24 [END]: Semua Tentangmu
Anak itu menggigit jari-jari kirinya. Tubuh nan berguncang kala sang ayah mendorong hingga terbaring di kasur. Perlahan ia mencoba bangkit, meski tubuh masih membungkuk dan menatap lantai sebagai pelengkapnya.
Degup jantung Kahvi kian cepat. Bahunya bergetar hebat sebab Bayu 'tlah berkacak pinggang tepat di depannya. Laki-laki itu masih merah padam dengan ubun-ubun yang memanas. Kahvi bak ditampar oleh kata kecewa secara bertubi-tubi.
"Ayah gak habis pikir sama kamu, Vi."
Andin yang mendengar kalimat itu hanya bisa menatap. Ia bergeming di tempatnya, berusaha menahan hasrat 'tuk ikut campur. Fokusnya beralih pada pintu ruang rawat yang dikunci rapat, melongok petugas medis yang berjaga di luar kamar dari balik gorden.
"Kamu harusnya tau, kalau--"
"Hanya aku yang tau," Kahvi menelan ludah dan mendongak, "kalian enggak."
Alis Bayu lantas bertaut bersamaan dengan dadanya yang membusung. "Apa kamu bilang?"
Anak yang belum mengalihkan pandangan itu menyeringai. Serpihan kaca telah berkumpul di netranya dan ia pun masa bodoh. Kahvi mengusap lengan kanannya yang merah kebiruan lalu menggenggamnya erat, lebih dari saat ayahnya yang melakukan.
"Hanya aku yang harus tau, Ayah dan Ibu … enggak," jawabnya penuh penekanan.
Kesal akan cara Kahvi dalam berbicara dan menatapnya, Bayu tak dapat menahan diri untuk melayangkan tamparan. Dada laki-laki itu kembang kempis setelah menyalurkan sebagian energinya.
"Mas!" geram Andin sembari berdiri dan mendekat. "Jangan main kasar sama anak."
Bayu menggeleng tidak setuju, "Enggak. Kamu lihat sendiri, 'kan? Dia gak punya sopan santun, menjawab orang tua seperti itu. Dia--"
"Gak pernah diajarkan untuk sopan santun. Hanya belajar matematika, IPA, bahasa Inggris, musik, dan segudang kegiatan tambahan lainnya. Iya kan, Yah?"
"Kahvi--"
"Ayah dan Ibu gak pernah peduli posisiku. Kalian hanya ingin aku menuruti apa pun yang kalian mau. Kalian … gak akan pernah ngerti."
Tetesan air mata mulai lolos dari pelupuk pertahanan. Kahvi tak segera mengusapnya, meski hal itu mendatangkan embun dan menghalangi pandangan.
Nangis, ya nangis saja, begitulah untaian tersirat yang ia kenang dari sesosok gadis. Kalimat-kalimatnya seolah menepuk punggung dan menguatkan. Hangat ingatan yang merengkuh tubuh seakan berkata bahwa Rara … ada di sini--bersamanya.
"Itu sudah menjadi tugasmu sebagai anak. Berbakti dan menuruti kemauan orang tua. Ayah--"
"Lantas, apa tugas orang tua?"
Nada anak itu meninggi, menusuk telinga Bayu serta Andin. Dua orang tua yang berdiri sejajar itu saling pandang sekian detik sebelum akhirnya memutus tatap. Sunyi masih bersama canggung dalam mengurung jawaban yang ditunggu-tunggu.
"Jawab, Yah!"
Bayu tersentak saat Kahvi memilih memanggil dirinya dibanding Andin. Ia mendengkus dan melipat tangan di depan dada. Matanya bergerak liar guna menghindari manik sang anak.
"Tentu saja ngasih kasih sayang, nyekolahin kamu, menuhin kebutuhan sehari-hari, seperti ma--"
"Enggak," potong Kahvi cepat tidak terima.
Andin menghela napas panjang kala anak itu lagi-lagi memotong percakapan. "Vi ...."
"Apa? Memang kenyataannya demikian, Bu. Hah, kasih sayang .... Aku gak pernah merasakan itu."
Kahvi mengacak rambut lalu menatap Bayu dan Andin bergantian. "Selama ini, aku sudah melakukan seluruh tugas yang Ayah mau. Belajar, belajar, belajar dan belajar, sedangkan Ayah dan Ibu gak melakukan salah satu tugas kalian. Jadi … biarkan Kahvi membuat hal ini menjadi seri."
Bayu mendelik. Ia mengepalkan tangan kemudian memukul tembok di sebelah kanannya. Sontak Andin dan Kahvi pun terperanjat. Mereka kompak mengelus dada dan menatap Bayu tanpa jeda.
"Sejak kapan kamu jadi pembangkang seperti ini, hah? Siapa yang mengajarimu berkata demikian? Oh, pasti gadis kribo di taman tadi, 'kan? OK, Ayah akan jauhkan kalian mulai besok."
"Yah!!"
"Apa?"
"Jangan--"
Tubuh itu bangkit. Namun, belum sempat ia melangkah, kakinya telah dipaku hingga tak berkutik. Napas Kahvi pun tercekat. Nyeri di dadanya semakin menjadi sampai bermandikan peluh.
Tanpa mendekat, anak itu memejamkan mata selama lima detik dan mencoba meraup oksigen. Ia kembali memandang sang ayah dengan rona yang memutih. Sudut bibirnya terus bergetar dan gigi pun turut bergeretak. Sekuat mungkin Kahvi mencengkeram celana olahraga milik gadis yang memberinya warna.
"--sakiti Rara."
Tubuh itu pun luruh. Matanya terpejam. Seluruh orang di ruangan lekas panik dan menghampiri Kahvi. Namun, anak itu tetap setia berada di alam lelapnya.
||
Hari telah berganti, tetapi bangku itu masih tetap sama. Kosong tak berpenghuni. Tiada kabar yang datang dari merpati, telepon, maupun omongan orang. Ia benar-benar lenyap tanpa pamit, tanpa jawaban.
Hiruk-pikuk di sekitar seolah sia-sia. Hatinya telah diserahkan hingga tubuh pun sunyi tak bertuan. Rara sama halnya dengan tong kosong tanpa isi. Hanya saja, ia tidak nyaring sama sekali.
Gadis itu mengembuskan napas panjang. 'Tuk kesekian kalinya bel berdentang terlebih dulu, dan Kahvi belum juga muncul di ambang pintu. Lagi-lagi ia menelan ludah. Kesendirian yang teramat biasa sebelum mengenalnya berubah mengerikan. Rara enggan, Rara anti, Rara berharap sosok berkacamata dengan rambut klimis itu segera datang dan tersenyum ke arahnya.
"Selamat pagi, Anak-anak."
"Pagi, Pak."
Sosok yang memandang luar kelas tak bersuara apa pun. Mulutnya terkunci dan Rara malas 'tuk membuka. Wali kelas tersebut tidak seharusnya masuk ruangan. Ini bukan jadwalnya.
"Hari ini Bapak membawa kabar tentang Kahvi."
Nama yang disebut-sebut membuat Rara menoleh. Binar matanya antusias meski relung terus berkecamuk. Perut turut nyeri tanpa alasan.
"Dia gak akan belajar lagi sama kalian."
"Hah?"
"Apa?"
"Eh?"
Satu per satu reaksi pun muncul. Terbelalak, menganga, berseru sampai bergeming. Begitu pula dengan Rara. Sebuah kilat bak menyambar hingga sekujur tubuhnya ngilu tak karuan. Ia lekas mencengkeram paha sambil menggigit bibir.
"Kenapa, Pak?" tanya Meta.
"Em, mereka memutuskan untuk homeschooling sampai akhir semester."
"Jadi, kelas 12 nanti Kahvi balik lagi, Pak?" Sinta tidak kalah penasaran. Dua gadis itu seolah tahu apa yang ada di pikiran sahabatnya yang masih saja menunduk kaku.
Namun, tiada sepatah kata yang menjawab pertanyaan tersebut. Pak Imam lekas undur diri tanpa salam atau kalimat lainnya. Para siswa pun mulai berbisik dan bergunjing.
"Ra?" Meta memanggil seraya menepuk bahu kawan di depannya. "Lo gak apa-apa?"
Setelah tertahan cukup lama, air mata Rara pun menetes. Cengkeramannya kian kuat kala perih dalam dada naik ke tenggorokan. Gadis itu sesenggukan. Bahunya bergetar dengan kepala menunduk dalam.
Alunan lagu mulai terngiang saat bayang-bayang Kahvi muncul berurutan. Sosoknya kala memperhatikan materi, membaca buku di perpustakaan, berdiskusi bersama klub debat, berbaring di taman belakang, dan … tersenyum riang di bawah hujan terputar sempurna.
"Ra ...."
Perih, gadis itu semakin bergetar. Meta dan Sinta lekas menghampirinya dan memeluk dari samping. Tangan Rara telah terkulai lemah. Ia lelah menyiksa diri yang tak berujung pada apa pun.
"Lo tenang dulu, ya. Coba cek facebook," usul Meta.
Jari-jemari yang tak bertenaga itu mencoba bergerak, tetapi tak kunjung sampai pada tujuan. Geram, Sinta mengambil alih ponsel Rara.
Gadis itu mengetikkan nama lengkap Kahvi di kolom pencarian. Namun, nihil. Ia beralih ke profil dan mencari status di mana Rara menandai nama anak itu. Lagi-lagi, ia tidak menemukan apa pun. Belum habis akal, Sinta mengecek kolom pesan, tetapi … jejak itu lenyap tak bersisa.
"Dia … hapus akun, Ra."
Rara memejam erat. Pupus sudah segala pintas yang tersedia. Sosok yang ia pikir berada di jangkauan, kini tak lagi dapat dihubungi.
Ia pun menggeleng lalu mengembuskan napas panjang. Perlahan, Rara menyunggingkan senyum dan mengusap air matanya. Ia mengangguk pelan dan mengepalkan tangan.
"Gue di sini … menanti dan gak bakal letih nunggu dia."
||
Dua orang siswa sibuk mencabut kertas dari tengah buku lalu membagikannya pada anak-anak lain. Mereka kompak membuat pesawat terbang lalu menerbangkannya penuh semangat. Lebih dari sepuluh siswa menjadikan mading kelas sebagai sasaran. Saking niatnya, kaki mereka naik ke kursi dengan memasang kuda-kuda.
IPA 1 tetaplah sama, meski kini label kelas dua belas telah tersemat. Para gadis masih suka bergunjing dan golongan baik-baik juga sibuk mengerjakan buku paket yang belum diajar sama sekali.
"Eh! Siapa itu? Cepat turun!"
Seluruh mata tertuju pada wanita mungil berhijab panjang yang masuk dengan penggaris kayu. Seluruh siswa lekas berhamburan menuju tempat duduknya masing-masing. Tahun ini, mereka tidak minat mencari gara-gara di hari pertama ajaran baru.
Rara tersenyum kecil saat satu per satu kawannya lari tunggang langgang. Bu Eka memang terkenal sebagai guru kimia paling galak seantero SMA Bakti. Tak heran bila seluruh siswa mengenalnya, meski belum pernah bertatap muka di depan kelas. Mereka sungguh diberkahi dengan hadirnya beliau sebagai wali kelas.
"Hari ini Ibu membawa seseorang," ujarnya datar, "sini, Nak!"
Seakan deja vu, puluhan pasang mata itu menatap ambang pintu. Sosok yang tak asing muncul dan melangkah yakin menuju meja guru. Senyum tipisnya mengiringi bola mata yang mengedar mencari iris cokelat yang dirindukan.
"Ini Kahvi, murid baru di kelas ini. Ibu harap kalian bisa bekerja sama dengan baik." Bu Eka menepuk pundak siswa di sampingnya seraya berkata, "Saya tinggal sebentar. Kamu cepat duduk, ya."
Segera setelah pamit, wanita separuh abad itu enyah dari ruangan, meninggalkan sosok yang tersenyum manis di tempatnya. Kedua netra berwarna hitam pekat itu mengabsen segala penjuru, lalu berhenti di barisan kedua dari kiri dan belakang.
"Apa gue masih perlu MOS?" tanyanya sambil menatap Rara lamat-lamat.
Gadis itu memamerkan barisan gigi yang tak lagi berkawat. Haru lantas memenuhi batin saat penantiannya telah terbayar lunas. Ronanya merekah indah kala mengangguk antusias.
"He'em. Mau curhat?"
Kedua insan yang saling pandang itu berbagi senyum. Meski telah berpisah berbulan-bulan, rona wajah itu tak pernah berubah.
Kahvi tetaplah Kahvi, sosok yang membawa makna curhat yang sebenarnya. Dan Rara tetaplah Rara, tempat pembuangan masalah terindah yang pernah Kahvi temui.
END
Selesai!!
Terima kasih buat teman-teman yang tetap membaca cerita ini sampai tamat.
Rahvitale tidaklah sempurna, tapi aku enjoy karena bisa nostalgia lagu-lagu Vierratale pas nulis ini.
See you 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro