itu satu per satu. Kak Teo memejamkan mata sambil tersenyum. Beginilah akibatnya bila belum selesai berbicara, tetapi sudah dipotong terlebih dulu.

"Dikumpulkan besok, kita bahas minggu depan. Ok?"

"Yah ...."

Kahvi dengan cepat mengemasi barang-barangnya. Ia keluar kelas tepat setelah Kak Teo meninggalkan ruangan. Rara yang menyaksikan hal itu lekas berlari, tak peduli akan tasnya yang belum ditutup dengan benar.

"Vi!" panggilnya.

Kahvi mengambil headset dan memakai tanpa memutar musik.

"Kahvi!"

Langkahnya kian melebar agar segera sampai ke depan gerbang. Bayu--ayah Kahvi--telah menunggu sejak lima belas menit yang lalu.

"Berhenti, atau lo gue tembak di lapangan sekolah."

Seperti tersihir, kedua kaki Kahvi lantas terpaku. Ia berbalik dan mendengkus, menatap tajam ke arah Rara yang lekas berlari menghampirinya.

"Nah, gitu dong."

"Lo mau apa, sih?" kesal Kahvi seraya mengeratkan genggamannya pada tali ransel.

"Gue baru tau, ternyata lo pinter juga." Rara berkata jujur. Selama di kelas, Kahvi cenderung diam dan pasif sehingga ia tak tahu menahu akan kepandaian laki-laki berambut tipis tersebut.

"Ck, gak penting." Kahvi menggeleng dan meneruskan langkah.

Namun, secepat kilat Rara menahan dengan menarik kaosnya. "Eh, tunggu! Gue belum selesai ngomong."

Kahvi kembali berbalik. "Apa lagi?"

"Kalau udah sepinter ini, ngapain pake les segala?" tanyanya acak.

"Maksud lo?"

"Ya, itu tadi maksud gue."

Kahvi menggeleng, masih dengan tatapan sinisnya. "Kalau standar orang berhenti belajar adalah ketika dia pandai, ya gak heran kalau sampai sekarang lo masih begok."

Anak itu menyingkirkan tangan Rara dari tasnya. Ia berlalu tanpa pamit dan terus berjalan lurus. Tak sedetik pun ia berbalik 'tuk melihat keadaan Rara.

Gadis yang memainkan rambut itu menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Kedua netranya dengan setia terus menatap punggung Kahvi yang melangkah jauh. Rara menyunggingkan senyum dan mengangguk mantap.

"Lo terlalu menarik buat dilepas."

||

Siswa kelas IPA 1 berbondong-bondong menuju lapangan basket. Olahraga indoor selalu membuat mereka bersemangat. Maklum, terik matahari di luar sana tidak sedang bersahabat.

Satu per satu meletakkan botol minuman di dekat tribun, tepat di samping Kahvi yang tengah membaca 'Harry Potter and The Goblet of Fire'. Ada yang menyapa seraya tersenyum, ada pula yang tak acuh dan pergi begitu saja. Semua Kahvi balas dengan anggukan dan senyuman tipis.

"Saya sudah tau dari wali kelasmu."

Kahvi mendongak mencari sumber suara yang mengajaknya berbicara. Ia membenahi letak kacamata kala guru olahraga--yang namanya belum ia ketahui--itu berdiri sambil berkacak pinggang.

"Daripada nganggur, nih, saya kasih kerjaan," ucapnya lagi sambil menyodorkan presensi. "Selesai praktik, kamu langsung centang nama-namanya, ya."

"Tapi Pak--"

"Saya mau ke kantin dulu. Belum sarapan. Makasih, ya." Laki-laki berkumis tebal itu mengusap perut dan meninggalkan Kahvi yang masih terdiam.

"Ta-tapi ...."

Terlambat, sanggahan Kahvi tak lagi ada gunanya. Ia lantas menatap nama-nama teman sekelas yang sampai sekarang belum dihafal. Lantas, bagaimana cara mencentangnya? Tahu saja tidak.

Kahvi pun mendengkus. Ia meletakkan presensi tersebut bersama botol-botol yang secara tidak langsung dititipkan kepadanya. Anak itu memilih 'tuk menamatkan perjalanan Harry dalam mencari piala api.

Asyik bermain, Rara tiba-tiba melempar bola yang ia pegang ke sembarang arah. Bola matanya lebih tertarik dengan sosok berseragam putih abu-abu yang duduk sambil membaca buku. Ia lekas berlari dan berhenti tepat di depan Kahvi.

"Kok lo di sini?"

Kahvi menengadah dan mengangguk malas, "Iya, kenapa? Lo gak ada pertanyaan lain?" herannya. Ia mulai bosan. Hampir setiap kali bertemu, Rara menanyakan dan mengatakan hal yang sama.

"Emm, kenapa? Kok gak join sama kita di lapangan?"

"Gak bisa," jawab Kahvi cuek. Matanya kembali fokus pada untaian kalimat terjemahan.

"Gak bisa? Kenapa? Lo sakit?"

"He'em."

"Apa? Cidera? Di mana?"

Kahvi menutup buku dengan keras hingga membuat Rara tersentak. "Cerewet!"

Anak itu beranjak dan meninggalkan ruangan. Persetan dengan titipan guru olahraga yang teronggok tanpa satu centang pun. Ia tak mau berlama-lama berurusan dengan Rara.

Gadis yang menyepol rambut itu kembali terperanjat kala pintu yang separuh terbuka ditutup dengan kasar. Ia pun terkekeh dan menggeleng. Spontan, Rara menyilangkan tangan di depan dada sambil bergumam. Terlalu banyak kata 'kenapa' yang berakhir tanpa jawaban dan ia membenci hal itu.

"Lihat aja nanti."

Sangat remaja 😅

Pak Sut kenapa pake nyempil sih 😑

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro