Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5: Pengikut

Rara Si BK Andalan
Konfirmasi . Hapus Permintaan

Belajar di Mana Saja Asal Sama Kamu
Tinggal di Hati Para Fans-nya
Lahir pada 14 April 1996

Lihat Profil

"Beneran miring."

Anak itu berdecak. Kepalanya terus menggeleng dengan seringai yang masih bertengger. Ia keluar dari akun facebook-nya lalu mengunci ponsel. Alih-alih mengonfirmasi permintaan pertemanan dari kawan sebangkunya, Kahvi memilih 'tuk abai dan mengantongi benda kotak seukuran telapak tangan tersebut.

Iris pekatnya mengedar, meneliti satu per satu papan nama yang terpaku di atas pintu. Tangan kanannya menggenggam formulir yang ia isi sebelum bel pulang berdentang. Lorong yang semula dipenuhi lalu lalang siswa itu mulai sepi, menyisakan debu yang membawa dedaunan.

"Uhuk!"

Kahvi memukul dadanya pelan. Refleks, ia menutup hidung menggunakan lengan kirinya. Anak itu dengan tergesa mengambil masker yang tersimpan di dalam ransel. Udara kotor adalah salah satu hal yang ia benci.

"Sial, di mana, sih?"

Kahvi mengacak rambut. Tatanan rapi berkat gel di pagi hari lantas sirna. Ia memijat tengkuk dan mendengkus kesal. Kaki jenjangnya meronta kesakitan. Ia lelah berjalan tanpa tujuan yang jelas.

Andai saja ia berani bertanya, urusan ini tak 'kan rumit. Namun, lidah laki-laki tanpa saudara itu telah kelu berkat gengsi. Kahvi terlalu takut 'tuk memulai percakapan dengan orang baru.

Tiba di persimpangan, langkahnya pun berhenti. Kiri atau kanan? Laki-laki itu benar-benar tidak tahu. Dahi yang membentuk tiga garis itu menunjukkan kegundahannya.

Kahvi menghela napas panjang. Kini ia menyesali keputusannya kala menolak tawaran Rara, yang berkeinginan mengajaknya keliling dan mengenalkan sekolah.

Satu-satunya lelaki bercelana panjang itu menelan ludah. Di sudut kanan, terdapat dua orang gadis menghadap laptop yang menatapnya dengan lekat. Ia pun melangkah mundur dengan tangan memegang tali ransel.

"Kahvi!"

Sang empunya nama menoleh. Sosok yang memanggilnya itu berdiri cukup jauh darinya. Lorong yang gelap membuat penglihatan Kahvi tak mampu menangkap. Namun, bisa dipastikan dia seorang gadis dengan rambut panjang dan superikal.

Tunggu, panjang dan ikal?

"Ra?"

Semakin dekat, Kahvi yakin bahwa dugaannya tidak salah lagi. Rara-lah yang berlari ke arahnya dengan tangan menutup rok bagian depan. Maklum, semilir angin hari ini terlalu bersemangat.

Berkat senyum selebar samudra, Kahvi dengan jelas melihat betapa indah tatanan gigi yang masih dikawat rapi. Mata yang tinggal segaris turut mempermanis raut gadis yang selalu bertanya 'mau curhat?' padanya tersebut.

"Ehm."

Kahvi berdeham dan menggeleng. Apa yang baru saja ia pikirkan? Ia segera mengusap wajah dan memukul pipi kirinya.

"Kok belum pulang?" tanya Rara seraya mengatur napas. Tubuhnya membungkuk dengan tangan bertumpu lutut.

Kahvi tak segera menjawab. Ia hanya menyodorkan selembar kertas yang Rara berikan padanya.

"Oh," Rara berdiri dan meraih formulir tersebut, "daftar ekskul?"

Kahvi mengangguk cuek. Bola matanya berputar malas, setia mengalihkan pandangan dari sosok yang sibuk menekuk lutut kanan.

"Jadi ikut klub debat?"

Kahvi mendengkus. "Lo bisa baca sendiri. Kenapa masih cerewet, sih?"

"Hehe," kekeh Rara. "Sorry, mau gue anter?"

Kahvi menggigit bibir bawahnya. Pemilik iris cokelat dan alis minimalis itu mengedip konstan dengan pipi yang mengembang. Sial, imut banget, batinnya.

"Gimana?" tanya Rara sekali lagi. Dengan berani ia mendekatkan diri dan menatap wajah Kahvi dari bawah. "Daripada nyasar dan telat ngumpulin ini."

Jantung Kahvi berdetak kencang saat Rara mempersempit jarak di antara mereka. Degup yang biasanya abnormal semakin menjadi-jadi kala kedua netra tak mau melepaskan diri dari indahnya ciptaan Tuhan. Persetan, ia pun mengangguk pelan.

"Nah, gitu kan ganteng. Yuk," seru Rara riang sambil menarik tangan Kahvi.

"Eh!" Kahvi spontan terbelalak lalu memundurkan badan.

"Kenapa?"

"Ta-tangan."

Rara menatap tangannya kemudian melepas. "Hehe, sorry," ucapnya tersadar.

"Hah ...."

||

Angka dan angka. Hanya besaran itu yang dijadikan tolok ukur orang tua Kahvi, terutama Bayu--ayahnya. Setiap nilai yang tertera di pojok kanan kertas ujian 'kan menentukan nasib si anak, apakah itu hadiah atau hukuman yang diterimanya.

Meski kata 'forsir' selalu dibantah mati-matian, perlakuan mereka menunjukkan sebaliknya. Jam sekolah dan ekstrakurikuler yang menghabiskan separuh hari seakan tak cukup, hingga les tambahan pun menjadi pilihan.

"Kata Kak Lala, Primantara itu tempat les terbaik di daerah ini."

Kahvi hanya mengangguk. Ia masih sibuk membaca buku baru yang dibeli sang ayah. Les, les, dan les, tak akan pernah menjadi topik yang menyenangkan baginya.

"Kalau Kak Lala yang bilang, udah pasti bagus, Mas."

Anak itu menyeringai. Mantan guru privat yang dipekerjakan ibu tirinya itu 'kan selalu dielu-elukan. Apa pun yang terucap dari bibirnya seakan mengandung mantra. Mulai dari sekolah hingga les, semua atas rekomendasinya. Kahvi hanya bisa mendengkus.

"Ayo, turun. Biar Ayah parkir dulu," ajak Nirma setelah Bayu menghentikan mobil di depan gerbang.

"Em, emang Tante sama Ayah ikut masuk?" heran Kahvi.

"Iya, dong. Mama sama Ayah kan mau liat-liat juga. Layak gak tempat ini buat kamu."

Bulu kuduk Kahvi berdiri. Ia selalu merinding ketika kata 'Mama' terucap dari mulut siapa pun itu. Ludahnya tertelan kasar saat menurunkan dari mobil. Dengan cepat ia berjalan meninggalkan orang tuanya.

Buku yang belum selesai dibaca itu lekas dimasukkan ke dalam ransel. Langkah Kahvi tergesa-gesa, meski batinnya tak tahu menahu harus pergi ke mana. Hanya satu hal yang ingin ia lakukan, yakni menghindari momen di mana ia dan Nirma hanya berdua saja.

Anak itu sesekali melirik ke belakang, memastikan apakah langkahnya diikuti seseorang. Tangan kanannya bergetar lelah karena terus membenahi letak kacamata yang kerap merosot. Nihil, ia pun kembali menghadap depan dengan kecepatan yang sama. Namun,--

Bruk!

"Aw!"

Kahvi tersungkur sambil mengusap jidat. Kebiasaan buruknya yang mengerikan kembali terulang. Ia berjalan miring sampai tidak menyadari keberadaan tiang lampu.

"Argh, sial!"

Anak berkaos abu-abu polos tersebut mengentak-entakkan kaki. Kesal, Kahvi pun berbaring dan merentangkan kedua tangan. Lorong yang sepi lalu lalang itu membuatnya tak lagi ragu berbuat demikian. Toh, jarak tempat parkir juga lumayan jauh. Orang tuanya tidak akan sampai secepat itu.

Langit-langit gedung bertingkat kini menjadi fokusnya. Entah mengapa, kedua mata Kahvi terkunci pada sarang tanpa tuan. Embusan napasnya kian teratur setelah sempat kembang kempis.

Terlampau santai, Kahvi menggunakan tangan kirinya sebagai bantal. Ia tak lagi peduli dengan dingin dan kotornya lantai tanpa alas tersebut. Kata 'mumpung' Kahvi jadikan tameng bila pertanyaan konyol menghampirinya.

"Kahvi!!"

"Aa!!"

Duk!

"Aw!!"

Hanya hitungan detik, Kahvi kembali mengaduh. Pening yang belum mereda tersebut kembali ditimpa hal serupa. Refleks, anak itu mengusap jidat dan memijat kening.

"Lo lagi!"

Bibir gadis itu mengerucut, sedangkan alisnya bertaut. Sungguh, pening juga menghampirinya. Rara tak menyangka bila surprise yang ia lihat di televisi membuat Kahvi terperanjat hingga membentur dahinya.

"Sorry, gue gak ngerti kalau lo bakal sekaget itu."

Kahvi masih mengatur pernapasan dan mengurut dada kirinya. "Gak perlu sedekat itu," kesalnya.

Sungguh tak habis pikir, mengapa Rara hobi sekali mendekatkan wajahnya pada Kahvi? Hanya sejengkal. Sedekat itu.

"Sorry, kan gue udah bilang sorry, Vi." Rara mengulurkan tangannya. "Bangun?"

Kahvi menepis tawaran tersebut dan bangun dengan usahanya sendiri. Anak itu membersihkan celana dan mengambil ransel. Iris sinisnya tak terlepas dari milik Rara.

Gadis itu menelan ludah. Meski di balik kacamata, aura menakutkan dari tatapan Kahvi tetap terasa. Kikuk, ia pun menggaruk tengkuk dan mengalihkan pandangan.

"Em, anu, lo-lo ngapain di sini?"

Kahvi berdecak. "Lo pikir orang di tempat les mau ngapain?"

"Ya les, sih."

"Itu tau. Jangan sok bego makanya."

"Iya-iya." Rara menunduk dengan kaki yang berayun. Fokusnya terhenti kala otaknya mulai mencerna situasi yang ia buat sendiri. "Eh, kok lo les di sini?"

"Emang kenapa? Gak boleh?"

Lagi-lagi gadis itu mendekatkan diri dengan tangan yang bertaut di belakang punggung. Senyumnya mengembang tanpa menunjukkan barisan kawat gigi. Takut, Kahvi pun perlahan mundur hingga menabrak dinding.

"L-lo mau apa?" tanya Kahvi gemetaran.

"Jadi, sekarang giliran lo yang ngikuti gue?"

Kahvi mengernyit bingung. "Hah?"

"Ck, jujur aja kali, gak usah belagak sok. Gimana? Mau curhat?"

Mau 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro