7📌 Menata Hati
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
"Terkadang, ketika manusia ditimpa suatu musibah, merasa diri paling merana di dunia. Padahal di luaran sana, masih ada hati yang lebih terluka dengan ujian yang lebih dahsyat."
~Rahasia Semesta~
Sudah satu jam Dena bergeming ditempat. Menenggelamkan kepalanya ditumpukan bantal. Matanya terus berkedip, namun dengan tatapan kosong. Begitu nyaman dengan pose rebahan ala orang pemalas. Sungguh, perempuan itu sangat malas untuk bergerak. Jangankan beranjak, mengubah posisi saja dia enggan. Rasanya magnet kasur begitu kuat merekatnya. Ditambah suasana hati yang sedang buruk. Lengkap sudah rasa beratnya.
"Na, sudah hampir duhur. Kamu gak ada niatan buat siap-siap salat?" celetuk seseorang yang hampir putus asa melihat keadaan sahabatnya. Bohong, kalau perempuan itu berkata baik-baik saja. Lihatlah, bahkan sekarang dia layaknya orang yang paling merana di dunia. Seperti orang yang memiliki beban paling berat sejagat raya. Lama-kelamaan, Intan dibuat kesal juga olehnya.
"Nanti," jawabnya pendek. Intan menghela napas.
"Tidak baik terlalu meratapi penyesalan. Apa yang terjadi itu sudah menjadi ketetapan Allah, terima lah dengan lapang dada. InsyaaAllah semua bernilai pahala." Tak henti-hentinya gadis bercadar itu menasihatinya. Namun, masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Tak ada satupun yang singgah dalam kepala Dena.
"Na ..."
Tak ada respons dari si pemilik nama.
"Na ..."
Belum ada respons.
"Dena Humairah!" panggilnya dengan nada keras.
Berhasil!
Perempuan itu mengangkat kepalanya menghadap Intan.
"Hmm," gumamnya.
Melihat sahabatnya yang sangat mengesalkan, membuat darah Intan mendidih. Setidaknya, setelah Dena mendatanginya sambil menangis-nangis dan curhat dengan kalimat-kalimat tidak jelas, dia tak bersikap seperti itu. Seharusnya dia menjelaskan semua secara degail agar dirinya tak merasa sedang digantung layaknya jemuran.
"Sudahi ratapanmu! Mari kita salat. Jika hatimu tak tenang, resah, gelisah, maka solusi terbaik adalah mengingat Allah. Jika kau merasa bahwa masalahmu sangat besar, ingatlah jika kau memiliki Allah yang Mahabesar. Ingat, Allah lah satu-satunya Dzat yang bisa memberimu jalan keluar. Jika kau terus-terusan seperti itu, Allah tak akan senang. Allah lebih senang, bila kau datangi Dia dan curhat sepuasnya. Kau bebas menangis dan mengeluarkan segala emosimu. Allah tak kan marah, Allah tak akan menghakimimu, Allah tak akan berpaling darimu tanpa memberi jalan keluar. Jadi, bangkit sekarang juga dan kita salat berjemaah. Tak ada penolakan dan penundaan. Buruan, Naa!" ucap Intan menggebu-gebu dengan sisa-sisa kesabaran yang masih melekat.
Bagaikan sihir yang menyentak hatinya, Dena segera bangkit tanpa kata lalu bergegas ke kamar mandi dan melakukan wudu di sana. Intan bernapas lega. Disaat-saat seperti ini, terkadang Dena menjadi keras kepala. Diberikan nasihat yang lemah lembut biasanya tak akan mempan. Harus ada unsur paksaan dan sedikit sentakan agar ia bisa kembali sadar.
Masih bungkam, Dena menyelesaikan salat dengan Intan sebagai imam. Sesekali matanya terpejam berusaha meredam air mata yang akan tumpah. Sambil wirid, ia juga kembali mengingat-ingat kebodohan masa lalu kemudian menyesalinya.
Allahu rabbi, aku tak marah atas apa yang Engkau tetapkan untukku. Aku tak marah atas takdir yang harus kuterima. Aku tak marah karena rasa yang Kau titipkan harus dimusnahkan.
Ya Rabbi, aku hanya belum tau caranya berdamai dengan rasa sakit ini. Ini masih terlalu dini untukku. Aku tak pernah menyiapkan hati untuk terluka. Ya Rabb, sepahit ini kah berharap kepada makhluk-Mu?
Jikalau tau akhirnya seperti ini, aku tak akan pernah menyukainya. Ya Rabb, mengapa Kau hadirkan rasa ini padaku seorang diri tanpa melibatkan dia? Apa yang telah Engkau siapkan untukku, ya Robb?
Mohon tunjukkanlah kepadaku jalan yang harus kutempuh. Jangan biarkan aku terpuruk dengan keadaan ini. Bawa aku keluar dari masalah ini. Ya Robb, Engkaulah pemilik segala kekuasaan. Aku berserah diri atas segala ketetapan-Mu. Aku percaya bahwa ketatapan-Mu adalah yang terbaik untukku.
"Bagaimana, sudah tenang?"
Setelah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan yang baru saja menengadah, Dena langsung disambut dengan pertanyaan itu. Merasa bersalah telah mengabaikan Intan sejak tadi. Itu semua dia lakukan karena suasana hatinya benar-benar buruk.
"Alhamdulillah. Terima kasih karena sudah menyadarkanku," balasnya lembut diiringi senyuman yang meneduhkan. Tiba-tiba matanya berair dan Dena segera mendekap Intan dengan erat.
"Eh, eh, ini teh kenapa lagi? Nangis sedih, senang, apa kumaha?" tanyanya dengan wajah tekejut karena reaksi spontan dari Dena. Mendengar isakan sahabatnya, Intan melunakkan diri lantas mengelus-elus bahunya.
Setelah isakan itu hilang, barulah Dena melepas pelukannya. Tangan lentik itu menghampus jejak air mata. Lagi-lagi dia menerbitkan sebuah senyuman penguat hati. Intan tahu, sahabatnya tengah mengalami kedukaan yang mendalam akibat kesalahannya sendiri, tetapi dia tak mungkin ikut menyalahkannya. Sebaik-baik teman adalah dia yang menasihati dengan lemah lembut tanpa menghakimi.
"Kenapa? Sekarang kamu boleh bercerita tentang apapun itu. Aku akan setia mendengarmu. Tapi kau harus tau, kalau curhat sama manusia jangan berharap bisa mendapat respons yang sempurna. Tetapi aku akan tetap berusaha memberikan saran terbaikku untukmu," ucapnya.
Dua sejoli itu tengah berhadapan masih dengan mukena yang melekat ditubuh mereka.
"Iyaaa, aku tauu," ujar Dena dengan wajah cemberut. Intan terkekeh. Dia hanya mewanti-wanti. Takut jika sahabatnya akan kecewa apabila responsnya nanti tak sesuai keinginan.
"Aku hanya ingin meminta saran. Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya masih dengan makna tersirat.
"Sebelum aku memberimu saran, tolong ceritakan kembali masalahmu. Aku belum paham jalan ceritanya, Na. Dari tadi kamu ngomongnya gak jelas," keluh Intan.
"Duhh, males ah kalo mesti diceritain lagi," lirihnya.
"Ya sudah, saran apa yang harus kuberikan kalau gak tau titik permasalahannya apa." Intan pura-pura bersikap masa bodo. Dia hanya ingin sahabatnya berterus terang agar dia tak salah memandang.
"Ya dehh, tunggu. Kumpulin nyali dulu," ucap Dena menyerah.
"Jadi, kemarin itu A Rizam ngajakin ke toko perhiasan. Dia mau beli cincin untuk calon istrinya." Wajah Dena datar saat menyebut kata itu.
"Terus aku diajak hanya sebagai bahan percobaan. Pas Fadil bertanya, 'siapa? Teh Dena ya, A?' dia langsung ngejawab bukan sambil ketawa. Hihh, jahat banget tau gak sihh. Kata-katanya nyelekitt, gak punya hati!" rutuk gadis itu sebal. Masih terngiang dengan jelas tawa renyah Rizam saat menyangkal bahwa bukan Dena yang akan menerima cincin itu. Suara tawa yang bagaikan pisau belati, yang akan mengiris hatinya tiap ingatannya kembali pada moment mengenaskan tersebut.
"Hmm, jadi kau menginginkan saran seperti apa?" tanya Intan setelah mendengar cerita Dena. Mata gadis itu melotot tidak percaya dengan respons sahabatnya. Tetapi segera mereda ketika mengingat pesan Intan di awal percakapan.
"Apa yang harus kulakukan, Tan? Aku harus bagaimana menghadapi heart attack ini? Aku bingung. Separuh hatiku mengatakan untuk berhenti, separuh lagi menyuruh untuk tetap bertahan," keluh Dena terlihat fruatrasi.
"Begini, Na. Pertama, A Rizam tidak bisa disalahkan karena dia tidak tahu apa-apa mengenai perasaan kamu. Kedua, kamu tidak bisa menyalahkan hati karena perasaan itu adalah fitrah dan tertarik pada A Rizam adalah hal yang wajar. Ketiga, kesalahanmu adalah berharap pada makhluk yang jelas-jelas sumber kekecewaan. Saran terbaik dariku adalah lepaskan A Rizam dari hatimu, ikhlaskan perasaanmu kepadanya, dan lupakan dia. Jika kau benar-benar mencintainya karena Allah, maka kau akan merelakan dia bahagia dengan pilihannya dan menerima bahwa dia bukanlah takdirmu."
Dena menatap manik Intan, "Semuanya tak semudah yang kau ucapkan, Tan. Beratt. Apakah memang aku harus sepasrah itu pada takdir?" ucapnya lesu.
Dalam hati Dena memaklumi saran sahabatnya untuk segera mengikhlaskan rasa. Sebab, sedari dulu Intan tak pernah setuju jika Dena mengembangbiakkan perasaannya seperti itu. Lihatlah, risiko yang ditimbulkan tidaklah main-main.
"Bukannya ada pepatah yang mengatakan, 'sebelum janur kuning melengkung, masih bisa ditikung'?" lanjutnya mencoba menghidupkan harapan dikedua bola matanya.
"Na, jika seperti itu, maka setan telah mencampuri dan menodai kesucian cintamu. Memang berat, Na. Aku tahu, mengikhlaskan sesuatu yang sangat kita sukai tak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi jika kau melakukannya karena Allah, percayalah akan ada ganti yang lebih baik darinya."
"Aku butuh waktu untuk menata hati dan berdamai dengannya." Dena membuang muka. Sudah enggan membahas perihal hati.
"Bismillah ya, ukhti. InsyaaAllah aku akan selalu menemani dan membantumu semampuku," ucap Intan sambil memegang tangan Dena menularkan kekuatan kepada sahabatnya.
"Terima kasih, Tan," pungkasnya diiringi senyuman tulus.
🌷
"Lah, gak boleh seperti itu, Na. Kamu harus perjuangin perasaan kamu."
"Hu'uh, Na. Setidak-tidaknya, perasaanmu sampai ke dia. Siapa tau ada keajaiban."
"Iya, Na. Tak selamanya kita harus pasrah. Sebelum akad terucap, masih ada kesempatan senilai emas."
"Ayo, Na. Tikung dia terus di sepertiga malammu."
"Na, kau harus percaya kekuatan doa. Doa adalah satu-satunya senjata yang bisa mengubah takdir seseorang."
Beda pergaulan, beda pula tanggapannya. Jika Intan menyuruhnya berhenti, keempat sahabatnya yang lain justru menyemangatinya untuk terus memperjuangkan perasaannya itu. Niat meminta saran agar dapat jalan keluar, namun yang dia tuai hanyalah rasa bingung dan jalan buntu.
Hati, keputusan apa yang telah kau pilih?
Dena berbisik pada hati kecilnya. Berharap makhluk mungil itu tahu jalan terbaik untuk langkah mereka selanjutnya. Ini tak bisa didiamkan lebih lama. Sidang skripsi sudah di depan mata. Hatinya harus kembali baik sebelum waktu itu tiba.
Oh Allah, berikan aku petunjuk-Mu.
Tak ingin memperkeruh pikiran, Dena memutuskan menjauh dari teman-temannya. Begitu banyak kalimat yang mercoki kepala. Tak satupun keputusan yang berhasil dia pilih. Entahlah, atas semua perkara rasa yang menyiksa, dia hanya butuh waktu untuk menerima.
Perempuan itu termenung di sebuah taman. Pikiran yang jenuh membawanya ke tempat tersebut. Melihat keramaian dan keceriaan pengunjung tak lantas membuat awan kelabu di wajahnya menghilang. Perempuan itu mengembuskan napas gusar. Tak mengerti dengan dirinya yang sekarang.
"Hiks ... Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah."
Lamunan Dena terjeda saat telinganya menangkap suara isakan dari samping kanan tempat ia duduk. Beberapa kalimat istigfar keluar dari mulutnya, membuat perempuan yang tengah menggalau itu penasaran. Sesekali tangannya menyeka air bening yang jatuh tanpa permisi. Dari caranya menangis, Dena tahu hati perempuan itu tengah terluka. Ingin mendekat, ia sungkan. Ingin bertanya, ia takut jika dianggap lancang. Dena tak terbiasa bersikap ramah dengan orang baru. Tetapi ini pengecualian, tingkat kepeduliaannya yang sangat tinggi memaksanya untuk mengikis jarak.
Dena merogoh tasnya, mencari sesuatu yang bisa melenyapkan air mata. Hatinya lega begitu melihat sebuah tisu masih utuh di sana.
"Permisi, ini untuk Teteh," ucapnya seraya menyodorkan selembar tisu. Perempuan itu mendongak lantas tersenyum dan menerima pemberian Dena.
"Terima kasih," balasnya lembut. Dia menghapus air mata yang menodai wajah bersihnya. Menghela napas mencoba untuk tegar menerima semua kehendak-Nya. Tangan itu kembali menyeka air mata yang terpaksa jatuh. Kesedihan sunggut melekat diwajah teduhnya. Dena mengulurkan tangan mengelus punggung perempuan asing itu. Ikut bersedih atas apa yang orang itu rasakan.
"Huffftttt."
Sekali lagi, dia mengembuskan napas memperbaiki perasaannya. Beban yang menimpa hatinya sungguh berat. Begitu sulit untuk menyingkirkan sesak yang ada di sana.
"Maaf, karena sudah merepotkan," ucapnya tak enak hati.
"Kalau boleh tahu, mengapa Teteh terlihat begitu bersedih? Maaf kalau saya lancang bertanya seperti itu," sesal Dena ingin mengomeli hatinya yang tak bisa diam jika sedang penasaran.
"Tidak apa-apa," ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang membawa kedamaian bagi siapapun yang memandang. Tak terkecuali Dena. Tiba-tiba perasaan hangat menelusup di dada.
"Mungkin berbagi padamu, sedikit meringankan bebanku. Ini ... Silahkan lihat sendiri," ucapnya seraya menyodorkan sebuah map hijau putih kepada Dena. Dia tahu perempuan di sebelahnya itu adalah orang asing. Tetapi, entah mengapa, memberi tahu Dena menurutnya pilihan yang tepat.
"Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Teteh yang tabah, ya. Dena tak tahu kalau ujian Teteh seberat ini." Mata Dena berkaca-kaca sejak dia membaca kalimat demi kalimat yang tertera di dalam map.
"Sakit itu adalah salah satu anugerah dari Allah. Sebagai bentuk kasih sayang dan cinta kepada makhluk-Nya. Saya tidak bersedih apalagi marah karena ujian ini. Saya hanya takut jika harus mengecewakan seseorang karena penyakit saya. Sebentar lagi dia akan datang mengkhitbah, saya takut dia tak akan menerima kondisi saya," tuturnya dengan suara yang tercekat.
Dena ikut bersimpati. Merasa sedih mendengar kebahagiaan yang akan menjemput perempuan itu, namun Allah memberikan kerikil besar untuknya. Seketika dia tertampar. Merasa sangat terhina. Bagaimana mungkin dirinya seolah-olah menjadi orang yang paling terpuruk dengan beban seberat beton, sedangkan masih ada seorang wanita yang ujiannya lebih berat. Ujian Dena hanya seringan batu apung, dibanding perempuan itu. Sebatas ujian perasaan yang bisa dengan mudah diatasi, namun tak teratasi karena ia yang terlalu melarutkan diri.
Duhai diri, pandai-pandailah hidup bersyukur.
"Teteh tidak usah khawatir. Sebelum Allah sendiri yang mengatakan bahwa Teteh harus kembali ke pangkuan-Nya, maka itu berarti masih ada banyak peluang untuk sembuh. Dan juga soal khitbah itu, jika dia laki-laki baik dan paham agama, insyaaAllah dia tidak akan bersikap pengecut dan meninggalkan Teteh hanya karena penyakit Teteh. InsyaaAllah dia pasti akan menerima Teteh dalam kondisi apapun," ucapnya hati-hati. Takut jika perkataannya bisa menimbulkan kemarahan karena telah menyinggung dua hal sensitif itu.
"InsyaaAllah, kita punya Allah yang Mahakuasa," pungkasnya berusaha untuk tersenyum. Dena balas tersenyum. Benar, mereka punya Allah Yang Maha segala-galanya. Yang bisa mengubah tangis menjadi tawa, luka menjadi bahagia, hitam menjadi putih, kelabu menjadi cerah. Dan Dena pun yakin, suatu hari Allah akan menjadikan Rizam sebagai pelabuhan hatinya.
"Eh, dari tadi curhat-curhatan gini tanpa kenalan lebih dulu, haha," kekehnya membuat Dena menepuk jidat baru menyadari bahwa mereka masih menjadi orang asing.
"Perkenalkan, nama saya Dena. Nama Teteh siapa?" tanyanya antusias.
"Ara. Panggil Ara saja," jawabnya sembari menerbitkan senyuman khasnya yang meneduhkan.
🌷
To be continued ...
____________________________________________________________
Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.
Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.
Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat
____________________________________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro