Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6📌Candaan Semesta

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

"Jika boleh memilih, aku tak pernah ingin dipertemukan olehmu hingga perasaan ini bisa tumbuh tanpa bisa kucegah."

_Dena Humaira_

~Rahasia Semesta~

Allahu akbar, allahu akbar ....

"Sudah adzan, Na. Kita salat dulu, yuk," ajak Intan ketika mereka berada di luar ruang inap Ahtar. Orang tua anak itu sudah tiba segera setelah Dena meneleponnya. Datang dengan wajah tekejut dan penuh rasa khawatir.

"Ayuk."

Keduanya berjalan menuju masjid yang berada di samping rumah sakit. Setelah salat, gawai Dena bergetar pertanda panggilan masuk. Dia pun mengeceknya dan alangkah terkejutnya perempuan itu saat membaca nama si penelepon.

Setelah dua tahun berlalu dan dia baru meneleponku ....

"Halo, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Dena di mana? Sibukkah?"

Dena tertegun mendengar suara beserta pertanyaannya yang diluar dugaan. Tak biasanya lelaki tersebut menanyakan hal yang kurang penting seperti itu.

"Dena ... lagi di rumah sakit, A," jawabnya pelan.

"Siapa yang sakit, Na? Kamukah?" Terdengar nada khawatir disuaranya. Diam-diam Dena tersenyum dalam keheningan. Jarang-jarang dia mendengar hal seperti itu dari Rizam. Andaikan dirinya yang sakit, dia bisa membayangkan lelaki pujannya itu datang membawa banyak makanan, bunga, dan untaian doa.

Ah, stop dreaming, Na!

"Bukan, A. Ada salah satu santri yang dapat musibah, jadi aku dan Intan membawanya ke rumah sakit. Ada apa, A Rizam nelepon Dena?" tanyanya hati-hati.

"Mm ... tadi Aa mau minta tolong sih, tetapi kamu pasti sedang sibuk jadi lain kali saja."

"Tidak apa-apa, A. Orang tua Ahtar sudah datang, Dena juga sudah mau pulang."

"Oh begitu, tapi apa enggak merepotkan, ya?" tanyanya sangsi.

"Memangnya Aa mau minta tolong apa?"

"Di rumah ada Fadhil gak, Na?"

"Ada, A."

"Boleh Aa minta tolong kamu sama Fadhil temenin Aa kesuatu tempat?"

Suatu tempat? Kenapa kata itu terdengar menggelikan ketika diucapkan oleh lelaki macam A Rama? Sepertinya aku mencium aroma-aroma romantis.

Dena sontak menggeleng menghalau khayalannya yang mulai merebak kemana-mana.

"Nanti Dena tanyakan ke Fadhil dulu ya, A."

"Iya, Na. Syukron ya sudah mau bantu."

"Afwan, A."

Setelah percakapan mereka berakhir, Intan segera mendekat ketika mendengar kata "Aa" keluar dari mulut Dena. Wajahnya dipenuhi aura menyelidik.

"Ada keperluan apa dia nelpon kamu?" tanyanya to the point.

"Entahlah, dia cuma mau minta tolong ditemenin kesuatu tempat."

Dena menoleh saat merasa tatapan Intan seperti ingin menembus matanya. Sahabat protektifnya memang selalu seperti itu jika menyangkut tentang laki-laki yang bukan mahram. Sebagai seorang sahabat, tentu saja sudah tugasnya untuk saling mengingatkan ketika salah satu di antara mereka melenceng dari syariat. Apalagi dia sangat mengetahui bahwa Dena memiliki rasa padanya. Sudah sepantasnya ia khawatir jangan sampai Dena kembali diperbudak rasa.

"Tenang saja, Tan. Dia juga minta Fadhil untuk nemenin kok," ujar Dena seakan mengerti arti tatapan yang dilayangkan Intan kepadanya. Intan pun mengakhiri kontak mata lalu bernapas lega.

"Ingat, jangan ada niat lain selain menemani dia. Kuatkan hati dan iman, jangan sampai setan berhasil membuatmu lengah," nasihat perempuan bercadar tersebut.

"Iya Intanku sayang. Jangan khawatir, aku yakin Fadhil adalah solusi yang tepat untuk hati yang bandel ini."

"Syukurlah. Ya sudah, kita pamit ke orang tua Ahtar dulu baru pulang."

"Ayuk."

Dua perempuan salihah itu keluar dari masjid, lalu kembali masuk ke rumah sakit tempat Ahtar dirawat. Mereka menghampiri orang tua Ahtar yang tampak setia menemani sang anak yang sudah sadarkan diri. Karena akibat benturan keras saat jatuh, bocah enam tahun itu mengalami cidera di kepala dan shock berat. Walhasil harus menjalani perawatan yang lama sehingga benar-benar bisa pulih.

🌷

Matahari semakin jauh melesat mendekati ufuk barat saat tiga manusia itu keluar dari mobil menghampiri sebuah pusat perbelanjaan. Rizam sama sekali tidak memberitahu tujuan mereka. Entah apa yang sedang berada dalam pikirannya saat meminta Dena untuk menemaninya ke tempat tersebut. Ia hanya mengikuti intruksi dari hati kecilnya. Berharap tak akan salah langkah.

Dena dengan sejuta tanda tanya di kepala pun mau tak mau menyanggupi permintaan lelaki itu. Bagaimana tidak, jika inilah kali pertama mereka berjalan bersama-sama lagi sejak dua tahun berlalu tanpa jejak. Perempuan itu sudah lelah dengan pikirannya yang berlanglang liar. Mencoba menebak segala kemungkinan yang terjadi.

"Toko perhiasan dimana, ya?"

Hah? Perhiasan katanya? Sebenarnya orang ini mau kemana sih ya Allah, kok bikin hati tak tenang gini.

"Sepertinya di lantai dua, A," jawab Dena mencoba untuk tetap tenang, meskipun detak jantungnya sedang ribut.

Mereka pun menaiki eskalator untuk menuju lantai dua. Fadhil yang tahu persis posisinya pun tetap tenang dan damai dalam melakoni perannya. Sesekali dia berceletuk ketika dirasa suasana di antara mereka terlalu kaku. Selebihnya mereka hanya berbicara ketika ada perlu. Benar-benar berbanding terbalik dari dua tahun yang lalu. Kali ini, sekat itu rasanya lebih jelas menghalangi keduanya.

"Nah, itu dia, A," tunjuk Dena saat matanya menangkap toko perhiasan yang Rama maksud. Ketiganya lalu menghampiri toko. Dena terdiam dan bergeming saat Rizam maju dan melihat-lihat sekumpulan cincin yang berkilauan di mata.

Tolong jelaskan padaku, apa arti dari semua ini?

"Na, menurutmu model seperti apa yang disukai perempuan?" tanyanya tanpa menoleh. Dena yang melamun sontak terkesiap saat namanya disebut.

"Eh, yang mana, A?" Dena maju sambil berusaha menetralkan detak jantungnya.

"Coba pilih yang menurutmu bagus." Saat Dena mendekat, saat itu juga Rizam menjauhkan sedikit tubuhnya untuk memberi jarak. Perempuan itu sangat mengerti mengenai batasan antara laki-laki dan perempuan, tetapi rasanya justru aneh ketika Rizam langsung menjauhinya saat ia mendekat.

Ah, sudahlah. Tak perlu dipikirkan.

"Untuk apa, A?" Mati-matian Dena menahan gemuruh yang memaksanya untuk geer. Sungguh dia sudah lelah mengikuti kata hati dan berharap lebih tinggi. Takut jika kenyataan akan menghadirkan perih.

"Nanti Aa kasih tau," ucapnya menyimpan misteri. Apakah dia tak tahu jika hati Dena sekarang sedang tidak baik-baik saja? Pikirannya bahkan bergerak kemana-mana.

"Sepertinya ini bagus, A." Dena menunjuk sebuah cincin emas yang memiliki dua permata sejajar di tengah. Tampak simple, namun terlihat begitu elegan dan sangat cocok dipakai oleh seorang perempuan yang berhati lembut.

Lembut? Ah, sifat itu tak cocok disematkan untukku.

"Masyaa Allah, kamu benar, Na." Dengan tatapan takjub dia melihat pilihan Dena.

"Coba kamu pakai, cocok atau tidak?" lanjutnya lagi dengan tatapan antusias.

Dena menurut. Dia menyuruh penjualnya mengambil cicin itu lantas memasangnya di jari manis. Akan sangat romantis jika Rizam sendiri yang menyematkan cincin itu pada jarinya. Namun, Dena segera membunuh angan. Terlalu berlebihan jika dia berpikir demikian.

"Cocok, A," ucapnya sembari mengangkat wajah menatap Rizam.

"Alhamdulillah. Mbak, saya pilih yang ini, ya," tunjuknya kontan tanpa negosiasi terlebih dahulu.

Ya Rabb, jika ini memang nyata, tolong genggam erat hati ini agar tak jatuh karena harapan yang begitu tinggi.

Ya Rabb, jika ini hanya ilusi, tolong genggam erat pula hati ini agar tak pernah merasakan sakit ketika kenyataan mulai menamparku.

Ingin sekali Dena mengeluarkan suara agar tanyanya segera terjawab, namun tak bisa karena semua tercekat di tenggorokan. Sejak Rizam membungkus cincin itu hingga mengajaknya untuk mengisi perut, perempuan itu tetap bungkam. Hatinya menginginkan penjelasan, tetapi pikirannya menolak keras. Begitu takut jika sang hati terluka ketika kenyataan tak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

"Dena dan Fadhil mau makan apa? Pesanlah, hari ini Aa mentraktir kalian."

Ya Allah, mengapa aku justru merasa seperti adik kecilnya disaat dia berbicara seperti itu?

Hati Dena terus menjerit atas semua perlakuan Rizam yang tak bisa ditebak olehnya. Dia kesal dan ingin protes, tetapi rasa maklum semakin menghantui dan memaksanya untuk terus menurut seperti anak kecil yang lugu.

"Terima kasih ya, sudah mau menemani dan menolong Aa." Setelah mereka memesan makanan, Rizam akhirnya mulai membuka bungkaman Dena dan mengikis sedikit demi sedikit rasa penasarannya.

"Sebenarnya cincin itu untuk siapa sih, A?" Fadhil bertanya penasaran mewakili segala pertanyaan yang ada dalam benak Dena.

Rama merespons dengan sebuah senyuman. Dena mengerutkan dahinya saat merasakan senyum itu seperti yang dilihatnya siang tadi dari balik jendela. Transparan sekali rona bahagia yang menghiasi wajahnya.

"Ini ... untuk calon makmum Aa," ucapnya semakin melebarkan senyum sambil menyentuh kotak merah beludru yang berbentuk hati. Senyum itu begitu manis sehingga mampu mendebarkan dada Dena dengan hebat.

Calon makmum? Siapa ... siapa perempuan beruntung itu ya, Rabb? Bolehkah aku berharap sedemikian tinggi?

"Ciee ... siapa? Teh Dena ya, A?" goda Fadhil dengan tatapan nakal. Kepala Dena menegak, menanti kebenaran dari mulut Rizam. Tubuhnya panas dingin menunggu kata itu keluar dari sana, berharap sesuai dengan apa yang hatinya elu-elukan.

"Eh, haha ... bukan, Dil," kekehnya tak berperasaan.

Duaarrr ...

Seperti ada suara guntur yang menggelegar saat kata itu meluncur mulus tanpa beban. Seringan angin yang mengempaskan angan Dena hingga ke dasar jurang. Nyelekit rasanya mendengar candaan tak lucu itu.

Bukan aku? Lantas, siapa?

Kata "bukan" bagaikan pisau belati yang menancap pas menembus jantungnya. Membuat rasa perih hadir di sana hingga mengundang air mata untuk tumpah. Dena yang dari tadi diam semakin mengunci mulutnya. Kata-kata Rizam layaknya perintah yang tak bisa dibantah. Begitu jelas, lugas, dan tegas. Apakah itu artinya Dena harus menyerah sekarang juga? Bahkan ketika dia belum memulai untuk mengungkapkan perasaannya dan membuktikan pada Intan bahwa perempuan tak selalu harus menunggu.

Sejenak mata Dena menghangat pertanda air mata bersiap keluar, namun berusaha dia tahan agar tak menimbulkan kecurigaan. Dia tak boleh lemah hanya karena urusan hati. Bukankah hati dan mentalnya sudah beberapa kali diuji selama proses pengerjaan tugas akhirnya berlangsung? Lantas mengapa bisa jatuh begitu saja hanya karena sebuah kata yang keluar dari mulut laki-laki itu? Sungguh, Dena tak ingin menjadi perempuan lemah. Tetapi, mengapa? Mengapa rasanya begitu sakit dibagian dada? Seperti ada ribuan beton yang menindihnya di sana.

"Loh, lalu siapa, A?"

Dena membenarkan pertanyaan Fadhil. Siapa gerangan perempuan yang lelaki itu maksud? Perempuan yang telah membuat Rizam memanfaatkan Dena seperti ini? Perempuan yang telah membuat Rizam menghancurkan hatinya seperti ini? Hati Dena berteriak ingin tahu. Merasakan api cemburu mulai membakar hatinya.

"Itu ... masih sebuah rahasia. Biarkan undangan yang berbicara. Terima kasih ya, Na sudah membantu Aa. Kamu memang adik yang paaaling bisa diandalkan. Kalian kan tahu tangan Naisha masih begitu kecil. Aa pikir, tangan dan selera Denalah yang paling cocok untuk membantu Aa."

Adik? Jadi ... selama ini Aa Rizam hanya menganggapku tak lebih dari seorang adik? Apa aku tak salah dengar? Atau aku yang salah karena telah menyimpan rasa?

Oh Allah, sungguh aku belum siap untuk patah hati ....

Aku sudah telanjur mengenalnya. Bagaimana ini Tuhan? Harus kuapakan perasaan yang telah bertumbuh subur ini? Harus kuapakan hati yang telanjur berharap kepadanya? Harus kuapakan butiran-butiran doa yang telah kusemai untuknya?

Wahai semesta ... candaanmu sungguh tak mengundang tawa. Mengapa engkau semakin membangun tembok tinggi bahkan ketika aku masih berusaha merangkak untuk meraihnya?

Aku sungguh lelah menghadapi ini semua. Hatiku terlalu lemah karenanya. Ya Robb, genggam erat hatiku. Jangan pernah membuatnya jatuh lagi.

Sore itu, menjadi sore yang tak akan pernah terlupakan oleh Dena sepanjang hidupnya. Waktu kali pertama hatinya retak dan berdarah. Waktu dimana ia ingin menjerit atas rasa sesak, namun harus berpura baik-baik saja di hadapan Rizam. Restoran sore itu menjadi saksi bisu atas patah hati pertama Dena Humaira.

🌷

Gimana candaannya, lucukah?

To Be Continued ...

____________________________________________________________

Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.

Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.

Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat

____________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro