Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22: Kabur

Gadis itu mengendap-endap, kakinya berjinjit dan menapak pelan. Matanya berjaga dengan mengedar pandangan, dari kiri lalu kanan hingga melongok ke jendela. Orang yang berlalu-lalang di sekitar mulai menggeleng dan berbisik, ada yang terkikik sambil menggumamkan kata 'sinting'.

"Aman." 

Tanpa mengetuk pintu, Rara masuk ke ruang rawat Kahvi dengan hati-hati. Ia mendengkus kala lelaki yang mengiriminya pesan nan genting itu tengah bergelut di balik selimut. Langkahnya mendekat sambil sesekali berbalik, berharap tidak menemukan siapa pun, terlebih orang tua yang memasukkan namanya pada daftar hitam.

"Vi," panggil Rara lirih. Tangan kanannya menggoncang lengan Kahvi, sedangkan yang kiri masih erat menggenggam plastik hitam.

Anak itu tersentak. Ia lekas bangkit seraya menarik selimut. Matanya bergerak panik saat sosok di hadapannya hanya berjarak satu jengkal. Kahvi pun memundurkan badan sampai menghantam tembok.

"Aduh!" serunya. "Kenapa sih lo suka deket-deket begini?"

Rara memutar bola matanya malas. "Udah gak usah bawel. Nih, cepet ganti."

Seakan paham akan skenario yang tertulis, Kahvi spontan menepuk jidat. Betapa bodohnya ia telah melupakan rencananya sendiri. Dengan perlahan, ia melepas jarum infus yang menancap di punggung tangannya.

"Sskk."

Perih plus ngilu, Kahvi menggigit bibir bawahnya sambil menengadah. Ia lantas menekan bekas suntikan tersebut 'tuk menahan laju darahnya sendiri. Panik, Rara menjatuhkan barang bawaannya lalu mengambil beberapa helai tisu dari dalam tas.

"Lo gak apa-apa?" tanyanya dengan nada penuh getaran. Ia menyingkirkan tangan Kahvi dan mengambil alih aksi yang sebelumnya anak itu kerjakan.

"Enggak, ini wajar kok. Gue bisa sendiri. Tolong ambilin plester di situ," tunjuk Kahvi--menggunakan kepalanya--ke arah nakas.

Rara mengangguk. Ia segera beranjak dan mencari benda yang diperlukan laki-laki berbaju pasien tersebut. Kahvi pun tersenyum dan mengusap darah terakhirnya lalu membuang tisu itu ke tempat sampah.

"Ini."

"Makasih."

Kahvi langsung memasang plester cokelat itu dengan lihai. Ia telah terbiasa melakukan hal kecil seperti ini. Rara yang berdiri tepat di depannya hanya menelan ludah dan mengernyit ngeri.

"Dah. Mana?"

Gadis yang belum menanggalkan seragam sekolahnya itu berkedip konstan. "Apa?"

"Bajunya."

"Oh iya."

Rara segera mengambil plastik hitam yang ia bawa dari kelas dan menyodorkannya pada Kahvi, "Nih."

"Makasih. Lo tunggu dulu di sini."

Kahvi melirik suasana luar kamar sebelum masuk ke kamar mandi. Rara turut melakukan hal yang sama lalu duduk di sofa sebelah pintu. Kakinya mengentak-entak dan tangan pun meremas rok kuat-kuat.

Nyali gadis itu belum sepenuhnya pulih. Ia masih takut akan segala hal, entah ocehan ayah Kahvi, atau keadaan anak itu sendiri. Namun, balasan atas pesan facebook--yang telah menjamur--saat makan siang menuntunnya 'tuk membulatkan tekad.

Kahvizar Putra

HP disita bokap, ini pinjem suster. Kalau bisa dan mau, gue minta lo ke sini setelah sekolah. Sekalian bawain baju olahraga, gue pinjem bentar. Pesan ini gak usah dibalas. Gue tunggu di kamar.

Tidak seperti biasa, kali ini Rara menurut. Ia menurunkan kadar keingintahuannya akan permintaan Kahvi dan memilih untuk diam. Harapnya hanya satu, kata 'mengapa' pada hari ini dijawab tanpa sandungan.

"Ayo!"

Anak yang memakai setelan milik Rara itu berdiri canggung. Meski longgar, celana tersebut hanya menutupi 3/4 kakinya. Kahvi juga sibuk menurunkan kaos yang tidak lebih panjang dari pusarnya.

Rara refleks menutup mulut, berusaha menahan tawa yang meronta keluar. Ia segera memalingkan pandangan agar jiwanya lekas tenang. Penampilan Kahvi saat ini sungguh sebuah bencana. Untung saja rambut lelaki itu tengah acak-acakan. Entah apa jadinya bila gel rambut membuatnya klimis.

"Biasa aja ketawanya. Ayo keluar," ajak Kahvi sambil meraih pergelangan tangan Rara.

"Bentar," tahan gadis itu dengan menarik tangannya kembali, "mau ke mana?"

Kahvi tersenyum seraya menaikkan kedua alisnya. "Pikir entar."

Setelah berjalan beberapa saat, ontel milik ibu indekos itu diparkir pada tempatnya. Kahvi lekas turun dan berjalan meninggalkan Rara yang sibuk mengunci rantai. Ia rindu dengan bau lapangan yang tersengat panasnya matahari. Ia tak kuasa menahan langkah yang terus menyusuri lorong hunian kelas sebelas.

"Kahvi! Elah, tungguin!"

Rara pun tergopoh-gopoh. Ia menaikkan rok hingga selutut untuk mempermudah larinya. Setelah sampai, gadis itu memukul punggung Kahvi dengan cukup kencang.

"Resek! Udah diboncengin malah ninggalin."

Kahvi hanya tersenyum. Ia terus mempercepat langkah, meski tangan telah mengurut dada. Ia tidak sabar 'tuk menyapa taman belakang yang sudah satu minggu tak ia jamah.

Di antara banyaknya tempat yang menarik, SMA Bakti terlontar sebagai pilihan. Beruntung hari masih siang dan ekstrakulikuler belum seluruhnya usai sehingga gerbang terbuka lebar.

Lagi-lagi Rara tidak menolak. Ia juga menyimpan pertanyaannya. Namun, penyebab kali ini bukanlah penurunan ego, melainkan rasa takutnya bila ayah Kahvi tiba-tiba datang. Syukurlah, mereka selamat sampai tujuan.

"Hah, akhirnya ...."

Kahvi merentangkan tangannya lalu menengadah. Ia memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam. Aroma pepohonan, semilir angin, dan cuitan hewan--yang tak Kahvi ketahui--perlahan masuk dan menyeimbangkan hawa dalam tubuh. Senyumnya merekah tanpa disadari.

Rara hanya menggeleng ria. Ia meniup rumput agar daun-daun kering segera enyah lalu duduk tanpa alas. Kepalanya mendongak dan mengamati aksi Kahvi yang masih saja sama setelah lima menit berlalu.

"Lo gak capek?" tanya Rara akhirnya.

Kahvi mengangkat bahu kemudian menoleh. "Kayaknya."

"Kayaknya capek atau kayaknya enggak?"

Kahvi terdiam. Ia kembali mendongak sembari menggeleng.

Rara berdecak kesal. Ia menggaruk pelipisnya dan menuntaskan pertanyaannya. "Geleng iya atau geleng enggak?"

Laki-laki yang kini menurunkan kedua tangannya itu menghela napas panjang. Ia lekas duduk lalu berbaring dengan tangan sebagai bantal. Kahvi menatap langit biru lamat-lamat sebelum akhirnya beralih ke arah Rara.

"Tadinya capek, sekarang enggak."

"Ooh .... Em, anu--"

Rara lantas memukul mulutnya sendiri berkali-kali. Ia kembali mengulur niat untuk bertanya. Bukan waktunya, belum waktunya. Ia pun turut berbaring di samping Kahvi.

"Makasih, ya," ucap Kahvi tiba-tiba kala memandang awan putih yang berjalan.

Rara refleks menoleh. "Buat?"

"Udah nolong gue."

"Hah? Nolong apa?" Rara kian mengernyit.

Kahvi tersenyum dan membalas tatapan Rara. "Ke sini."

Rara menelan ludah. Secara kebetulan, jantungnya berdegup cepat kala mata menatap lekat. Rona pucat yang mulai berwarna itu teduh dan menghangatkan tanpa penjelasan yang masuk akal.

Ia pun menarik sudut bibirnya dan mengangguk ragu. "Sama-sama. Emm …," Rara menggigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan, "gue boleh nanya?"

"Tumben ijin. Biasanya langsung bunyi."

"Eh, m-maksudnya a-anu--"

"Kkk ...." Tawa kecil Kahvi menyela kalimat Rara. "Becanda, kok. Mau nanya apa?"

Seakan mendapat tiket masuk, Rara memiringkan tubuhnya dan menjadikan tangan kiri sebagai topangan. Ia tersenyum lebar hingga menampakkan kawat gigi yang menggemaskan. Kahvi hanya berkedip dan menunggu.

"Kenapa HP lo disita?" Rara mulai beraksi.

"Entah, bokap gak ngasih tau alasannya."

"Kok lo masih di RS? Bukannya udah gak pa-pa?" duga Rara setelah melihat keadaan Kahvi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Entah, bokap yang ngurung. Biar bener-bener sehat dulu kali."

Kembali mendapat 'entah', Rara pun mengerucutkan bibir. "Kali ini kudu yakin …, kenapa lo nyuruh gue buat datang dan nyulik lo kayak gini?"

Kahvi tertegun. Meski telah mengira akan adanya pertanyaan ini, ia tak pernah mengira bahwa binar yang mengantar rangkaian kata tersebut kan begitu indah. Ia mengamati netra cokelat Rara tanpa jeda hingga membuatnya cengar-cengir.

"Vi!" panggil Rara menyadarkan.

"Hem?"

"Kenapa?"

"Em," Kahvi berhenti memandang Rara dan kembali menghadap langit, "karena cuma lo yang ada di pikiran gue."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro