17: Hujan
"Jika A dan B adalah akar-akar persamaan kuadrat ax²+bx+c = 0, tentukan nilai A + B dan hasil dari A.B ...."
Suara azan berkumandang lewat speaker ruangan. Gadis yang berdiri menghadap papan tulis lekas menurunkan spidolnya dan bersandar pada meja. Ia telah terbiasa dengan interupsi yang sama di setiap Sabtu. Risiko mengajar sebelum asar.
"Break lima menit, ya."
Para siswa pun mengangguk. Begitu pula dengan Kahvi seraya meregangkan tubuh, mulai dari kepala, tangan, dan kesepuluh jarinya. Mengikuti les tepat setelah sekolah usai teramat melelahkan.
Anak itu melepas kacamata dan meneguk air dari botol minum kesayangan. Setelahnya, Kahvi mengeluarkan sapu tangan bercorak batik dari dalam kantong. Bukan mengelap lensa seperti siswa bermata empat lainnya, Kahvi justru mengusap kedua telapak tangan.
"Anu ...."
Matanya terbelalak kala Rara tergopoh-gopoh bersama lembar kerja dan bolpoin merah muda. Gadis yang tiba-tiba menambah jadwal lesnya itu mencuri kesempatan saat istirahat tiba. Sepatu bertali keluaran lama pun hanya ia injak dan diseret begitu saja.
Dengan santai si rambut keriting duduk di bangku kosong sebelah Kahvi. Rara lekas menyodorkan hasil kerjanya sebelum mentor--yang belum ia ketahui namanya--kembali berceloteh. Binar matanya tampak bersemangat dan tak sabar menunggu suara sambutan dari sang juara dua di hati.
"Bener gini, gak?" tanyanya.
Kahvi terkikik. Tulisannya kala TK mungkin jauh lebih rapi dari apa yang ia lihat saat ini. Garis pembatas pada kertas seakan tak berguna sebab Rara selalu melampauinya. Angka yang tertoreh pun jauh lebih kecil dari tanda operasi yang mengikuti. Penjelasan yang dicatat di atasnya juga tidak sama besar. Rara benar-benar payah.
"Masih bingung, ya? (x-A) (x-B) itu jadi x² – (A+B) + A.B, punyamu di bagian ini ketinggalan," tunjuk Kahvi membenarkan.
Gadis yang memakai bando kelinci itu manggut-manggut. Tangannya menopang dagu dengan netra tertuju pada lembar kerja dan wajah Kahvi bergantian. Senyumnya mengembang, tetapi tidak dengan otaknya. Ia hanya cengar-cengir tanpa menangkap poin yang dijelaskan.
"Untung manisnya gak ketinggalan, ya," racaunya tidak jelas.
"Hah?"
"Enggak ...." Rara menggeleng sambil memamerkan kawat giginya. "Gak ada. Lanjut, gih!"
Kahvi hanya mendengkus dan kembali bertutur. Suara lirihnya beradu dengan lantunan azan yang hendak usai. Ia mengambil alih bolpoin Rara dan meralat rumus yang dipakai gadis tersebut.
Sejak taman menjadi saksi pertumpahan sesak, Kahvi tak lagi risi dengan keberadaan Rara di sampingnya. Gadis itu 'tlah menemukan kata 'diam' dan hanya bertanya pada hal-hal penting, layaknya sekarang. Berat yang menimpa enggan kini lekas sirna berganti harap yang ringan rasa.
"Sudah, sekarang lanjut ke ...."
Kahvi dan Rara terkesiap. Keduanya kompak menegakkan tubuh hingga kaku menghadap depan. Sontak netra melirik satu sama lain, mengabsen manik yang berbeda warna tersebut. Kekehan pun muncul kala berhasil beradu. Ada-ada saja, mereka menggeleng dan menutup mulut.
"Lo lucu … dan gue suka."
||
Rara melempar semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas, berbanding terbalik dengan Kahvi yang menatanya satu per satu. Kelas yang mulai ditinggalkan para siswa itu mendadak sepi. Hanya deru angin bersama hujan yang terdengar sampai ke ruangan.
Sejoli--sebangku--itu berjalan beriringan. Rara mengayunkan tangan sambil bersenandung. Kedua kakinya berjinjit-jinjit berusaha menyamakan tingginya dengan Kahvi. Aksinya sungguh acak dan di luar kebiasaan. Sepertinya, suasana hati gadis itu tengah panen bunga.
Kahvi memegang tali ransel dengan kuat. Hujan yang cukup deras menuntunnya 'tuk menunggu di teras depan kelas. Ia lekas duduk tanpa melepaskan tasnya. Rara yang kebetulan tak membawa payung turut mengikuti.
"Lo gak pulang?" tanya Kahvi saat Rara kembali duduk di sampingnya.
Sebuah gelengan pun menjawab. "Nunggu reda. Lo sendiri?"
"Nunggu jemputan."
Bosan, Kahvi mengeluarkan ponsel beserta headset-nya. Ia memutar salah satu lagu yang ada di playlist lalu bersandar sambil memejam. Semilir angin yang menusuk tulang kian menambah sensasi dingin dari melodi yang diputar.
"Lo dengerin apa?" tanya Rara penasaran.
Namun, lelaki yang diajaknya bicara tak segera merespons. Kahvi hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Kakinya mengentak kecil dan kedua tangan melipat di depan dada.
"Vi?" Masih senyap, Rara memutar bola matanya malas dan mengembuskan napas kasar.
"Kahvi!" Sekeras apa pun Rara memanggil, laki-laki itu tetap tenang di tempatnya.
"Hih!" Tak tahan lagi, Rara mencabut headset kanan Kahvi dan memasang di telinga kirinya.
~Dirimu di hatiku … sudah terlalu lama
Biarlah, kumencoba … untuk tinggalkan semua~
Tubuh yang menggebu lantas terpaku. Dahi yang berkerut lekas pupus terbawa angin. Rara menelan ludah kala lagu dari Killing Me Inside menjelajahi relungnya.
~Dan tak mungkin kubertahan, meski telah kucoba
Semuanya tak berguna … terbuang sia-sia~
Rara menoleh dan menatap Kahvi tanpa jeda. Raut muka bebas kerutan itu memucat dan penuh peluh yang entah datang dari mana. Batin gadis itu tak berhenti menggantikan kerja otak dengan terus berpikir. 'Mengapa' kembali hadir, tetapi nurani telah memenjarakannya.
Anak itu tak berkutik, meski pendengarannya tak lagi imbang. Ia hanya menyeringai saat hangat di sebelahnya kembali hilang. Kahvi menduga Rara telah menegapkan tubuh dan menatapnya lekat. Semula ia mengira-ngira, lalu pikirnya meminta mata 'tuk mengintip.
"Lagu itu bukan buat gue, 'kan?" tanya Rara pelan.
Kahvi spontan membuka mata dengan gelak yang menggelegar. Tangan kanannya berulang kali memukul paha, tak kuat mendengar kalimat konyol tersebut. Ia menengadah sebab tawa super-receh itu mendatangkan tangis.
"Kok ketawa, sih?" kesal gadis yang kini tengah berdiri dan bertolak pinggang.
Kahvi menghentikan tawanya dan menarik napas dalam-dalam. Setelah tenang, ia pun menjawab, "Lo tuh antara ngawur dan ngekhayal."
Bibir yang mengerucut pun lekas mengendor. "Bukan, ya?"
"Ya bukanlah!"
Kahvi lagi-lagi tertawa dan melanjutkan kekehannya. Ia melepas headset dan mematikan musik. Kedua benda itu kembali masuk kantong tas bagian depan.
Hujan yang belum juga reda memanggil Kahvi untuk mendekat. Anak itu beranjak bersama ransel yang berada di punggungnya. Ia pun menengadahkan tangan, menampung tetes hujan yang menghantam telapak. Lorong yang sepi lalu lalang orang membuatnya nyaman 'tuk melakukan hal tersebut.
Rara mengernyit bingung dan mengikuti ke mana pun Kahvi pergi. Ia mengamati bagaimana laki-laki itu menatap langit dan telapaknya sendiri secara bergantian. Dengan sederhana senyumnya mengembang, terlebih saat tetes-tetes itu berhasil dikumpulkan. Manis, lirih Rara.
"Klasik."
"Hem?"
"Ini … klasik," tunjuk Rara pada tangan Kahvi sebab tak terlalu diperhatikan.
"He'em." Kahvi mengangguk seraya tersenyum. "Cuma ini yang bisa gue lakuin."
"Hah?" Kini Rara yang mengulang tanya.
"Cuma ini … yang bisa gue lakuin buat ngobrol sama mereka. Tetes hujan."
Rara tampak bingung dan semakin mendekat. "Emang lo gak pernah mandi hujan?"
"Enggak," jawab Kahvi singkat.
Mendengar hal itu, Rara lantas tersenyum. Ia mengeluarkan ponsel dari saku dan memasukkannya ke dalam tas, lalu melempar benda tersebut ke kursi tunggu. Dengan berani gadis itu menghampiri rahmat Tuhan dan membiarkan rambut keritingnya basah kuyup.
"Sini!"
"Rara ...."
"Ayo sini!"
Kahvi tercengang kala gadis di sebelahnya telah berputar-putar di bawah hujan. Iris cokelatnya bersembunyi saat kepala mendongak. Tangan yang terbentang seakan melepas seluruh beban yang memeluk tubuh.
"Cepet!" Rara kembali memanggil.
Kahvi terdiam. Batinnya berkecamuk. Haruskah, haruskah, haruskah, terus beradu dan diulang-ulang. Ia pun menggeleng lalu mengangguk. Ranselnya kembali menyentuh lantai dan kaki pun melangkah keluar.
"OK!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro