8📌 Lelaki Baik
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
"Jangan jatuh cinta pada lelaki baik. Karena kau tidak akan pernah bisa membencinya meskipun ia telah berlaku bejat."
~Rahasia Semesta~
Aroma cappucino menguar menerobos masuk ke dalam indera penciuman. Pengharum ruangan yang khas sebagai penanda bahwa tempat itu adalah kafe. Suara berisik manusia dan dentingan alat berbahan stainless serta kaca berpadu menambah kepadatan suasana. Bunyi lonceng di atas pintu tak henti berdengkung. Menandakan seseorang tak berhenti dan silih berganti, datang dan pergi. Namun, sejak tigapuluh menit yang lalu, gadis yang memakai jilbab hijau tosca di pojok ruangan itu belum menemukan tanda-tanda datangnya seseorang yang tengah dia tunggu.
Beberapa kali mengembuskan napas gusar. Bahkan coklat panas yang telah dipesan pun hampir tandas. Uapnya saja sudah tak terlihat. Dingin.
Sebuah laptop menyala di depan wajahnya. Menampilkan sebuah dokumen mirosoft word dengan tabel dan data-data yang tertera. Tangannya berhenti menari di atas keyboard, lantas berpindah ke gawai. Mengetikkan beberapa kata dengan nada kesal kepada si penerima pesan, namun hanya tanda centang satu yang terlihat. Wajahnya kian mendung.
Tiinngg ...
Lonceng kecil di atas pintu berdenting. Besar harapnya yang datang adalah sang teman. Hatinya nyaris lega. Tetapi, ketika wajah oval itu mendongak, matanya justru bersirobok dengan netra hitam yang tak pernah ada dirinya di dalam sana. Buru-buru dia memutuskan kontak mata. Berubah panik ketika wajahnya tiba-tiba memanas dan jantungnya berulah. Dengan penuh harap ia berdoa agar tak disamperi oleh sosok itu. Ia bahkan memejamkan mata, takut melihat kenyataan. Perasaannya semakin uring-uringan tatkala mendengar derap langkah yang mendekat. Doanya semakin kuat, mudah-mudahan bukan ia yang orang itu tuju.
"Dena?"
Bahu gadis itu meluruh. Tubuhnya yang menegang mendadak lemas. Masih memejamkan mata mencoba menetralkan rasa. Dia sungguh tak siap untuk bertemu kembali dengan lelaki itu.
Oh Allah, apa yang harus aku lakukan? Kumohon kirimkan Diva sekarang juga.
Harapannya kian menguap tatkala hanya ada dirinya dan pria jangkung itu yang sedang menanti jawaban dari mulutnya.
"Eh, A Rizam," lirihnya sambil membuka mata takut-takut. Ia menggigit bibir bawah berharap situasi cepat berubah.
"Sedang apa di sini sendiri, Na?" tanyanya kemudian.
Dena mengedarkan pandangan. Dia tak sendirian. Banyak pengunjung di kafe ini selain dirinya. Otaknya mendadak lemot. Dia kesulitan mencerna apa yang telah teradi.
"Dena tak sendiri, A," ucapnya polos.
"Terus teman dudukmu mana?"
Ooohhh ...
Dena baru paham maksud dari pertanyaan Rizam. Ingin rasanya ia mengutuk diri. Kenapa jika di hadapan lelaki itu, selalu saja bertindak konyol. Salah satu yang tak Dena sukai dari dirinya. Dia kan terkenal dengan sikapnya yang sempurna.
"Oh, i-itu, Diva belum datang, A," ucapnya patah-patah.
"Hmm, sembari menunggu temanmu datang, boleh Aa bertanya sesuatu? Mumpung kita bertemu di sini."
Pernyataan itu membuat Dena tak bisa berpikir jernih. Pikirannya berteriak untuk menolak kehadiran lelaki itu. Tetapi, hatinya justru mendorong untuk mengiyakan permintaannya. Tidak bisa. Dena tidak bisa mengunggulkan ego.
Tetapi, tak ada salahnya jika mereka berbicara. Bukankah, hanya dirinya yang merasakan ketidak adilan itu? Ya, Rizam tak tahu apa-apa.
Dena mulai menguasai keadaan. Dia harus bersikap netral, dalam keadaan apa pun.
"Silahkan, A."
Lelaki itu langsung duduk ketika Dena mempersilahkannya. Dalam keadaan berhadapan, sungguh tak baik untuk kesehatan jantungnya. Dia ingin situasi canggung itu segera berakhir.
"InsyaaAllah, hari senin Aa mau mengkhitbah seorang gadis ..."
Dena tertegun mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut itu. Hatinya mencelos seketika. Pikirannya kosong, tak tahu harus merespons seperti apa. Rizam terlalu tega berterus terang kepadanya. Lelaki itu seperti tak punya hati ketika mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkan untuk perempuan di depannya.
"Aa butuh bantuan untuk menyiapkan buah tangan. Kamu bisa?"
Sekali lagi, Dena terkesiap. Atas permintaan itu hati dan pikirannya tentu menolak keras. Memberi alarm pertanda sesuatu yang harus dihindari. Mulutnya masih setia mengatup. Berusaha mencerna segala bentuk retorik dari Rizam.
"Kenapa harus Dena?" tanyanya dengan wajah sendu.
"Karena yang terlintas dipikiran saya ketika memikirkan hal itu cuma kamu. Jadi, bagaimana?"
Lantas, jika hal itu berhubungan tentang masa depan, tak pernah terlintas sosokku?
Hati Dena ingin menjerit, tetapi tidak bisa. Semua buyar dengan sebuah senyum terpaksa dari bibirnya.
"Maaf, A, Dena tidak bisa. Sebentar lagi saya mau ujian tutup. Sekali lagi maaf, Dena permisi. Assalamu'alaikum."
Balasan tak terduga keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Dengan terburu-buru Dena mencangklokkan tas di bahu dan menutup paksa laptopnya lantas berlalu dari hadapan Rizam. Langkahnya bertempo cepat, takut ada penahanan dari lelaki itu. Namun, Dena malah tersenyum miris. Apa mungkin, Rizam berpotensi menahannya? Jawabannya adalah tidak mungkin.
"Wa'alaikumussalam."
Lelaki itu bingung dengan kepergian Dena yang tiba-tiba. Matanya mengikuti arah langkah sang tetangga yang menghilang dari balik pintu. Rizam tak paham, apa yang sedang terjadi. Apakah dia sudah salah ucap sehingga mengakibatkan perempuan itu tersinggung lalu pergi meninggalkannya?
Dia masih setia duduk di kursi itu sembari memikirkan ucapannya dan sikap Dena. Hingga tak berselang lama, seorang perempuan membuka pintu kafe dan menghampiri tempat dimana Rizam berada.
"Loh, Dena mana? Kok tidak ada? Apa lagi ke toilet?" monolognya dengan wajah bingung. Hendak duduk di tempat yang sahabatnya maksud, tetapi ada orang lain di sana. Takut, jika dia salah tempat dan berujung mempermalukan diri sendiri.
Rizam yang paham dengan kebingungan gadis itu, segera membuka suara.
"Permisi. Teman Dena, ya?" tebaknya. Diva menoleh cepat pada si pemilik suara. Menebak-nebak siapakah gerangan orang yang baru saja menyapanya.
"Iya, benar, saya temannya. Dena kemana ya?"
Rizam mengangguk paham.
"Tadi saya bersama Dena di sini, tapi dia sudah pamit pergi," jawabnya sambil berdiri berniat untuk segera pergi.
"Loh, kok pergi? Kami kan janjian ketemu di sini? Aishh, Dena gimana sih?" keluhnya sembari mengambil benda pipih di dalam tasnya lantas mencari kontak bernama Dena Humaira.
Sedangkan Rizam, lelaki itu tak berlama-lama dan segera pamit undur diri. Ingin memecahkan misteri mengapa Dena menolak untuk menerima permintaan sederhananya.
🌷
Dena ingin berteriak sekencang-kencangnya. Mengeluarkan segala kesal dan sesak yang bersarang di dalam dada. Danau kecil di belakang residen tempat ia tinggal adalah pilihan yang tepat. Suasana sepi dan jauh dari hiruk pikuk dunia sangat cocok untuk jiwa galau yang tengah dialaminya. Namun, gadis itu hanya diam dan memandang air danau yang tenang dengan tatapan kosong. Konsenstrasinya buyar. Semua yang akan dikerjakan hari ini seolah ambyar, menguap entah kemana. Dia hanya ingin menyendiri.
"Denaaaa." Dari kejauhan, suara itu melengking memecah kesunyian. Dena enggan menoleh dan hanya berekspresi datar saat sahabatnya datang dengan sedikit kesal. Bisa-bisanya Dena pergi begitu saja, tak memberitahu sedikitpun dan membiarkan dirinya dilanda kebingungan.
"Ngeselin amat sih! Kenapa main kabur-kaburan gini? Bingung tau," omelnya saat sampai di hadapan Dena.
"Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu lelet banget? Kenapa selalu ngaret? Kenapa tadi biarin aku nunggu terlalu lama? Kenapa aku harus ketemu dia? Kenapaaa?" bentaknya dengan wajah berapi-api.
Diva seketika terdiam mendengar semprotan bertubi-tubi dari sahabatnya. Menangkap nada yang teramat kesal dari sana. Dia ingin protes, pasalnya tak tahu apa-apa. Lagi pula, dia tidak terlalu sering ngaret seperti yang dilontarkan Dena. Tetapi, perempuan itu tetap diam, paham jika suasana hati sahabatnya sedang buruk.
Apakah ada hubugannya dengan lelaki yang tadi? Batinnya.
"Ya, ma-maaf," cicitnya takut-takut. Layaknya seorang bocah yang dimarahi ibunya karena bandel, seperti itu pula wajah Diva sekarang.
Kekesalan Dena mereda. Dia lantas beristigfar dan mengembuskan napas lalu duduk di tepi danau yang airnya bergetar. Terusik dengan teriakan gadis itu.
Diva beringsut mendekati macan betina yang sedang kehilangan mangsa. Tangannya sibuk mencabuti rumput yang tak bersalah. Bingung hendak berkata apa. Perempuan di sebelahnya pasti tak akan merensponsnya dengan baik.
"Na." Tetapi bukan Diva namanya jika tidak nekad.
"Naaa, jangan diemin aku dong," rengeknya sambil memperhatikan wajah Dena dari samping. Keruh.
"Naa, aku gak tau kamu bakal semarah ini karena aku datang telat. Maaf ya," sesalnya. Dia datang terlambat bukan tanpa alasan. Diva terpaksa merelakan waktu tiga puluh menit pertamanya demi seorang bocah ingusan yang merengek-rengek meminta untuk ditemani karena gebetannya sedang bertamu ke rumah. Perempuan itu mendengus mengingat adiknya.
"Maafin aku juga, Va." Dena menunduk merasa bersalah telah berlebihan memarahi Diva. Padahal dia hanya melampiaskan kekesalannya akibat perlakuan Rizam padanya.
"Harusnya aku lebih pintar mengontrol diri, harusnya aku tak melarikan diri, harusnya aku tidak jadi pengecut seperti tadi, harusnya ...." Dena tampak frustrasi.
"Heii, keep calm. Jangan terlalu dipikirin," ucap Diva cepat sambil mengelus-elus bahu Dena menyalurkan ketenangan.
"Hiks, hiks ...."
Diva kelimpungan melihat Dena yang tiba-tiba menangis. Dia takut telah salah ucap dan membuat sahabatnya sakit hati. Alam seakan mendukung suasana hatinya yang mendung, awan pun ikut menjadi mendung.
"Duuh, Naa. Kok malah nangis, duh, gimana nih," ucapnya bingung. Diva tak tahu caranya menghadapi orang yang diliputi kesedihan.
"Aku harus gimana, Va?" tanya Dena disela-sela tangisnya.
"Eh, gimana apanya maksud kamu?" Diva semakin bingung saja dibuatnya.
"Aku benci diriku yang lemah. Aku benci diriku yang menyukai Rizam. Aku benciiii," jeritnya.
Diva terdiam, membiarkan perempuan itu mengeluarkan segala beban yang bersarang di hatinya. Memberi peluang tuk meluruhkan segala penyakit yang bersemayam dalam dada.
Tak lama kemudian, Dena mengembuskan napas, masih merasa kesal dengan dirinya sendiri.
"Tadi aku sempat ketemu laki-laki sewaktu masuk kafe. Diakah orangnya?" tanya Diva hati-hati. Takut tangis perempuan itu terdengar lagi.
"Iya," jawabnya. Diva mengangguk.
"Kamu ... suka sama dia?" tebak Diva
"Iya."
"Dia ... tidak suk-, eh ...." Diva membekap mulutnya ketika menyadari bahwa dia hampir saja keceplosan. Ingin rasanya merutuki lidah yang terlalu licin. Sedangkan Dena, gadis itu tengah tersenyum pahit. Belum mampu menyembuhkan luka di hatinya. Bahkan hari ini luka itu kembali menganga.
"Menurutmu aku harus gimana, Va?" tanyanya masih dilanda dilema besar.
"Na, kan dulu aku sudah kasih saran. Lebih baik kamu ungkapkan saja daripada terus menerus kamu pendam dan akhirnya berdampak buruk sama dirimu sendiri."
"Tapi, temanku yang lain juga ngasih saran untuk melenyapkan perasaan ini dan segera melupakan dia, Va. Aku bingung." Perempuan itu masih setia menunduk. Enggan menegakkan mahkotanya.
"Dena, mengungkapkan perasaan itu tak ada salahnya. Diterima atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting hatimu dulu yang lega."
"Gimana caranya lega, Va kalau misalnya dia malah terang-terangan nolak aku. Pasti lebih sakit," ucapnya sendu.
"Tujuan kamu ungkapin biar apa?" tanya Diva.
"Biar dia tau," jawabnya.
"Nah itu dia. Kalau laki-laki itu sudah tau, maka tugasmu sudah cukup sampai disitu. Jadi sebelumnya, harus siapin hati dan mental dulu," petuah Diva.
"Tapi, aku jadi teringat perkataan Intan. Perempuan yang mengungkapkan perasaannya kepada laki-laki itu muruahnya akan tercoreng dan berkurang. Aku gak mau harga diriku turun."
"Jadiii apa maumu Dena Humaira?" tanya Diva mulai panas.
"Aku masih bingung, Va," lirihnya.
"Arrggghhhh," erang perempuan mungil itu. Giginya bergemeletuk. Kesabarannya benar-benar diuji oleh Dena.
"Rasanya pengen remes-remes tuh lalaki blegug yang udah buat kamu kayak gini!" umpatnya greget.
"Eh, dia mah lalaki alus, jangan salah. Makanya bisa suka," bela Dena tak terima orang yang dikaguminya disebut bodoh. Diva hanya mencibir.
"Itulah susahnya kalau suka sama laki-laki baik. Sejahat apapun dia pasti gak bisa dibenci," omelnya.
"A Rizam gak tahu apa-apa, Va. Dia enggak jahat. Jangan disalahkan," ujar Dena masih pro dengan Rizam walaupun luka tak kasat matanya masih terasa perih.
"Terserah apa katamu, Na. Intinya ungkapin! Apapun yang ada dipikiranmu, ungkap saja, gak usah bertele-tele. Ungkapin, keluarkan semua apa yang selama ini kamu pendam. Biar jelas dan kamu bisa tenang," ucap Diva berapi-api.
🌷
To Be Continued ...
____________________________________________________________
Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.
Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.
Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat
____________________________________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro